SEJARAH LAHIR DAN FAKTOR ILMU
TAUHID
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Riza Zahriyal
Falah
Disusun oleh :
Muhammad Haidarullah
Muhammad Abdul Gofur
Muhimmatul Anifah
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran memberi ajaran kepada semua
umat dalam segala aspek kehidupan. Hal ini merupakan suatu kepastian, karena
Al-Quran merupakan petunjuk bagi semua umat tanpa terkecuali ke jalan yang
lurus.
Salah satu hal penting yang disebutkan oleh Al-Quran adalah ajaran
mengenai aqidah. Umat islam diwajibkan untuk mengimani semua perkara gaib yang
disebutkan di dalamnya, dengan demikian ia bisa disebut orang yang beriman.
Dengan demikian, jiwa seorang muslim selalu merasa diliputi hikmah dalam
keadaan apapun. Hal ini akan berdampak pada sikap (ibadah dan muamalah) muslim
tersebut yang semakin baik.
Berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim yang diceritakan Umar bin
Khattab yang berbunyi:
Yang artinya: Jibril
berkata “ Kabarkan kepadaku tentang iman”. Rosul Allah menjawab “ Engkau harus
beriman kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya, para utusannya, hari kiamat,
dan engkau harus beriman dengan qodar baik dan buruknya”.
Maka dari itu, pemakalah akan membahas sedikit tema tentang sejarah
perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka pemakalah menyajikan
beberapa rumusan masalah yang sekiranya perlu dibahas pada tema sejarah
perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid. Diantara rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa
sebab-sebabnya lahirnya Ilmu Tauhid?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid?
3.
Faktor
apa saja yang mempengaruhi dalam perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Tauhid?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebab-sebabnya
lahirnya Ilmu Kalam
Sejarah
menunjukkan, bahwa pemahan manusia terhadap Ilmu Tauhid itu sudah tua sekali,
yaitu sejak diutusnya Nabi Adam. Dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam
surta Al-Anbiya’: 25,
وما ارسلنا
من قبلك من رسول إلا نوحى إليه أنّه لآإله إلاّ اناْ فاعبدون
Artinya:
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seseorang rasul pun melainkan Kami
wahyukan kepadanya: Bahwasanya tiada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan
Aku, maka sembahlah Daku.”[1]
Dari dua sumber (Al-Qur’an dan Hadits) pada masa Rasulullah tidak
ada yang mempermasalahkan aqidah. Nabi SAW pun selalu berusaha menjauhkan
mereka dari kemungkinan yang dapat mendatangkan perselisihan dan perpecahan
ummat (M. Abu Zahrah: 108).[2]
Ada beberapa faktor yang telah mendahului dan melatarbelakangi
lahirnya ilmu kalam, yaitu:
1.
Faktor
Internal
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an selain mengajarkan untuk mengesakan Tuhan dan membenarkan
keutusan Nabi Muhammad SAW, dalam bidang aqidah menghidangkan bantahan terhadap
orang yang mengingkari adanya Tuhan. Selain itu, terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat,
serta tidak sedikit mendorong ummat manusia agar dengan akal pikirannya mau
memikirkan nikmat, hikmat dan kesempurnaan segala ciptaanNya (A. Amin, 1965:
1-2).
b.
Kaum
Muslimin
Pada awalnya agama hanyalah kepercayaan yang kuat tanpa mengadakan
penyelidikan. Kemudian datang masa penyelidikan dan membicarakan persoalan
agama secara filosofis. Datang pula orang-orang yang mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur’an di sekitar ijbar dan ikhtiyar. Oleh karena itu, timbullah perbedaan
dan perselisihan paham diantara mereka dan dari yang demikian inilah yang
merupakan faktor bagi timbulnya Ilmu Kalam (A. Amin, 1965: 2-3).
c.
Politik
Dalam politik, awalnya persoalan dalam penggantian Nabi SAW sebagai
“kepala negara” setelah wafat. Masalah ini diawali dengan fitnah kubra dengan
terbunuhnya Utsman Bin Affan yang menjadi malapetaka besar bagi ummat Islam.
Ummat Islam mulai terpecah belah secara politis menjadi beberapa sekte, kemudian
merambat aspek ideologi hingga merambat bidang aqidah. Timbullah problema siapa
yang kafir siapa yang bukan kafir (Mu’min). Akhirnya melahirkan beberapa
golongan dan aliran yang masing–masing mempunyai paham dan keyakinan berbeda.
Dalam masalah internal asal mula timbulnya Ilmu Kalam yang terjadi
dalam tubuh Islam sendiri, yaitu ajakan dan bantahan dalam Al-Qur’an, kondisi
kaum muslimin yang berusaha membahas ayat-ayat ijbar dan ikhtiyar dan dibidang
konstitusi khususnya dalam hal sistem khalifah (politik).
2.
Faktor
Eksternal
a.
Kepercayaan
non Islam
Meluasnya daerah kekuasaan Islam pada dinasti Umayyah dan masa
selanjutnya diikuti pula oleh banyak prang-orang non muslimyang masuk Islam.
Tidak semua orang yang masuk Islam itu degan hati ikhlas, tetapi diantaranya
ada yang terpaksa ataupun karena motif-motif lain. Disamping itu, mereka yang
dahulunya menganut agama-agama selain Islam, ketika keadaan mulai tenang mereka
mulai memikirkan dan membahas agamanya yang dahulu serta membandingkannya
dengan aqidah Islam (A. Syalabi, 1959: 163).
b.
Filsafat
Orang-orang Yahudi dan Kristen berusaha menyerang Islam dengan
senjata filsafat, bersamaan dengan itu kaum muslimin terdorong untuk
mempelajari dan mempergunakan filsafat didalam usaha mempertahankan Islam,
khususnya bidang aqidah (A. Amin, 1965: 8). Akibat logis dari penerjemahan dan
mempergunakan buku-buku filsafat yang turut melahirkan Ilmu Kalam sekaligus
juga turut membentuk, memberi corak dan warnanya. Ahmad Amin menyimpulkan: “Ilmu
Kalam itu merupakan suatu ilmu yang mempunyai corak campuran antara Ilmu Tauhid
dengan Filsafat Yunani, namun watak atau kepribadian corak Islam lebih dominan
daripada watak filsafat itu sendiri (A. Amin, 1965: 9).[3]
Secara garis besar faktor eksternal yaitu, adanya perembesan aqidah
agama-agama non Islam dan akibat logis penerjemahan buku-buku filsafat.
B.
Sejarah
Perkembangan dan Pertumbuhan Ilmu Kalam
Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang
didalamnya diterangkan segala yang disampaikan Rasul dan Allah SWT tumbuh
bersama-sama dengan tumbunya agama didunia ini.
Adapun ilmu-ilmu yang menetapkan akidah-akidah Islamiyah dengan
jalan mengemukakan dalil-dalil dan mempertahankan dalil-dalil itu, tumbuh
bersama–sama dengan tumbuhnya Islam, dan dipengaruhi oleh perkembangan jalan
pikiran dan keadaan umat Islam.
Ilmu ini telah melalui beberapa masa yaitu
a.
Masa
Rasulullah SAW.
b.
Masa
Khulafa’ur Rasyidin
c.
Masa
Bani Umayah
d.
Masa
Bani Abbas
e.
Masa
sesudah Bani Abbas[4]
1.
Masa
Rasulullah SAW
Masa Rasulullah merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan
dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam.[5] Masa ini para muslim kembali kepada Rasul sendiri untuk mengetahui
dasar-dasar agama dan hukum-hukum syari’ah. Mereka disinari oleh nur wahyu dan
petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Rasulullah menjauhkan para umat dari segala hal
yang menimbulkan perpecahan dan perbedaan pendapat.[6]
Para mukmin diharuskan menaati Allah dan RasulNya dan dilarang
mereka berselisih paham menyebabkan
timbulnya kelemahan dari segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Sebagaimana
Firman Allah SWt dalam surat Al-Anfal: 46
وأطيعوا الله ورسوله ولاتنزعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا إنّ الله مع الصبرين
وأطيعوا الله ورسوله ولاتنزعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا إنّ الله مع الصبرين
Artinya: “Dan taatilah Allah dan RasulNya dan jangalah kamu saling
berbantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilanglah kekuatanmu serta
bersabarlah, sesungguhnya Allah berda bersama-sama orang yang sabar” (QS. Al
Anfal: 46).[7]
Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan sulit untuk dipungkiri,
tetapi menjaga persatuan merupakan hal yang sangat diperlukan sebagai benteng
dari perpecahbelahan. Allah swt
menyuruh RasulNya menghadapi kaumnya yang berkepala batu dengan memberi nasihat
pelajaran dan peringatan. Sebagaimana Firman Allah Swt
وإن جدلوك فقل الله أعلم بما تعملون {98} ألله يحكم بينكم يوم القيمة
فيما كنتم فيه تختلفون {99}
Artinya: “Dan jika mereka mendebat engkau, maka katakanlah: “Allah
lebih mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan. Allah menghukumi diantara
kamu pada hari kiamat, terhadap apa yang selalu kamu perselisihkan” (QS.
Al-Hajj: 68-69).[8]
Bila terjadi
perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan
cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar
dari pertengkaran. Sebagaimana
firman Allah :
أدع إلى سبيل ربّك بالحكمة والموعظة الحسنة ’ وجدلهم بالّتى هي أحسن
إنّ ربّك هو أعلم بمن ضلّ عن سبيله ’ وهو أعلم بالومهتدين {125}
“Serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan
hikmat, pengajaran yang baik dan debatlah dengan jalan yang paling baik.
Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya.
Dan lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl
: 125)[9]
Dengan demikian, Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi
penengahnya.
2.
Masa
Khulafa’ur Rasyidin
Setelah Rasulullah wafat dan dalam masa khalifah pertama dan kedua,
ummat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena ummat Islam fokus
dalam peperangan dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan ummat Islam.
Mereka pun mensifatkan Allah dengan apa yang Allah sifatkan sendiri. Dan mereka
mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah.
Apabila mereka menghadapi ayat-ayat mustasyabihat, mereka mengimaninya dengan menyerahkkan
pentakwilannya kepada Allah sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan poltik yang
diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman Bin Affan ummat Islam menjadi
terpecah belah dalam beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai
dan golongan-golongan itu berusaha mempertahankan pendiriannya dengan perkataan
dan usaha, dan terbukalah pembuatan riwayat-riawayat palsu.[10]
Semasa Utsman, banyak mempunyai kelebihan dan jasa dibidang lain,
namun dalam kepemimpinan dicatat sebagai orang yang lemah. Karena kelemahan
yang tidak berdaya menghadapi desakan-desakan dari kalangan Bani Umayyah yang
ingin meningkatkan pengaruh dan peranan dalam ummat Islam. Mulailah bermunculan
berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Utsman sebagai tindakan yang kurang
adil dan menderita nepotisme. Menurut Ahmad Amin, pada saat itulah muncul
secara terbuka beberapa aliran dalam bidang keagamaan, seperti Syi’ah sekalipun
gejalanya sudah terasa setelah wafatnya Nabi SAW.
Ali Bin Abi Thalib terpilih sebagai khlifah keempat tetapi
pilihannya tidak mendapat suara bulat, ada kelompok tertentu yang menuduh Ali
terlibat atau setidak-tidaknya Ali membiarkan komplotan pembunuh Utsman.
Berbeda dengan itu, kelompok pendukung Ali yang menganggap bahwa Ali yang
berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat. Kelompok ini dikenal dengan
golonga Syi’ah yang secara harfiahnya “partai” atau “syi’atu Ali” (partai Ali).
Lama kelamaan, Syi’ah menjadi sarat sekali dengan ideologi yang cenderung
menganggap bahwa yang bukan golongannya adalah kafir. Menurut Asly-Syarastani,
kecenderungan ini juga untuk melegitimasi serta mengkonfirmasi tuntutan
politiknya, seperti ajaran tentang imamah, wishayat, dan ishmah.
Sedangkan golongan yang menentang Ali adalah kelompok Mu’awiyyah
yang terjadi perdebatan antara kelompok Ali dengan kelompok Umayyah. Sehingga
perang tidak dapat terhindari dan berakhir dengan jalan kompromi melalui tahkim/abritase.
Akibatnya, Ali kehilangan legitimasi politik dan legitimasi beralih pada
Mu’awiyyah. Peristiwa itu menyebabkan pendukung ekstrim Ali protes keras dan
keluar dari kelompok Ali, kemudian membentuk golongan “Khawarij”.[11]
3.
Masa
Bani Umayyah
Setelah usaha mempertahankan kedaulatan Islam mulai kendur dan
terbuka untuk memikirkan hukum-hukum agama dan dasar akidah, serta masuknya
pemeluk-pemeluk agama lain ke dalam Islam yang jiwanya tetap dipengaruhi oleh
unsur-unsur agama yang mereka telah tinggalkan. Lahirlah kebebasan berbicara
tentang masalah-masalah yang tak pernah dibahas oleh ulama’ salaf. [12]
Muncullah
sekelompok umat Islam membicarakan masalah qadar yang mengatakan manusia
ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah)[13].
Golongan ini juga dikatakan Jahmiyah, yakni pengikut Jaham Ibnu Shafwan. Dan
mereka dinamakan juga Mu’aththilah, karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.[14]
Sekelompok
lain berpendapat sebaliknya, menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak
ditentukan Tuhan (Qadariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan
melebur dalam Mazhab Mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat
sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”, dan meniadakan semua
sifat pada Allah karena zat Allah tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa
mereka juga disebut dengan “Ahlu At-Tauhid”.[15]
Al Hasan Al
Bisri mengemukakan pendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar dipandang
fasiq, tidak keluar dari Islam. Pendapat ini dibantah oleh muridnya Washil
Ibnu Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar berada
diantara dua martabat. Karena pendapat ini mengasingkan diri dari majlis gurunya
Al Hasan mereka dinamakan Mu’tazilah.[16] Dia
juga menyusun kitab sebagai pegangan bagi mazhab Mu’tazilah.
Dengan demikian
dapat dikatakan masa ini timbul usaha menyusun kitab pegangan dalam Ilmu Kalam
yang tidak sampai pada masa kini.
4.
Masa
Bani Abbas
Diantara gerakan ilmiah masa ini ialah usaha menterjemahkan
kitab-kitab filsafat dari bahasa Yunani. Penguasa-penguasa Bani Abbas
mempergunakan orang-orang persia yang telah memeluk agama Islam, orang Yahudi
dan Nasrani untuk menjadi pegawai negeri dan mempergunakan mereka untuk
menterjemahkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka dan bahasa arab.
Para penerjemah ini berusaha mengembangkan pendapat-pandapat mereka
yang berpautan dengan agama, serta mengembangkannya dalam masyarakat muslim;
mereka menyembunyikan maksud buruk mereka dengan berpakaian islam. Mereka
menggunakan falsafah untuk kepentingan pikiran mereka. Dengan demikian timbulah
beberapa partai yang sama sekali tidak dikehendaki islam.
Dalam masa
ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Amar
Ibnu Ubaid Al-Mu’tazil menyusun sebuah kitab, menolak paham Qadariyah.
Sedangkan Hisyam Ibnu Al-Hakam Asy-Syafi’y menyusun sebuah kitab menolak paham
Mu’tazilah.
Abu Hanifah
menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al-Alim Wal Muta’alim dan kitab Al-Fiqhul
Akbar untuk memperktahankan aqidah Ahlussunnah. Juga Asy syafi’i menyusun 10
kitab yanng dinamakan Al-Fiqhul Akbar.
Dalam masa
pemerintahan Al-ma’mun terjadilah perdebatan-perdebatan yang memuncak dan
hangat diantara ulama’-ulama’ kalam, karena Al-ma’mun membuka kesempatan yang
luas bagi tokoh-tokoh mu’tazilah.
Akan tetapi
perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah berhenti pada saat lahir
partai-partai Musyabbihah, yaitu dengan lahirnya Muhammad Ibnu Karram, pemimpin
golongan Karamiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan menyamakan
sifat-sifat Allah itu dengan sifat-sifat makhluk, dan berkumandanglah pula
pendirian Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Dalam peristiwa ini
banyaklah orang dibunuh dan disiksa.
Dalam keadaan
itu lahirlah Abul Hasan Al-Asy’ari yaitu murid utama dari Abu Ali Muhammad ibnu
Abdul Wahab Al Jubba’i Almu’tazili. Abul Hasan membantah pendapat gurunya dan
membela madzab Ahlussunnah Waljama’ah.
Abul Hasan
menempuh jalan tengah antara madzhab salaf dan madzhab penentangnya. Dia mengumpulkan
antara dalil-dalil aqli dan naqli bagi pendapat-pendapatnya dalam menolak faham
Mu’tazilah.
Ibnu Rusyd
dalam kedua kitabnya yaitu Fashul Maqal dan Alkasyfu’ Anmanahhijil Adillah
telah mengeritik jalan-jalan yang ditempuh oleh para mutakalllimin (ulama’
kalam) dalam cara mereka mengambil dalil dan memalsukan muqoddamah-muqoddamah
yang berdasar ilmu filsafat yang dipegang erat oleh golongan Al asy’ariyah dan
diambilnya dari golongan Mu’tazilah, Ibnu Rusyd dalam kitabnya itu berusaha
mempertemukan antara syari’at dan hikmat (falsafah) dan menghendaki supaya kita
mengambil dalil untuk menetepkan aqidah Islamiyah tanpa perlu mempergunakan
falsafah serta hendaklah kita mengikuti jalan yang digariskan Al-Qur’an yang
sesuai fitrah manusia dan berpadanan dengan kemudahan agama Islam.[17]
5.
Masa
pasca Bani Abbas
Sesudah masa Bani Abbas, datanglah pengikut Al-Asy’ariyah yang
telah menceburkan dirinya ke dalam falsafah dan mantiq, kemudian mecampurkan
semuanya dengan Ilmu Kalam. Mazhab Al Asy’ari berkembang pesat hingga tak ada
yang menyalahinya selain Mazhab Hanbaliyyah yang teteap bertahan mazhab salaf,
yaitu beriman sebagaimana dalam Al-Qur’an dan Hadits tanpa mentakwilkan.
Hingga abad ke-8 Hijrah, ulama’ Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah menentang
usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam falsafah akidah
Islamiyah dan membantah pendirian golongan Al-Asy’ariyah, Raridhah maupun
Sufiyah. Karena ummat Islam dalam pro kontra, ada yang menerima pendapat Ibnu
Taimiyah dan ada juga yang mengatakan Ibnu Taimiyah itu orang sesat.
Sesudah masa ini, tumpul dan lenyap daya kreatif mempelajari Ilmu
Kalam yang hanya menulis makna lafaz dan ibarat dari kitab-kitab lama.[18]
C.
Hal-Hal
Yang Mempemgaruhi Ilmu Tauhid Dalam Perkembangan dan Pertumbuhan
1.
Yang
mempemgaruhi perkembangan ilmu kalam
a.
Al-Qur’an
membantah pendirian orang musyrikin mengingkari agama dalam surat Al-Jatsiyah:
24
وقالوا ما هي إلآ حيا تنا آلدّنيا نموت ونحيا وما يهلكنا
إلآّ آلدّهر ’ وما لهم بذلك من علم ’ إن هم إلاّ يظنّون
{24}
Artinya: dan mereka berkata: "Kehidupan ini
tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak
ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga
saja.
Al-Qur’an
membantah paham orang yang menuhankan Isa a.s sebagaimana dalam surat Ali
Imran: 59
إنّ مثل عيسى عند الله كمثل ءادم ’ خلقه من تراب ثمّ قال
له كن فيكون {59}
Artinya: "Sesungguhnya misal
(penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia."
Al-Qur’an
membantah paham yang memperserikatkan sesuatu dengan Allah sebagaimana dalam
surat Al-Anbiyaa’: 22
لو كان فيهما ءالهة إلاّ الله لفسدتا ’ فسبحن الله ربّ
العرش عمّا يصفون
{22}
Artinya: "Sekiranya ada di
langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak
binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan."
b.
Al-Qur’an
mnegharuskan kaum muslimin mengembangkan agama dan membelanya sebagaimana dalam
surat Al-Fath: 28
هو الّذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على
الّذين كلّه ’ وكفى بالله شهيدا
{28}
Artinya: "Dia-lah yang mengutus
Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya
terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi."
c.
Di
dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat mutasyabihat mendorong manusia untuk membahasnya
dan menerangkan sifat-sifat Allah seperti manusia.
Dalam
surat Asy-Syura: 11
..... ليس كمثله
شئ ’ وهو السميع البصير
{11}
Artinya: "....tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat."
Dalam
surat Al-Maidah: 64
..... بل يداه
مبسوطتان.....
{64}
Artinya: ".....tetapi
kedua-dua tangan Allah
terbuka”
2.
Pengaruh
yang bersumber dari kaum muslimin
a.
Kemenangan-kemenangan
yang mereka peroleh dalam peperangan dan kemewahan hidup menyebabkan mereka merasa
aman tinggal dalam negeri mereka masing-masing dan memperoleh kesempatan untuk
membahasa masalah-masalah agama secara filosofis yang tidak lagi membatasi
hal-hal yang bersifat lahiriyah.
b.
Masalah-masalah
politik dan perselisihan-perselisihan pendapat antar sesama muslim yang
mengakibatkan munculnya partai-partai. Puncak perselisihan terjadi di akhir
masa pemerintahan Utsman yang akibatnya Utsman terbunuh.
c.
Kemerdekaan
berpikir dan bersuara, sangat sempurna di masa itu yang sesuai dengan watak
orang arab, bahkan dikuatkan lagi oleh Islam dengan dasar-dasar yang lempeng.
Pada masa itu terjadi pembunuhan lawan politik bertujuan menutupi politik yang
buruk karena berbeda pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an.
3.
Pengaruh
yang datang dari luar
a.
Setelah
kaum muslimin merasa aman, mulailah mereka mengkaji akidah-akidah agama. Karena
banyaknya banyak ditemukan kitab-kitab myang disusun oelh partai yang dipandang
Islam ataupun prinsip-prinsip yang sama sekali tidak ada hubungannya dalam
Islam, misalnya mazhab Tanasukh (reinkarnasi) yang sebenarnya berasal dari agama
Hindhu dan seperti menuhankan Ali yang sama seperti agama Nasrani.
b.
Partai-partai
Islam yang berusaha membela akidah Islamiyah, terutama golongan Mu’tazilah yang
tidak dapat menunaikan kewajiibannya sebelum mengetahui akidah serta
dalil-dalil akidah lawan dengan sebaik-baiknya.
c.
Mereka
menemukan bahwa lawannya membela akidah dengan filsafah, maka mereka
menggunakan falsafah untuk melawannya dan mempelajari falsafah Yunani dan
memasukkan ke dalam Ilmu Tauhid yang dianggap menjadi alat untuk mempertahankan
akidah.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
masalah internal asal mula timbulnya Ilmu Kalam yang terjadi dalam tubuh Islam
sendiri, yaitu ajakan dan bantahan dalam Al-Qur’an, kondisi kaum muslimin yang
berusaha membahas ayat-ayat ijbar dan ikhtiyar dan dibidang konstitusi
khususnya dalam hal sistem khalifah (politik). Secara garis besar faktor
eksternal yaitu, adanya perembesan aqidah agama-agama non Islam dan akibat
logis penerjemahan buku-buku filsafat.
Tauhid di
zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan,
karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. Pada masa khulafaur rasyidin terjadi
polemik saat Utsman terbunuh dan muncul golongan Syi’ah dan Khawarij karena
perselisih paham. Sedang pada masa Bani Umayyah terjadi perbedaan dalam masalah
akidah dan terbentuk golongan Jabariyah, Qadariyah. Namun Qadariyah berlebur
dengan Mu’tazilah. Pada Bani Abbas, orang Yahudi dan Nasrani menjadi pegawai
negeri yang mencampuri dalam menterjemahkan kitab, sehingga tercipta
partai-partai dan kitab-kitab untuk memperkuat dalilnya maupun membantah dalil
lawan. Setelah masa Bani Abbas, daya kreatif menciptakan kitab melemah hanya
menulis makna dan ibarat-ibarat kitab.
Hal-hal yang mempengaruhi Ilmu
Tauhid yaitu, faktor dari Al-Qur’an membantah orang yang mengingkari Allah dan
Rasul dan ayat yang perlu ditakwilkan. Kedua faktor dari kaum muslimin terjadi perdebatan-perdebatan
sesama muslim. Ketiga, faktor dari luar yang terpengaruh agama sebelum Islam.
Saran
Sebagai mahasiswa muslim kita harus
paham dalam Ilmu tauhid baik pengertian, sejarah perkembangan dan pertumbuhan
Ilmu Tauhid, sebab-sebab lahirnya maupun faktor yang mempengaruhi dalam
pertumbuhan Ilmu Tauhid. Supaya tidak salah pemahan dalam Ilmu Tauhid.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 2001. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mufid, Fathul. Ilmu Tauhid/Kalam. 2009. Kudus: STAIN Kudus.
Lierboyo, Purna
Siswa. 2008. ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI
ISLAM, Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari Masa Klasik sampai Modern. Kediri:
KAISAR.
http://rintihanqolbi.blogspot.com/2011/10/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan_20.html# Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 15.45 WIB
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU
TAUHID/KALAM, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 1
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU
TAUHID/KALAM, (semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 3
[5] http://rintihanqolbi.blogspot.com/2011/10/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan_20.html# Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 15.45 WIB
[13] Purna Siswa
Lierboyo, ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM, Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari
Masa Klasik sampai Modern. (Kediri: KAISAR, 2008), hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar