Sabtu, 20 Februari 2016

Maklah Ushul Fiqih 1 : Mashlahah Mursalah



MASHLAHAH MURSALAH

Makalah
Disusun Guna Memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : M. Agus Yusrun Nafi’, M.SI

Disusun Oleh:
PAI-O / Semester 3
Muhammad Haidarullah:                                1410110559 







  

 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kemajuan dan perkembangan manusia menjadikan kebutuhan dan masalah hidup semakin berkembang yang menuju masalah kompleks. Tidak hanya dalam masalah hukum namun merambah pula dalam masalah mu’amalah.
Dalam dunia Islam untuk mengambil keputusan suatu hukum syari’ harus dari Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas ataupun kesepakatan ulama’ dalam mengambil suatu hukum. Dalam dewasa ini, banyak masalah yang sulit diambil hukumnya sebab dalam syari’ tidak ada nash yang menguatkan atau menolaknya. Bahkan masalah-masalah manusia sekarang tidak terjadi di masa Rasulullah saw.
Hakikat terbentuknya hukum syari’ karna untuk kemashlahatan umat manusia baik di dunia atau di akhirat dan Ijma’ dan Qiyas disesuaikan dengan kondisi masalah yang terjadi. Dari sinilah diperlukan suatu dasar pegambilan hukum baru untuk kemashlahatan umat manusia, yaitu Mashlahah Mursalah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah mengenai Mashlahah Mursalah, yaitu:
1.      Apa pengertian Mashlahah Mursalah?
2.      Apa objek kajian Mashlahah Mursalah?
3.      Bagaimana dasar hukum Mashlahah Mursalah?
4.      Apa saja syarat-syarat Mashlahah Mursalah?
5.      Apa saja macam-macam Mashlahah?
6.      Bagaiaman pembagian Mashlahah?
7.      Bagaimana kehujjahan Mashlahah Mursalah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Kata mashlahah berasal dari kata kerja bahasa Arab  صلح - يصلح menjadi صلحا atau مصلحة yang berarti  sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehinngga menjaddi isim maf’ul, yaitu:
                                   مرسَل menjadi ارسل ­– يرسل – ارسلا – مرسِلٌ
yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi Mashlahah Mursalah yang berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.
Menurut istilah ulama’ ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikannya di antaranya:
1.    Menurut Imam Ar-Razi, Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
2.    Menurut Imam Al-Ghazali, Mashlahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madaratnya.
3.    Menurut Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Mashlahah ialah memelihara tujuan syara.[1]
4.    Menurut Abu Nur Zuhair, Mashlahah mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi tentu diakui atau tidaknya oleh syara’.
5.    Menurut Abu Zahrah, Mashlahah mursalah suatu mashlahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti  diakui atau tidaknya.[2]
6.    Menurut Asy-Syatibi seorang ulama’ mazhab Maliki, Mashlahah mursalah ialah suatu mashlahah yang tidak ada nash tertentu, tetapi sesuai dengan tindakan syara’. Kesesuaian kemashlahatan dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qath’i walaupun secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qath’i.[3]
Menurut para ulama’ ushul, sebagian menggunakan istilah mashlahah murasalah dengan kata Al-Munasib Al-Mursal dan ada pula Al-Istidlal Al-Mursal. Al-Munasib Al-Mursal ialah melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan. Al-Istidlal Al-Mursal ialah proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Proses ini disebut Istishlah (menggali dan menetapkan suatu mashlahah).[4]
Jadi, mashlahah murasalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangakan kebaikan yang besar atau kemashlahatan.

B.     Objek Kajian Mashlahah Mursalah
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa mashlahah mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash baik dalam Al-Quran atau As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada pada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga difokuskan hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.[5]
Menurut Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah menerangkan bahwa mashlahah mursalah itu sebagi dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu.[6]

C.    Dasar Hukum Mashlahah Mursalah
Para ulama’ yang menjadikan mashlahah mursalah sebagi salah satu dalil syara’ menyatakan bahwa dasar hukum mashlahah mursalah ialah:
1.    Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setalah Rasulullah saw, meninggal dunia.
2.    Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para ulama’ yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehinggan mereka dapat segara menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.[7]

D.    Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
Ulama’ yaang berhujjah dengan mashlahah mursalah, mereka bersikap sangat hati-hati sehingga tidak menimbulkan pembentukan hukum berdasarkaan hawa nafsu dan keinginan tertentu. Oleh karena itu, ulama’ menyusun syarat mashlahah mursalah, yaitu:
1.    Harus merupakan kemashlahatan yang hakiki, bukan yang bersifat dugaan. Bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya. Jika sekedar dugaan, pembentukan hukum dapat menarik manfaat, tanpa mempertimbangkan bahaya yang datang, maka kemashlahatan ini bersifat dugaan semata.
2.    Kemashlahatan itu bersifat umum, bukan pribadi. Bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemashlahatan individu atau beberapa orang.
3.    Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemashlahatan, tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang berdasarkan nash atau ijma’.[8] Dengan kata lain, mashlahah murasalah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya dan mashlahah itu tidak sejalan dengan apa yang dituju oleh Islam, maka tidak dapat disebut mashlahah mursalah.[9]
4.    Mashlahah itu bukan mashlahah yang tidak benar, dimana nash yang tidak ada yang membenarkannya dan tidak menganggap itu salah.[10]
Menurut jumhur ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah mensyaratkan mashlahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum terdapat tempat untuk merealisir kemashlahatan. Mereka berpegang pada kemashlahatan yang dibenarkan syara’. Hal ini karena hampit tidak ada mashlahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.[11]

E.     Macam-Macam Mashlahah
Macam-macam mashlahah ini bukan macam-macam dari mashlahah mursalah. Kemashlahatan manusia itu mempunyai tingakatan-tingkatan atau macam-macam. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat yang kedua dan tingkat kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Adapun tingkatannya sebagi berikut:
1.    Mashlahah Dharuriyah
Mashlahah Dharuriyah (primer) adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya manusia, bila ditinggalkan , maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah dan kehancuran hebat.
Perkara pertama ialah perkara agama, maksudnya berkewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islamiyah (bila diserang dahulu).
Perkara kedua ialah perakara jiwa, maksudnya berkewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqishash orang yang berbuat pidana.
Perkara ketiga ialah perkara akal, maksudnya berkewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan.
Perkara keempat ialah perkara keturunan, maksudnya berkewajiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina.
Perkara kelima ialah perkara harta, maksudnya berkewajiban untuk menjauhi pencuri. Begitu juga pemotongan tangan (efek jera) pada pencuri laki-laki atau perempuan.
2.    Mashlahah Hajjiyah

امّا المَصَالِحُ الحَا جِيّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الاَ عمَالِ وَالتّصَرّ فَاتِ الّتِي لاَتَتَوَقّفُ عَلَيهَا تِلكَ الاُصُولِ الخَمسَةِ بَل تَتَحَقّقُ بِدُونِهَا وَلَكِن صِيَانَةً مَعَ الضّيّقِ وَالحَرَجِ .                   
Artinya: “Mashlahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada mashalahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.”

Hajjiyah ini tidak merusak atau mengancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, mu’amalah dan bidang jinayat/uqubat.
Contoh dalam hal ibadah, shalat yang diqashar, berbuka puasa bagi musafir. Dalam hal adat, dibolehkan berburu, memakai yang baik-baik. Dalam hal mu’amalah, dibolehkan jual beli secara salam (lewat akad-akadan). Dalam hal jinayat, menolak huddud (batasan) lantaran adalah kesamaan-kesamaan dalam perkara.

3.    Mashlahah Tahsiniyyah

اَمّا المَصَالِحُ التّحسِينِيّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الاُمُورِ الّتِي تَقتَضِيهَا المُرُؤَةِ وَمَكَارِمُ الاَخلاَقِ وَمَحَاسِنُ العَادَاتِ .
Artinya: “Mashlahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.”

Tahsiniyah (sekunder) ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, mu’amalah dan jinayat/uqubat. Lapangan ibadah  misalnya bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik ketika sedang mendekatkan diri kepada Allah swt. Lapangan adat seperti, mejaga adat makan, adat minum, memilah makanan dan minuman yang baik. Lapangan mu’amalah seperti, larangan menjual barang najis. Lapangan uqubat seperti, dilarang berbuat curang (khianat) dalam timbangan jual beli, dalam peperangan dilarang membunuh wanita dan anak-anak, pendeta dan orang lanjut usia.[12]

F.     Pembagian Mashlahah
Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, Mashlahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Mashlahah Mu’tabarah, yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya, kewajiban puasa pada Bulan Ramadhan mengandung kemashlahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidika jasmani dan rohaninya agar manusia sehat secara jasmani atau rohani.
2.      Mashlahah Mulghah, yaitu kemashlahatan yang ditolak oleh syari’ (Allah), dan syari’ menetapkan kemashlahatan lain selain itu. Misalnya, adalah kemashlahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemashlahatan yang ditetapkan syari’.
3.      Mashlahah Murasalah, yaitu kemashlahatan yang belum diakomodir dalam nash dan ijma, serta tidak ditentukan nash dan ijma yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Misalnya, menetapkan perkawinan, menjatuhakan talak dipengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor dan lain-lain.[13]

G.    Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ ushul fiqih di antaranya:
1.    Mashlahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama’-ulama’ Syafi’iyyah, ulama’-ulama’ Hanafiyyah dan sebagian ulama’ Malikiyyah seperti Ibnu Hajib.
2.    Mashlahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama’ Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama’-ulama’ ushul.
3.    Imam Al-Qarafi berkata tentang mashlahah mursalah: “Sesungguhnya berhujjah dengan mashlahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.[14]
Jumhur ulama’ umat Islam berpendapat, bahwa mashlaha mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dapat dijadikan dasar pembentukan hukum. Adapun kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijma’, atau istihsan, maka hukum didalamnya sisesuaikan dengan kemashlahatan umum.
Berikut ini alasan ulama yang berhujjah dengan mashlahah mursalah, yaitu:
1.    Kemashlahatan umat manusia selalu baru dan tidak pernah habis. Kalau hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemashlahatan umat manusia yang terus bermunculan, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemashlahatan yang diakui oleh Syari’ saja, niscaya akan banyak kemashlahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman. Hal ini, tidak sesuai dengan tujuan dalam pembentuka hukum sebagai mewujudkan kemashlahatan umat.
2.    Orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid, maka ia jelas mensyariatkan berbagai hukum untuk merealisir kemashlahatan umum bukan karena dalil yang mengakuinya.[15]
Berdasarkan penjelasan diatas, kemashlahatan yang dikehendaki oleh syari’ melalui pensyariatan hukum disebut sebagai mashlahah mursalah. Mereka (ulama’) mensyariatkannya karena mengandung nilai kemashlahatan dan tidak ada dalil dari Syari’ yang membatalkan kemashlahatan itu. Dengan kata lain, dalam pembentukan hukum tidak semata-mata dari segi kemashlahatan tetai juga karena adanya syara’ yang mengakuinya.
Sebagian ulama’ kaum muslimin berpendapat bahwa mashlahah mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan dan pembatalan terhadapnya, tidak dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Adapun alasan mereka ialah:
1.    Bahwa syariat telah memelihara segala kemashlahatan masnusia dengan nash dan petunjuk berupa qiyas. Syari’ tidak membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemashlahatan apapun tanpa ada syari’  yang mengakuinya. Sedangkan jika tidak ada bukti dari syari’, maka hakikatnya bukan kemashlahatan, namun disebut mashlahah wahmiyyah (kemashlahatan dugaan).
2.    Pembentukan hukum atas dasar kemutlakan mashlahah berarti membuka pintu hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir dan para mufti. Sebab, bila mereka kalah oleh hawa nafsu dan keinginannya, akibatnya mereka bisa menghalalkan mafsadah (kerusakan) pada kemashlahatan. Sedangkan kemashlahatan suatu hal yang bersifat perkiraan yang berbeda berdasarkan pendapat dan kondisi lingkungan.[16]
3.    Mashlahah mursalah itu berada diantara mashlahah mu’tabarah dan mashlahah mulkhah, dimana menyamakannya dengan mashlahah mu’tabarah belum tentu lebih sesuai dari pada menyamakannya dengan mashlahah mulkhah,  karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.[17]
Dalam hal ini, pemakalah setuju dengan pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang mashlahah mursalah dalam bukunya berjudul Ilmu Ushul Fiqih menyatakan bahwa mendasarkan pembentukan hukum pada mashlahah mursalah itu benar, karena apabila pintu tersebut tidak dibuka, maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam, dan hukum Islam akan berhenti tidak bisa mengikuti perkembangan situasi, kondisi dan lingkungan.



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Mashlahah murasalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangakan kebaikan yang besar atau kemashlahatan.
Yang menjadi objek mashlahah mursalah ialah peristiwa yang perlu diterapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (Al-Quran dan As-Sunnah) yang dapat dijadikan dasarnya.
Dasar pengambilan mashlahah mursalah ialah kepentingan atau keperluan manusia yang selalu tumbuh berkembang, yang mana kepentingan itu terjadi setelah masa Rasulullah. Dan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama’ sesudahnya telah melaksanakannya.
Syarat-syarat mashlahah mursalah ialah kemashlahatan harus hakiki bukan dugaan, kemashlahatan bersifat umum bukan individu atau beberapa orang, harus sesuau dengan tujuan syariat Islam dan mengutamakan terjadi mashlahah umat manusia serta menjauhi bahaya dari umat manusia.
Mashlahah mursalah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Mashlahah Dharuriyyah, Mashlahah Hajjiyah, Mashlahah Tahsiniyyah.
Dalam menanggapi kehujjahan mashlahah mursalah, pemakalah sependapat dengan pernyataan Abdul Wahhab Khallaf yang menganggap benar mashlahah mursalah itu sebagai salah dasar hujjah dalam Islam.
B.     Saran
Sebagai calon cendikiawan muslim, pandai-pandailah mengambil suatu dasar mengenai suatu hukum, terlebih-lebih hukum yang tidak ada dasar pengambilannya baik dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Juga bukalah wawasan mengenai pengambilan suatu hukum serta jangan bersempit pikiran atau fanatik dalam pengambilan suatu hukum dalam Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra.

____________. 2014.  Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra.

Muchtar, Kamal. Dkk. 1995. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.

Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras kerja sama STAIN Bengkulu.

Syafe’i, Rachmar. 2010.  Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Umam, Khairul. Dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: CV Pustaka Setia.



Dalam diskusi mata kuliah Ushul Fiqih dengan tema Mashlahah Mursalah pada tanggal 11 November 2015 telah diutarakan dari beberapa audien (peserta diskusi), pertanyaan sebagai berikut:
1.      Pertanyaan dari Saudara Zaenal Muttaqin, “Apa yang dimaksud dengan kemashlahatan hakiki, bukan yang bersifat dugaan?”
Ø  Jawaban dari pemakalah, “Kemashlahatan yang bersifat hakiki, bukan yang bersifat dugaan adalah suatu kemashlahatan yang mutlak, sebagaimana kita ketahui kemashlahatan yang mutlak ialah kemashlahatan yang pasti mendatangkan manfaat dan pasti menjauhkan dari bahaya, dan manfaat atau bahaya bukan sifat dugaan atau pandangan yang tanpa ada dasar dari nash serta bisa mencakup segala orang yang ada disekitar mashlahat tersebut. Dalam pembentukan hukum, kemashlahatan ini sangat diperlukan karna dasar pembentukan hukum mendatang kemanfaatan dari hukum tersebut. Misalnya, pencatatan akta nikah yang dilakukan oleh pihak KUA. Dalam hal ini untuk melindungi harkat dan martabat wanita dari stigma negatif mengenai zina ataupun kawin kontrak, pembagian hak waris antara anak, ibu dan bapak supaya landasan penetapan pembagian dan sebarapa besar yang didapay dari masing-masing anggota keluarga serta kewajiban hak suami dan hak anak dan istri.
Ø  Menurut Saudara Prapto, “Maksud dari pencatatan akta nikah adalah menjauh perempuan dari stigma negatif zina atau kawin kontrak  serta masyarakat juah dari dosa zina ataupun kawin kontrak.
2.      Pertanyaan dari Saudari Wizaroyul Maliyyah, “Apa maksud dengan menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan? Tolong jelaskan kembali!”
Ø  Menuerut pemakalah, “Inti dari kemashlatan adalah mengupayakan kebahagiaan, kenyamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, kemashlahatan harus didasarkan banyak sedikitnya manfaat kemashlahatan itu sendiri. Bila kemashlahatan itu banyak mendatangkan manfaat dan sangat sediita bahkan tidak ada bahaya yang mengancam masyarakat, maka itu bisa dibuat hukum dalam hal kemashlahatan ummat.
3.      Pertanyaan dari Saudara Afif Nur Fuad, “Dalam macam-macam Mashlahah Mursalah, mengapa masalah kewajiban berjihad dan menghindarkan diri dari zina masuk dalam Mashlahah  Mursalah? Bukankah sudah ada dalam Al-Quran dan Hadits!”
Ø  Menurut pemakalah, “Memang benar jihad dan zina sudah ada dalam nash baik dari Al-Quran dan Hadits, namun hal ini jihad adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam segala hal. Dalam kemashlahatan diharuskan berijtihad dalam segala hal baik dari perintah ammar ma’ruf nahi munkar.
Ø  Menurut Saudara Prapto, “Dalam hal zina, bisa dicontohkan dalam seperti kawin kontrak yang tidak ada dalam nash namun kita sebagai orang muslim dan orang mu’min harus bisa berijithad menentukan suatu hukum baru yang mendatangkan kemashlahatan yang besar bagi masyarakat luas.”
Ø  Menurut Zaenal Muttaqin, “Sependapat dengan Saudara Prapto, bahwa kawin kontrak masuk dalam mashlahah mursalah sebab adanya suatu area hukum yang belum ada di nash dan bila kawin kontrak tidak dihentikan akan mendatangkan bahaya bagi masyarakat sekitar dari dosa sampai adzab yang disebabkan oleh dosa orang yang membiarkan perilaku buruk terjadi terus-menerus.”
Ø  Menurut Bapak Agus, “Hal ini bukan masuk dalam Mashlahah Mursalah namun masuk dalam tingkatan Mashlahatan (kemashlahatan dalam masyarakat) yang mashlahah dharuriyyah lebih tinggi dari mashalahah hajjiyyah dan mashlahah hajjiyyah lebih tinggi tingkat kemashlahatannya dari pada mashlahah tahsiniyyyah.”


[1] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 200), hlm. 135-136
[2] Rachmar Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 119
[3] Rachmat Syafe’i, hlm. 120
[4] Rachmat Syafe’i, hlm. 118
[5] Rachmat Syafe’i, hlm. 122
[6] Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 146
[7] Kamal Muchtar, dkk, hlm. 145
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2014), hlm. 143-144
[9] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, hlm. 138
[10] Khairul Umam, dkk, hlm. 138
[11] Khairul Umam, dkk, hlm. 142
[12] Khairul Umam, dkk, hlm. 138-141
[13] Suwarjin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras kerja sama STAIN Bengkulu, 2012), hlm. 141-142
[14] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1,  hlm. 141-142
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 117-118
[16] Abdul Wahhab Khallaf, hlm. 121-122
[17] Suwarjin, Ushul Fiqih,  hlm. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar