MASHLAHAH MURSALAH
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : M. Agus Yusrun
Nafi’, M.SI
Disusun
Oleh:
PAI-O / Semester 3
Muhammad Haidarullah: 1410110559
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kemajuan dan perkembangan manusia menjadikan kebutuhan
dan masalah hidup semakin berkembang yang menuju masalah kompleks. Tidak hanya
dalam masalah hukum namun merambah pula dalam masalah mu’amalah.
Dalam dunia Islam untuk mengambil keputusan suatu hukum syari’
harus dari Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas ataupun kesepakatan
ulama’ dalam mengambil suatu hukum. Dalam dewasa ini, banyak masalah yang sulit
diambil hukumnya sebab dalam syari’ tidak ada nash yang menguatkan atau
menolaknya. Bahkan masalah-masalah manusia sekarang tidak terjadi di masa
Rasulullah saw.
Hakikat terbentuknya hukum syari’ karna untuk
kemashlahatan umat manusia baik di dunia atau di akhirat dan Ijma’ dan Qiyas
disesuaikan dengan kondisi masalah yang terjadi. Dari sinilah diperlukan suatu
dasar pegambilan hukum baru untuk kemashlahatan umat manusia, yaitu Mashlahah
Mursalah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat ditarik
beberapa rumusan masalah mengenai Mashlahah Mursalah, yaitu:
1. Apa pengertian Mashlahah Mursalah?
2. Apa objek kajian Mashlahah Mursalah?
3. Bagaimana dasar hukum Mashlahah Mursalah?
4. Apa saja syarat-syarat Mashlahah Mursalah?
5. Apa saja macam-macam Mashlahah?
6. Bagaiaman pembagian Mashlahah?
7. Bagaimana kehujjahan Mashlahah Mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah menurut lugat terdiri atas
dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata mashlahah berasal
dari kata kerja bahasa Arab صلح - يصلح menjadi صلحا atau مصلحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan
kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehinngga
menjaddi isim maf’ul, yaitu:
مرسَل menjadi ارسل – يرسل – ارسلا – مرسِلٌ
yang berarti diutus, dikirim atau
dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi Mashlahah Mursalah
yang berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum Islam.
Menurut istilah ulama’ ushul ada
bermacam-macam ta’rif yang diberikannya di antaranya:
1.
Menurut Imam Ar-Razi, Mashlahah ialah perbuatan
yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hambaNya
tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta
bendanya.
2.
Menurut Imam Al-Ghazali, Mashlahah pada dasarnya ialah
meraih manfaat dan menolak madaratnya.
3.
Menurut Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Mashlahah ialah
memelihara tujuan syara.[1]
4.
Menurut Abu Nur Zuhair, Mashlahah mursalah adalah
suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi tentu diakui atau tidaknya oleh
syara’.
5.
Menurut Abu Zahrah, Mashlahah mursalah suatu
mashlahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum,
tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.[2]
6.
Menurut Asy-Syatibi seorang ulama’ mazhab Maliki, Mashlahah
mursalah ialah suatu mashlahah yang tidak ada nash tertentu, tetapi
sesuai dengan tindakan syara’. Kesesuaian kemashlahatan dengan syara’ tidak
diketahui dari satu dalil dan tidak dari nash yang khusus, melainkan
dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qath’i
walaupun secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qath’i.[3]
Menurut para ulama’ ushul, sebagian
menggunakan istilah mashlahah murasalah dengan kata Al-Munasib
Al-Mursal dan ada pula Al-Istidlal Al-Mursal. Al-Munasib
Al-Mursal ialah melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang
mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan. Al-Istidlal
Al-Mursal ialah proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang
ditunjukkan oleh dalil khusus. Proses ini disebut Istishlah (menggali
dan menetapkan suatu mashlahah).[4]
Jadi, mashlahah murasalah adalah suatu
kemashlahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat
dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika
dikerjakan akan mendatangakan kebaikan yang besar atau kemashlahatan.
B.
Objek Kajian Mashlahah Mursalah
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan
bahwa mashlahah mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak
terdapat dalam nash baik dalam Al-Quran atau As-Sunnah yang menjelaskan
hukum-hukum yang ada pada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga
difokuskan hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang
berhubungan dengan kejadian tersebut.[5]
Menurut Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam
kitabnya Mashalihul Mursalah menerangkan bahwa mashlahah mursalah itu
sebagi dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalah dan semacamnya.
Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya karena
manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu.[6]
C.
Dasar Hukum Mashlahah Mursalah
Para ulama’ yang menjadikan mashlahah
mursalah sebagi salah satu dalil syara’ menyatakan bahwa dasar hukum mashlahah
mursalah ialah:
1.
Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan
berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah saw, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan
ada yang terjadi tidak lama setalah Rasulullah saw, meninggal dunia.
2.
Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan
para ulama’ yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehinggan mereka
dapat segara menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada
masa itu.[7]
D.
Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
Ulama’ yaang berhujjah dengan mashlahah
mursalah, mereka bersikap sangat hati-hati sehingga tidak menimbulkan
pembentukan hukum berdasarkaan hawa nafsu dan keinginan tertentu. Oleh karena
itu, ulama’ menyusun syarat mashlahah mursalah, yaitu:
1.
Harus merupakan kemashlahatan yang hakiki, bukan yang
bersifat dugaan. Bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan
kemanfaatan dan penolakan bahaya. Jika sekedar dugaan, pembentukan hukum dapat
menarik manfaat, tanpa mempertimbangkan bahaya yang datang, maka kemashlahatan
ini bersifat dugaan semata.
2.
Kemashlahatan itu bersifat umum, bukan pribadi. Bahwa
pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat bagi mayoritas
umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemashlahatan
individu atau beberapa orang.
3. Bahwa pembentukan hukum berdasarkan
kemashlahatan, tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang berdasarkan nash
atau ijma’.[8]
Dengan kata lain, mashlahah murasalah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu
yang mengakuinya dan mashlahah itu tidak sejalan dengan apa yang dituju oleh
Islam, maka tidak dapat disebut mashlahah mursalah.[9]
4. Mashlahah itu bukan mashlahah yang tidak benar, dimana nash
yang tidak ada yang membenarkannya dan tidak menganggap itu salah.[10]
Menurut jumhur ulama’ Syafi’iyyah dan
Hanafiyyah mensyaratkan mashlahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyas,
yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan
juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum
terdapat tempat untuk merealisir kemashlahatan. Mereka berpegang pada
kemashlahatan yang dibenarkan syara’. Hal ini karena hampit tidak ada mashlahah
mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.[11]
E.
Macam-Macam Mashlahah
Macam-macam mashlahah ini bukan macam-macam
dari mashlahah mursalah. Kemashlahatan manusia itu mempunyai
tingakatan-tingkatan atau macam-macam. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat
yang kedua dan tingkat kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Adapun
tingkatannya sebagi berikut:
1.
Mashlahah Dharuriyah
Mashlahah Dharuriyah (primer) adalah
perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya manusia, bila ditinggalkan , maka
rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah dan kehancuran
hebat.
Perkara pertama ialah perkara agama, maksudnya
berkewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah
Islamiyah (bila diserang dahulu).
Perkara kedua ialah perakara jiwa, maksudnya
berkewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk
mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqishash orang yang berbuat
pidana.
Perkara ketiga ialah perkara akal, maksudnya
berkewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang
memabukkan.
Perkara keempat ialah perkara keturunan,
maksudnya berkewajiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina.
Perkara kelima ialah perkara harta, maksudnya
berkewajiban untuk menjauhi pencuri. Begitu juga pemotongan tangan (efek jera)
pada pencuri laki-laki atau perempuan.
2.
Mashlahah Hajjiyah
امّا المَصَالِحُ الحَا جِيّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ
عَنِ الاَ عمَالِ وَالتّصَرّ فَاتِ الّتِي لاَتَتَوَقّفُ عَلَيهَا تِلكَ الاُصُولِ
الخَمسَةِ بَل تَتَحَقّقُ بِدُونِهَا وَلَكِن صِيَانَةً مَعَ الضّيّقِ وَالحَرَجِ
.
Artinya: “Mashlahah Hajjiyah ialah, semua
bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang
ada pada mashalahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga
terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.”
Hajjiyah ini tidak merusak atau mengancam, tetapi hanya
menimbulkan kepicikan dan kesempitan dan hajjiyah ini berlaku dalam
lapangan ibadah, adat, mu’amalah dan bidang jinayat/uqubat.
Contoh dalam hal ibadah, shalat yang
diqashar, berbuka puasa bagi musafir. Dalam hal adat, dibolehkan
berburu, memakai yang baik-baik. Dalam hal mu’amalah, dibolehkan jual
beli secara salam (lewat akad-akadan). Dalam hal jinayat, menolak
huddud (batasan) lantaran adalah kesamaan-kesamaan dalam perkara.
3.
Mashlahah Tahsiniyyah
اَمّا المَصَالِحُ التّحسِينِيّةُ فَهِيَ
عِبَارَةٌ عَنِ الاُمُورِ الّتِي تَقتَضِيهَا المُرُؤَةِ وَمَكَارِمُ الاَخلاَقِ
وَمَحَاسِنُ العَادَاتِ .
Artinya: “Mashlahah Tahsiniyah ialah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan
yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.”
Tahsiniyah (sekunder) ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat,
mu’amalah dan jinayat/uqubat. Lapangan ibadah misalnya bersuci dari najis, menutup
aurat, memakai pakaian yang baik ketika sedang mendekatkan diri kepada Allah
swt. Lapangan adat seperti, mejaga adat makan, adat minum, memilah
makanan dan minuman yang baik. Lapangan mu’amalah seperti, larangan
menjual barang najis. Lapangan uqubat seperti, dilarang berbuat curang
(khianat) dalam timbangan jual beli, dalam peperangan dilarang membunuh wanita
dan anak-anak, pendeta dan orang lanjut usia.[12]
F.
Pembagian Mashlahah
Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, Mashlahah
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Mashlahah Mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan
dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya, kewajiban puasa pada Bulan
Ramadhan mengandung kemashlahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidika jasmani
dan rohaninya agar manusia sehat secara jasmani atau rohani.
2.
Mashlahah Mulghah, yaitu kemashlahatan yang ditolak oleh syari’ (Allah), dan
syari’ menetapkan kemashlahatan lain selain itu. Misalnya, adalah kemashlahatan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemashlahatan
yang ditetapkan syari’.
3.
Mashlahah Murasalah, yaitu kemashlahatan yang belum diakomodir dalam nash dan
ijma, serta tidak ditentukan nash dan ijma yang melarang atau memerintahkan
mengambilnya. Misalnya, menetapkan perkawinan, menjatuhakan talak dipengadilan,
kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor dan lain-lain.[13]
G.
Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ ushul fiqih di antaranya:
1.
Mashlahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut
ulama’-ulama’ Syafi’iyyah, ulama’-ulama’ Hanafiyyah dan sebagian
ulama’ Malikiyyah seperti Ibnu Hajib.
2.
Mashlahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian
ulama Maliki dan sebagian ulama’ Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh ulama’-ulama’ ushul.
3.
Imam Al-Qarafi berkata tentang mashlahah mursalah: “Sesungguhnya
berhujjah dengan mashlahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena
mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya
karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.[14]
Jumhur ulama’ umat Islam berpendapat, bahwa
mashlaha mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dapat dijadikan
dasar pembentukan hukum. Adapun kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash,
ijma’, atau istihsan, maka hukum didalamnya sisesuaikan dengan
kemashlahatan umum.
Berikut ini alasan ulama yang berhujjah dengan
mashlahah mursalah, yaitu:
1.
Kemashlahatan umat manusia selalu baru dan tidak pernah
habis. Kalau hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemashlahatan umat
manusia yang terus bermunculan, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada
berbagai kemashlahatan yang diakui oleh Syari’ saja, niscaya akan banyak
kemashlahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman. Hal ini,
tidak sesuai dengan tujuan dalam pembentuka hukum sebagai mewujudkan
kemashlahatan umat.
2.
Orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat,
tabi’in dan para imam mujtahid, maka ia jelas mensyariatkan berbagai hukum
untuk merealisir kemashlahatan umum bukan karena dalil yang mengakuinya.[15]
Berdasarkan penjelasan diatas, kemashlahatan
yang dikehendaki oleh syari’ melalui pensyariatan hukum disebut sebagai mashlahah
mursalah. Mereka (ulama’) mensyariatkannya karena mengandung nilai
kemashlahatan dan tidak ada dalil dari Syari’ yang membatalkan kemashlahatan
itu. Dengan kata lain, dalam pembentukan hukum tidak semata-mata dari segi
kemashlahatan tetai juga karena adanya syara’ yang mengakuinya.
Sebagian ulama’ kaum muslimin berpendapat
bahwa mashlahah mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan
terhadap pengakuan dan pembatalan terhadapnya, tidak dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum. Adapun alasan mereka ialah:
1.
Bahwa syariat telah memelihara segala kemashlahatan
masnusia dengan nash dan petunjuk berupa qiyas. Syari’ tidak
membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemashlahatan
apapun tanpa ada syari’ yang
mengakuinya. Sedangkan jika tidak ada bukti dari syari’, maka hakikatnya bukan
kemashlahatan, namun disebut mashlahah wahmiyyah (kemashlahatan dugaan).
2.
Pembentukan hukum atas dasar kemutlakan mashlahah berarti
membuka pintu hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir
dan para mufti. Sebab, bila mereka kalah oleh hawa nafsu dan keinginannya,
akibatnya mereka bisa menghalalkan mafsadah (kerusakan) pada
kemashlahatan. Sedangkan kemashlahatan suatu hal yang bersifat perkiraan yang
berbeda berdasarkan pendapat dan kondisi lingkungan.[16]
3.
Mashlahah mursalah itu berada diantara mashlahah mu’tabarah dan mashlahah
mulkhah, dimana menyamakannya dengan mashlahah mu’tabarah belum
tentu lebih sesuai dari pada menyamakannya dengan mashlahah mulkhah, karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.[17]
Dalam hal ini, pemakalah setuju dengan
pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang mashlahah mursalah dalam bukunya
berjudul Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa mendasarkan pembentukan hukum
pada mashlahah mursalah itu benar, karena apabila pintu tersebut
tidak dibuka, maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam, dan
hukum Islam akan berhenti tidak bisa mengikuti perkembangan situasi, kondisi
dan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Mashlahah murasalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak
disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangakan
kebaikan yang besar atau kemashlahatan.
Yang menjadi objek mashlahah mursalah
ialah peristiwa yang perlu diterapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash
(Al-Quran dan As-Sunnah) yang dapat dijadikan dasarnya.
Dasar pengambilan mashlahah mursalah ialah
kepentingan atau keperluan manusia yang selalu tumbuh berkembang, yang mana
kepentingan itu terjadi setelah masa Rasulullah. Dan para sahabat, tabi’in,
tabi’it tabi’in dan para ulama’ sesudahnya telah melaksanakannya.
Syarat-syarat mashlahah mursalah ialah
kemashlahatan harus hakiki bukan dugaan, kemashlahatan bersifat umum bukan
individu atau beberapa orang, harus sesuau dengan tujuan syariat Islam dan
mengutamakan terjadi mashlahah umat manusia serta menjauhi bahaya dari umat
manusia.
Mashlahah mursalah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Mashlahah
Dharuriyyah, Mashlahah Hajjiyah, Mashlahah Tahsiniyyah.
Dalam menanggapi kehujjahan mashlahah
mursalah, pemakalah sependapat dengan pernyataan Abdul Wahhab Khallaf yang
menganggap benar mashlahah mursalah itu sebagai salah dasar hujjah dalam
Islam.
B.
Saran
Sebagai calon cendikiawan muslim,
pandai-pandailah mengambil suatu dasar mengenai suatu hukum, terlebih-lebih
hukum yang tidak ada dasar pengambilannya baik dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Juga bukalah wawasan mengenai pengambilan suatu hukum serta jangan bersempit
pikiran atau fanatik dalam pengambilan suatu hukum dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang:
PT Karya Toha Putra.
____________. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: PT Karya
Toha Putra.
Muchtar, Kamal. Dkk. 1995. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras
kerja sama STAIN Bengkulu.
Syafe’i, Rachmar. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Umam, Khairul. Dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Dalam diskusi mata kuliah Ushul Fiqih dengan tema
Mashlahah Mursalah pada tanggal 11 November 2015 telah diutarakan dari beberapa
audien (peserta diskusi), pertanyaan sebagai berikut:
1. Pertanyaan dari Saudara Zaenal Muttaqin, “Apa
yang dimaksud dengan kemashlahatan hakiki, bukan yang bersifat dugaan?”
Ø Jawaban dari pemakalah, “Kemashlahatan yang
bersifat hakiki, bukan yang bersifat dugaan adalah suatu kemashlahatan yang
mutlak, sebagaimana kita ketahui kemashlahatan yang mutlak ialah kemashlahatan
yang pasti mendatangkan manfaat dan pasti menjauhkan dari bahaya, dan manfaat
atau bahaya bukan sifat dugaan atau pandangan yang tanpa ada dasar dari nash
serta bisa mencakup segala orang yang ada disekitar mashlahat tersebut. Dalam
pembentukan hukum, kemashlahatan ini sangat diperlukan karna dasar pembentukan
hukum mendatang kemanfaatan dari hukum tersebut. Misalnya, pencatatan akta
nikah yang dilakukan oleh pihak KUA. Dalam hal ini untuk melindungi harkat dan
martabat wanita dari stigma negatif mengenai zina ataupun kawin kontrak,
pembagian hak waris antara anak, ibu dan bapak supaya landasan penetapan
pembagian dan sebarapa besar yang didapay dari masing-masing anggota keluarga serta
kewajiban hak suami dan hak anak dan istri.
Ø Menurut Saudara Prapto, “Maksud dari
pencatatan akta nikah adalah menjauh perempuan dari stigma negatif zina atau
kawin kontrak serta masyarakat juah dari
dosa zina ataupun kawin kontrak.
2. Pertanyaan dari Saudari Wizaroyul Maliyyah, “Apa
maksud dengan menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan? Tolong
jelaskan kembali!”
Ø Menuerut pemakalah, “Inti dari kemashlatan
adalah mengupayakan kebahagiaan, kenyamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kemashlahatan harus didasarkan banyak sedikitnya manfaat
kemashlahatan itu sendiri. Bila kemashlahatan itu banyak mendatangkan manfaat
dan sangat sediita bahkan tidak ada bahaya yang mengancam masyarakat, maka itu
bisa dibuat hukum dalam hal kemashlahatan ummat.
3. Pertanyaan dari Saudara Afif Nur Fuad, “Dalam
macam-macam Mashlahah Mursalah, mengapa masalah kewajiban berjihad dan
menghindarkan diri dari zina masuk dalam Mashlahah Mursalah? Bukankah sudah ada dalam Al-Quran
dan Hadits!”
Ø Menurut pemakalah, “Memang benar jihad dan
zina sudah ada dalam nash baik dari Al-Quran dan Hadits, namun hal ini jihad
adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam segala hal. Dalam kemashlahatan
diharuskan berijtihad dalam segala hal baik dari perintah ammar ma’ruf nahi
munkar.”
Ø Menurut Saudara Prapto, “Dalam hal zina, bisa
dicontohkan dalam seperti kawin kontrak yang tidak ada dalam nash namun kita
sebagai orang muslim dan orang mu’min harus bisa berijithad menentukan suatu
hukum baru yang mendatangkan kemashlahatan yang besar bagi masyarakat luas.”
Ø Menurut Zaenal Muttaqin, “Sependapat dengan
Saudara Prapto, bahwa kawin kontrak masuk dalam mashlahah mursalah sebab adanya
suatu area hukum yang belum ada di nash dan bila kawin kontrak tidak dihentikan
akan mendatangkan bahaya bagi masyarakat sekitar dari dosa sampai adzab yang
disebabkan oleh dosa orang yang membiarkan perilaku buruk terjadi
terus-menerus.”
Ø Menurut Bapak Agus, “Hal ini bukan masuk dalam
Mashlahah Mursalah namun masuk dalam tingkatan Mashlahatan (kemashlahatan dalam
masyarakat) yang mashlahah dharuriyyah lebih tinggi dari mashalahah hajjiyyah dan
mashlahah hajjiyyah lebih tinggi tingkat kemashlahatannya dari pada mashlahah
tahsiniyyyah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar