Minggu, 24 Mei 2015

Makalah Tauhid: Sebab Lahir dan Sejarah Perkembangan Pertumbuhan Ilmu Tauhid



SEJARAH LAHIR DAN FAKTOR ILMU TAUHID
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ilmu Tauhid

Dosen Pengampu : Riza Zahriyal Falah

Disusun oleh :
Muhammad Haidarullah
Muhammad Abdul Gofur       
Muhimmatul Anifah        












SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015



BAB  I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran memberi ajaran kepada semua umat dalam segala aspek kehidupan. Hal ini merupakan suatu kepastian, karena Al-Quran merupakan petunjuk bagi semua umat tanpa terkecuali ke jalan yang lurus.
Salah satu hal penting yang disebutkan oleh Al-Quran adalah ajaran mengenai aqidah. Umat islam diwajibkan untuk mengimani semua perkara gaib yang disebutkan di dalamnya, dengan demikian ia bisa disebut orang yang beriman. Dengan demikian, jiwa seorang muslim selalu merasa diliputi hikmah dalam keadaan apapun. Hal ini akan berdampak pada sikap (ibadah dan muamalah) muslim tersebut yang semakin baik.
Berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim yang diceritakan Umar bin Khattab yang berbunyi:
Yang artinya:  Jibril berkata “ Kabarkan kepadaku tentang iman”. Rosul Allah menjawab “ Engkau harus beriman kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya, hari kiamat, dan engkau harus beriman dengan qodar baik dan buruknya”.
Maka dari itu, pemakalah akan membahas sedikit tema tentang sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka pemakalah menyajikan beberapa rumusan masalah yang sekiranya perlu dibahas pada tema sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid. Diantara rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sebab-sebabnya lahirnya Ilmu Tauhid?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid?
3.      Faktor apa saja yang mempengaruhi dalam perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sebab-sebabnya lahirnya Ilmu Kalam
Sejarah menunjukkan, bahwa pemahan manusia terhadap Ilmu Tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak diutusnya Nabi Adam. Dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam surta Al-Anbiya’: 25, 


وما ارسلنا من قبلك من رسول إلا نوحى إليه أنّه لآإله إلاّ اناْ فاعبدون
Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seseorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tiada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Aku, maka sembahlah Daku.”[1]
Dari dua sumber (Al-Qur’an dan Hadits) pada masa Rasulullah tidak ada yang mempermasalahkan aqidah. Nabi SAW pun selalu berusaha menjauhkan mereka dari kemungkinan yang dapat mendatangkan perselisihan dan perpecahan ummat (M. Abu Zahrah: 108).[2]
Ada beberapa faktor yang telah mendahului dan melatarbelakangi lahirnya ilmu kalam, yaitu:
1.      Faktor Internal
a.       Al-Qur’an
Al-Qur’an selain mengajarkan untuk mengesakan Tuhan dan membenarkan keutusan Nabi Muhammad SAW, dalam bidang aqidah menghidangkan bantahan terhadap orang yang mengingkari adanya Tuhan. Selain itu, terdapat  ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, serta tidak sedikit mendorong ummat manusia agar dengan akal pikirannya mau memikirkan nikmat, hikmat dan kesempurnaan segala ciptaanNya (A. Amin, 1965: 1-2).
b.      Kaum Muslimin
Pada awalnya agama hanyalah kepercayaan yang kuat tanpa mengadakan penyelidikan. Kemudian datang masa penyelidikan dan membicarakan persoalan agama secara filosofis. Datang pula orang-orang yang mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an di sekitar ijbar dan ikhtiyar. Oleh karena itu, timbullah perbedaan dan perselisihan paham diantara mereka dan dari yang demikian inilah yang merupakan faktor bagi timbulnya Ilmu Kalam (A. Amin, 1965: 2-3).
c.       Politik
Dalam politik, awalnya persoalan dalam penggantian Nabi SAW sebagai “kepala negara” setelah wafat. Masalah ini diawali dengan fitnah kubra dengan terbunuhnya Utsman Bin Affan yang menjadi malapetaka besar bagi ummat Islam. Ummat Islam mulai terpecah belah secara politis menjadi beberapa sekte, kemudian merambat aspek ideologi hingga merambat bidang aqidah. Timbullah problema siapa yang kafir siapa yang bukan kafir (Mu’min). Akhirnya melahirkan beberapa golongan dan aliran yang masing–masing mempunyai paham dan keyakinan  berbeda.
Dalam masalah internal asal mula timbulnya Ilmu Kalam yang terjadi dalam tubuh Islam sendiri, yaitu ajakan dan bantahan dalam Al-Qur’an, kondisi kaum muslimin yang berusaha membahas ayat-ayat ijbar dan ikhtiyar dan dibidang konstitusi khususnya dalam hal sistem khalifah (politik).
2.      Faktor Eksternal
a.       Kepercayaan non Islam
Meluasnya daerah kekuasaan Islam pada dinasti Umayyah dan masa selanjutnya diikuti pula oleh banyak prang-orang non muslimyang masuk Islam. Tidak semua orang yang masuk Islam itu degan hati ikhlas, tetapi diantaranya ada yang terpaksa ataupun karena motif-motif lain. Disamping itu, mereka yang dahulunya menganut agama-agama selain Islam, ketika keadaan mulai tenang mereka mulai memikirkan dan membahas agamanya yang dahulu serta membandingkannya dengan aqidah Islam (A. Syalabi, 1959: 163).
b.      Filsafat
Orang-orang Yahudi dan Kristen berusaha menyerang Islam dengan senjata filsafat, bersamaan dengan itu kaum muslimin terdorong untuk mempelajari dan mempergunakan filsafat didalam usaha mempertahankan Islam, khususnya bidang aqidah (A. Amin, 1965: 8). Akibat logis dari penerjemahan dan mempergunakan buku-buku filsafat yang turut melahirkan Ilmu Kalam sekaligus juga turut membentuk, memberi corak dan warnanya. Ahmad Amin menyimpulkan: “Ilmu Kalam itu merupakan suatu ilmu yang mempunyai corak campuran antara Ilmu Tauhid dengan Filsafat Yunani, namun watak atau kepribadian corak Islam lebih dominan daripada watak filsafat itu sendiri (A. Amin, 1965: 9).[3]
Secara garis besar faktor eksternal yaitu, adanya perembesan aqidah agama-agama non Islam dan akibat logis penerjemahan buku-buku filsafat.
B.     Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan  Ilmu Kalam
Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang didalamnya diterangkan segala yang disampaikan Rasul dan Allah SWT tumbuh bersama-sama dengan tumbunya agama didunia ini.
Adapun ilmu-ilmu yang menetapkan akidah-akidah Islamiyah dengan jalan mengemukakan dalil-dalil dan mempertahankan dalil-dalil itu, tumbuh bersama–sama dengan tumbuhnya Islam, dan dipengaruhi oleh perkembangan jalan pikiran dan keadaan umat Islam.
Ilmu ini telah melalui beberapa masa yaitu
a.    Masa Rasulullah SAW.
b.   Masa Khulafa’ur Rasyidin
c.    Masa Bani Umayah
d.   Masa Bani Abbas
e.    Masa sesudah Bani Abbas[4]
1.         Masa Rasulullah SAW
Masa Rasulullah merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam.[5] Masa ini para muslim kembali kepada Rasul sendiri untuk mengetahui dasar-dasar agama dan hukum-hukum syari’ah. Mereka disinari oleh nur wahyu dan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Rasulullah menjauhkan para umat dari segala hal yang menimbulkan perpecahan dan perbedaan pendapat.[6]
Para mukmin diharuskan menaati Allah dan RasulNya dan dilarang mereka berselisih paham menyebabkan timbulnya kelemahan dari segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Sebagaimana Firman Allah SWt dalam surat Al-Anfal: 46   
وأطيعوا الله ورسوله ولاتنزعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا إنّ الله مع الصبرين
Artinya: “Dan taatilah Allah dan RasulNya dan jangalah kamu saling berbantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilanglah kekuatanmu serta bersabarlah, sesungguhnya Allah berda bersama-sama orang yang sabar” (QS. Al Anfal: 46).[7]
Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan sulit untuk dipungkiri, tetapi menjaga persatuan merupakan hal yang sangat diperlukan sebagai benteng dari perpecahbelahan.  Allah swt menyuruh RasulNya menghadapi kaumnya yang berkepala batu dengan memberi nasihat pelajaran dan peringatan. Sebagaimana Firman Allah Swt

وإن جدلوك فقل الله أعلم بما تعملون {98} ألله يحكم بينكم يوم القيمة فيما كنتم فيه تختلفون {99}
Artinya: “Dan jika mereka mendebat engkau, maka katakanlah: “Allah lebih mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. Allah menghukumi diantara kamu pada hari kiamat, terhadap apa yang selalu kamu perselisihkan” (QS. Al-Hajj: 68-69).[8]
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Sebagaimana firman Allah :

أدع إلى سبيل ربّك بالحكمة والموعظة الحسنة ’ وجدلهم بالّتى هي أحسن إنّ ربّك هو أعلم بمن ضلّ عن سبيله ’ وهو أعلم بالومهتدين {125}  
“Serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmat, pengajaran yang baik dan debatlah dengan jalan yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl : 125)[9]
Dengan demikian, Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
2.         Masa Khulafa’ur Rasyidin
Setelah Rasulullah wafat dan dalam masa khalifah pertama dan kedua, ummat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena ummat Islam fokus dalam peperangan dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan ummat Islam. Mereka pun mensifatkan Allah dengan apa yang Allah sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat mustasyabihat, mereka  mengimaninya dengan menyerahkkan pentakwilannya kepada Allah sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan poltik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman Bin Affan ummat Islam menjadi terpecah belah dalam beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu berusaha mempertahankan pendiriannya dengan perkataan dan usaha, dan terbukalah pembuatan riwayat-riawayat palsu.[10]
Semasa Utsman, banyak mempunyai kelebihan dan jasa dibidang lain, namun dalam kepemimpinan dicatat sebagai orang yang lemah. Karena kelemahan yang tidak berdaya menghadapi desakan-desakan dari kalangan Bani Umayyah yang ingin meningkatkan pengaruh dan peranan dalam ummat Islam. Mulailah bermunculan berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Utsman sebagai tindakan yang kurang adil dan menderita nepotisme. Menurut Ahmad Amin, pada saat itulah muncul secara terbuka beberapa aliran dalam bidang keagamaan, seperti Syi’ah sekalipun gejalanya sudah terasa setelah wafatnya Nabi SAW.
Ali Bin Abi Thalib terpilih sebagai khlifah keempat tetapi pilihannya tidak mendapat suara bulat, ada kelompok tertentu yang menuduh Ali terlibat atau setidak-tidaknya Ali membiarkan komplotan pembunuh Utsman. Berbeda dengan itu, kelompok pendukung Ali yang menganggap bahwa Ali yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat. Kelompok ini dikenal dengan golonga Syi’ah yang secara harfiahnya “partai” atau “syi’atu Ali” (partai Ali). Lama kelamaan, Syi’ah menjadi sarat sekali dengan ideologi yang cenderung menganggap bahwa yang bukan golongannya adalah kafir. Menurut Asly-Syarastani, kecenderungan ini juga untuk melegitimasi serta mengkonfirmasi tuntutan politiknya, seperti ajaran tentang  imamah, wishayat, dan ishmah.
Sedangkan golongan yang menentang Ali adalah kelompok Mu’awiyyah yang terjadi perdebatan antara kelompok Ali dengan kelompok Umayyah. Sehingga perang tidak dapat terhindari dan berakhir dengan jalan kompromi melalui tahkim/abritase. Akibatnya, Ali kehilangan legitimasi politik dan legitimasi beralih pada Mu’awiyyah. Peristiwa itu menyebabkan pendukung ekstrim Ali protes keras dan keluar dari kelompok Ali, kemudian membentuk golongan “Khawarij”.[11]
3.         Masa Bani Umayyah
Setelah usaha mempertahankan kedaulatan Islam mulai kendur dan terbuka untuk memikirkan hukum-hukum agama dan dasar akidah, serta masuknya pemeluk-pemeluk agama lain ke dalam Islam yang jiwanya tetap dipengaruhi oleh unsur-unsur agama yang mereka telah tinggalkan. Lahirlah kebebasan berbicara tentang masalah-masalah yang tak pernah dibahas oleh ulama’ salaf. [12]
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah qadar yang mengatakan manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah)[13]. Golongan ini juga dikatakan Jahmiyah, yakni pengikut Jaham Ibnu Shafwan. Dan mereka dinamakan juga Mu’aththilah, karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.[14]
Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan (Qadariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab Mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”, dan meniadakan semua sifat pada Allah karena zat Allah tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa mereka juga disebut dengan “Ahlu At-Tauhid”.[15]
Al Hasan Al Bisri mengemukakan pendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari Islam. Pendapat ini dibantah oleh muridnya Washil Ibnu Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar berada diantara dua martabat. Karena pendapat ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan mereka dinamakan Mu’tazilah.[16] Dia juga menyusun kitab sebagai pegangan bagi mazhab Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dikatakan masa ini timbul usaha menyusun kitab pegangan dalam Ilmu Kalam yang tidak sampai pada masa kini.
4.         Masa Bani Abbas
Diantara gerakan ilmiah masa ini ialah usaha menterjemahkan kitab-kitab filsafat dari bahasa Yunani. Penguasa-penguasa Bani Abbas mempergunakan orang-orang persia yang telah memeluk agama Islam, orang Yahudi dan Nasrani untuk menjadi pegawai negeri dan mempergunakan mereka untuk menterjemahkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka dan bahasa arab.
Para penerjemah ini berusaha mengembangkan pendapat-pandapat mereka yang berpautan dengan agama, serta mengembangkannya dalam masyarakat muslim; mereka menyembunyikan maksud buruk mereka dengan berpakaian islam. Mereka menggunakan falsafah untuk kepentingan pikiran mereka. Dengan demikian timbulah beberapa partai yang sama sekali tidak dikehendaki islam.
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Amar Ibnu Ubaid Al-Mu’tazil menyusun sebuah kitab, menolak paham Qadariyah. Sedangkan Hisyam Ibnu Al-Hakam Asy-Syafi’y menyusun sebuah kitab menolak paham Mu’tazilah.
Abu Hanifah menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al-Alim Wal Muta’alim dan kitab Al-Fiqhul Akbar untuk memperktahankan aqidah Ahlussunnah. Juga Asy syafi’i menyusun 10 kitab yanng dinamakan Al-Fiqhul Akbar.
Dalam masa pemerintahan Al-ma’mun terjadilah perdebatan-perdebatan yang memuncak dan hangat diantara ulama’-ulama’ kalam, karena Al-ma’mun membuka kesempatan yang luas bagi tokoh-tokoh mu’tazilah.
Akan tetapi perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah berhenti pada saat lahir partai-partai Musyabbihah, yaitu dengan lahirnya Muhammad Ibnu Karram, pemimpin golongan Karamiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan menyamakan sifat-sifat Allah itu dengan sifat-sifat makhluk, dan berkumandanglah pula pendirian Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Dalam peristiwa ini banyaklah orang dibunuh dan disiksa.
Dalam keadaan itu lahirlah Abul Hasan Al-Asy’ari yaitu murid utama dari Abu Ali Muhammad ibnu Abdul Wahab Al Jubba’i Almu’tazili. Abul Hasan membantah pendapat gurunya dan membela madzab Ahlussunnah Waljama’ah.
Abul Hasan menempuh jalan tengah antara madzhab salaf dan madzhab penentangnya. Dia mengumpulkan antara dalil-dalil aqli dan naqli bagi pendapat-pendapatnya dalam menolak faham Mu’tazilah.
Ibnu Rusyd dalam kedua kitabnya yaitu Fashul Maqal dan Alkasyfu’ Anmanahhijil Adillah telah mengeritik jalan-jalan yang ditempuh oleh para mutakalllimin (ulama’ kalam) dalam cara mereka mengambil dalil dan memalsukan muqoddamah-muqoddamah yang berdasar ilmu filsafat yang dipegang erat oleh golongan Al asy’ariyah dan diambilnya dari golongan Mu’tazilah, Ibnu Rusyd dalam kitabnya itu berusaha mempertemukan antara syari’at dan hikmat (falsafah) dan menghendaki supaya kita mengambil dalil untuk menetepkan aqidah Islamiyah tanpa perlu mempergunakan falsafah serta hendaklah kita mengikuti jalan yang digariskan Al-Qur’an yang sesuai fitrah manusia dan berpadanan dengan kemudahan agama Islam.[17]
5.         Masa pasca Bani Abbas
Sesudah masa Bani Abbas, datanglah pengikut Al-Asy’ariyah yang telah menceburkan dirinya ke dalam falsafah dan mantiq, kemudian mecampurkan semuanya dengan Ilmu Kalam. Mazhab Al Asy’ari berkembang pesat hingga tak ada yang menyalahinya selain Mazhab Hanbaliyyah yang teteap bertahan mazhab salaf, yaitu beriman sebagaimana dalam Al-Qur’an dan Hadits tanpa mentakwilkan.
Hingga abad ke-8 Hijrah, ulama’ Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam falsafah akidah Islamiyah dan membantah pendirian golongan Al-Asy’ariyah, Raridhah maupun Sufiyah. Karena ummat Islam dalam pro kontra, ada yang menerima pendapat Ibnu Taimiyah dan ada juga yang mengatakan Ibnu Taimiyah itu orang sesat.
Sesudah masa ini, tumpul dan lenyap daya kreatif mempelajari Ilmu Kalam yang hanya menulis makna lafaz dan ibarat dari kitab-kitab lama.[18]
C.     Hal-Hal Yang Mempemgaruhi Ilmu Tauhid Dalam Perkembangan dan Pertumbuhan
1.      Yang mempemgaruhi perkembangan ilmu kalam
a.       Al-Qur’an membantah pendirian orang musyrikin mengingkari agama dalam surat Al-Jatsiyah: 24

وقالوا ما هي إلآ حيا تنا آلدّنيا نموت ونحيا وما يهلكنا إلآّ آلدّهر ’ وما لهم بذلك من علم ’ إن هم إلاّ يظنّون {24}  
Artinya:  dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
Al-Qur’an membantah paham orang yang menuhankan Isa a.s sebagaimana dalam surat Ali Imran: 59

إنّ مثل عيسى عند الله كمثل ءادم ’ خلقه من تراب ثمّ قال له كن فيكون {59} 

Artinya: "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia."
Al-Qur’an membantah paham yang memperserikatkan sesuatu dengan Allah sebagaimana dalam surat Al-Anbiyaa’: 22

لو كان فيهما ءالهة إلاّ الله لفسدتا ’ فسبحن الله ربّ العرش عمّا يصفون {22}   
Artinya: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan."
b.      Al-Qur’an mnegharuskan kaum muslimin mengembangkan agama dan membelanya sebagaimana dalam surat Al-Fath: 28

هو الّذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الّذين كلّه ’ وكفى بالله شهيدا {28}  
Artinya: "Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi." 
c.       Di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat mutasyabihat mendorong manusia untuk membahasnya dan menerangkan sifat-sifat Allah seperti manusia.
Dalam surat Asy-Syura: 11 

..... ليس كمثله شئ ’ وهو السميع البصير {11}
 Artinya: "....tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat." 
Dalam surat Al-Maidah: 64 

..... بل يداه مبسوطتان..... {64} 

Artinya: ".....tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka”
   
2.      Pengaruh yang bersumber dari kaum muslimin
a.       Kemenangan-kemenangan yang mereka peroleh dalam peperangan dan kemewahan hidup menyebabkan mereka merasa aman tinggal dalam negeri mereka masing-masing dan memperoleh kesempatan untuk membahasa masalah-masalah agama secara filosofis yang tidak lagi membatasi hal-hal yang bersifat lahiriyah.
b.      Masalah-masalah politik dan perselisihan-perselisihan pendapat antar sesama muslim yang mengakibatkan munculnya partai-partai. Puncak perselisihan terjadi di akhir masa pemerintahan Utsman yang akibatnya Utsman terbunuh.
c.       Kemerdekaan berpikir dan bersuara, sangat sempurna di masa itu yang sesuai dengan watak orang arab, bahkan dikuatkan lagi oleh Islam dengan dasar-dasar yang lempeng. Pada masa itu terjadi pembunuhan lawan politik bertujuan menutupi politik yang buruk karena berbeda pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an.
3.      Pengaruh yang datang dari luar
a.       Setelah kaum muslimin merasa aman, mulailah mereka mengkaji akidah-akidah agama. Karena banyaknya banyak ditemukan kitab-kitab myang disusun oelh partai yang dipandang Islam ataupun prinsip-prinsip yang sama sekali tidak ada hubungannya dalam Islam, misalnya mazhab Tanasukh (reinkarnasi) yang sebenarnya berasal dari agama Hindhu dan seperti menuhankan Ali yang sama seperti agama Nasrani.
b.      Partai-partai Islam yang berusaha membela akidah Islamiyah, terutama golongan Mu’tazilah yang tidak dapat menunaikan kewajiibannya sebelum mengetahui akidah serta dalil-dalil akidah lawan dengan sebaik-baiknya.
c.       Mereka menemukan bahwa lawannya membela akidah dengan filsafah, maka mereka menggunakan falsafah untuk melawannya dan mempelajari falsafah Yunani dan memasukkan ke dalam Ilmu Tauhid yang dianggap menjadi alat untuk mempertahankan akidah.[19]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam masalah internal asal mula timbulnya Ilmu Kalam yang terjadi dalam tubuh Islam sendiri, yaitu ajakan dan bantahan dalam Al-Qur’an, kondisi kaum muslimin yang berusaha membahas ayat-ayat ijbar dan ikhtiyar dan dibidang konstitusi khususnya dalam hal sistem khalifah (politik). Secara garis besar faktor eksternal yaitu, adanya perembesan aqidah agama-agama non Islam dan akibat logis penerjemahan buku-buku filsafat.
Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. Pada masa khulafaur rasyidin terjadi polemik saat Utsman terbunuh dan muncul golongan Syi’ah dan Khawarij karena perselisih paham. Sedang pada masa Bani Umayyah terjadi perbedaan dalam masalah akidah dan terbentuk golongan Jabariyah, Qadariyah. Namun Qadariyah berlebur dengan Mu’tazilah. Pada Bani Abbas, orang Yahudi dan Nasrani menjadi pegawai negeri yang mencampuri dalam menterjemahkan kitab, sehingga tercipta partai-partai dan kitab-kitab untuk memperkuat dalilnya maupun membantah dalil lawan. Setelah masa Bani Abbas, daya kreatif menciptakan kitab melemah hanya menulis makna dan ibarat-ibarat kitab.
Hal-hal yang mempengaruhi Ilmu Tauhid yaitu, faktor dari Al-Qur’an membantah orang yang mengingkari Allah dan Rasul dan ayat yang perlu ditakwilkan. Kedua faktor dari kaum muslimin terjadi perdebatan-perdebatan sesama muslim. Ketiga, faktor dari luar yang terpengaruh agama sebelum Islam.
Saran
Sebagai mahasiswa muslim kita harus paham dalam Ilmu tauhid baik pengertian, sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid, sebab-sebab lahirnya maupun faktor yang mempengaruhi dalam pertumbuhan Ilmu Tauhid. Supaya tidak salah pemahan dalam Ilmu Tauhid.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mufid, Fathul. Ilmu Tauhid/Kalam. 2009. Kudus: STAIN Kudus.
Lierboyo, Purna Siswa. 2008.  ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM, Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari Masa Klasik sampai Modern. Kediri: KAISAR.


[1]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU TAUHID/KALAM, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 1
[2]  Drs. Fathul Mufid, M.S.I, ILMU TAUHID/KALAM (Kudus: STAIN Kudus), hlm. 6
[3]  Ibid, hlm. 7-8
[4]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU TAUHID/KALAM, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 3
[6]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 4
[7]  Ibid,
[8]  Ibid, hlm. 6-7
[9]  Ibid, hlm. 7
[10]  Ibid, hlm. 8
[11]  Drs. Fathul Mufid, M.S.I, ILMU TAUHID/KALAM, (Kudus: STAIN Kudus, 2009), hlm. 11-12
[12]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 9
[13]  Purna Siswa Lierboyo, ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM, Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari Masa Klasik sampai Modern. (Kediri: KAISAR, 2008),  hlm. 17
[14]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 9
[15]  Ibid, hlm. 10-11; Purna Siswa Lierboyo, ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM, Op.Cit., 17
[16]  Ibid, hlm. 10
[17]  Ibid, hlm. 11-16
[18]  Ibid, hlm. 16-17
[19]  Ibid, hlm. 18-26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar