Minggu, 24 Mei 2015

Makalah Ulumul Hadits: Kedudukan dan Fungsi Hadits



HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Teguh Mukidin, S.Ud, M.Hum



Disusun oleh :
Muhammad Haidarullah           (1410110559)
Safiru Nailatil Khusna               (1410110572)
Muhammad Faiz                        (1410110567)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, Hadits selalu menjadi rujukan  kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. Sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari  akan kebenaran Hadits sebagai sumber hukum.
Banyak al-qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan nya. Dan Hadits merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an. yang karenanya, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah, karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat Islam.
 Makalah  ini akan memaparkan sedikit tentang kedudukan hadits terhadap al-qur’an dengan melihat dalil aqli maupun naqli mengenai keabsahannya dan memaparkan mengenai fungsi hadist terhadap Al quran.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam?
2.      Bagaimana fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam sepakat bahwa Hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti Hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa Rasulullah merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan undang-undang yang memuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah mendasar bagi Islam , yang mencakup bidang akidah, akhlak, muamalah dan adab sopan santun. Selain itu, ia juga mengatakan, sunah (Hadits) merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan Rasulullah saw., menaati perintah Rasulullah adalah wajib, sebagaimana kita menaati apa yang disampaikan oleh Al-Qur’an.[1]
Dengan demikian, Hadits merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an yang karenanya, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah, karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat Islam. Uraian dibawah ini paparan tentang kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1.        Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantara ayatnya adalah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-rang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih baik utama dan lebih baik akibatnya”. [QS. An-Nisa’ (4): 59]
Selain Allah SWT memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW, juga meneyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasulullah SAW ini sama halnya tuntutan taat kepada Allah SWT.[2]
4!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. [QS. Hayr (59): 7]
Hukum taat kepada Rasulullah sama dengan taat kepada Allah, hal ini sebagaimana disebut dalam firman Allah (QS. An-Nisa’: 80)[3]
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ..... ÇÑÉÈ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah....” [QS. An-Nisa’ (4): 80]
2.        Dalil Hadits
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kedudukan Hadits  ini dapat dilihat melalui Hadits Nabi saw., yang berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Nabi saw., bersabda:
قال رسول الله عليه وسلم : تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتب الله                                                                  وسنة نبيه (رواه مالك)
“Rasulullah saw., besabda: “aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya, selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah NabiNya”. (HR. Malik)[4]
Dalam Hadits lain, Nabi saw., bersabda:
فعليكم بسنّتي وسنّتي الخلفاء الرا شدين المهديين تمسكوا بها وعضّوا عليها...(رواه ابن ماجا)
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidiin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah ).
Hadist diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadist atau menjadikan Hadist sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[5]
3.        Dalil dari Ijma’
Umat Islam sepakat menjadikan Hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Kesepakatan ini, telah terjadi sejak Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau, masa Khulafa Al-Rasyidin dan masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya bahkan menghafal dan menyebarluaskan ke generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a.       Ketika Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata: “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.[6]
b.      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata: “saya tahu engkau adalah batu. Saendainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”
c.       Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Utsman bin ‘Affan berkata: “saya duduk seperti duduknya Rasulullah, saya makan seperti makannya rasulullah dan saya shalat seperti shalatnya Rasulullah saw.[7]
Masih banyak contoh yang menunjukkan apa yang disampaikan dan diserukan niscaya diikuti umatnya. Dan begitu cara sahabat dalam menjaga dan mempraktikkan Sunah.
4.        Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah di akui dan di benarkan oleh umat islam. Maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang – undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul mengharuskan ummatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran.[8]
B.     Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
 Disinilah Hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Hadits menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an. Sesuai firman Allah swt., pada surat An-Nahl: 44
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agr kamu mnerangkan kepada umat manusia apa yang di turunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir”. [QS. AN-Nahl(16):44][9]
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia , agar  Al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia , maka Rasul SAW di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan  ajarannya kepada mereka melalui Hadits-Haditsnya.
Oleh karena itu, fungsi Hadits Rasul sebagai penjelas (bayan) Al-Qur’an itu bermacam-macam.[10] Disini pemakalah akan menjelaskan empat bayan, sebagai berikut:
1.      Bayan Taqrir
Bayan Taqrir disebut juga bayan ta’kid[11], ada juga yang menamai bayan Itsbat[12]. Yang dimaksud dengan bayan ini, adalah menetapkan, memperkuat serta memperkokoh apa yang telah diterangkan kandungan Al-Qur’an. Seperti dalam surat Al-Baqarah: 185
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù....  ÇÊÑÎÈ
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”. [QS. AL-Baqarah(2): 185]
Ayat di ayas di-taqrir oleh Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:
فإذا رأيتم الهلا ل فصوموا  وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم )
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah , juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah” . (HR.Muslim)[13]
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al- muwafiq li al-nas al kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sesuai dengan nas Al-Quran.[14]
2.      Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan Tafsir adalah bahwa kehadiran Hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsir terhadap ayat-ayat AlQur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberi persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.[15]
a.       Merinci ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna yang dimaksudkannya kecuali setelah ada penjelasan.[16] Sebagai contoh ayat tentang shalat dan zakat (QS. Al-Baqarah: 43)
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”  [QS. Al-Baqarah(2): 43]



Untuk memperjelas ayat tersebut, Nabi saw., memberikan perincian dengan sabdanya:
صلّوا كما رأيتموني أصلّي  (رواه البخارى)
Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat” . (HR. Bukhori)[17]
b.      Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh pada surat QS. Al-Maidah: 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana. [QS. Al-Maidah(5): 38]
Ayat tersebut di-taqyid oelh Hadits riwayat Muslim:
أوتي رسول الله صلى الله عليه وسلّم بسارق فقطع يده من مفصل الكهفّ
“Rasulullah SAW di datangi seseorang dengan membawa pencuri , maka beliau memotong   tangan pencuri dari pergelangan tangan.” (H.R Muslim)[18]
c.       Men-takhsish ayat yang ‘Am
Kata takhsish atau khas ialah kata yang menunjukkan arti khusus tertentu atau tunggal. Sedangkan kata ‘am ialah yang menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak (umum). Yang dimaksud men-takhsish ayat ‘am ialah membatasai keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, keumuman ayat bisa di-takhsis-kan oleh Hadits ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulma’ Hanafiyah, sebaliknya. Contoh Hadits Nabi saw.,
لايرث القاطل من المقتول شيئا
Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R Ahmad)
Hadits tersebut men­-takhsis keumuman firman Allah Q.S An-Nisa’: 11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ......$VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. [QS. An-Nisa’(4): 11][19]
3.      Bayan Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan hukum.[20] Yang dimaksud bayan tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajran yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an, atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.[21] Banyak Hadits Nabi saw., termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya tentang zakat fitrah:
إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم : فرض زكاة الفطر من رمضان على النّاس صاعا من تمر اوصاعا من شعير على كلّ حرّ اوعبد ذ كر اوأنثى من المسلمين
Bahwasannya Rasulullah saw., telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kuram atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan. (H.R Muslim)[22]
4.      Bayan Nasakh
Secara bahasa, an-nasakh berarti ­al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), at-taghyir (mengubah).
Para ulama’, baik mutaqaddimin  maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari segi kebahasaan.[23]
Pada perbedaan ini, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.[24]
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ adalah sabda Nabi saw., dari Abu Ummah Al-Bahili,
إنّ الله قد أعطى كلّ ذي حقّ حقّه فلا وصيّة لوارث (رواه أحمد والأربعة إلاالنسائ)
“ Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap prang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i)
Hadits ini menurut mereka men­-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalakan harta yang banyak berwasiat untuk bapak-ibu dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah: 180)[25]



BAB II
PENUTUP
Simpulan
Antara Hadist dan Al-Qur’an memiliki pertalian dan hubungan yang sangat erat sekali, karenanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan Hadits merupakan mubayyin  atau penjelas dari Al-Qur’an
 Secara ‘aqli maupun secara naqli, maka kedudukan hadist terhadap Al-Qur’an adalah bahwa Hadist merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Hadits berfungsi sebagai bayan at-tafsir, bayan at-taqrir,bayan an-naskh, dan bayan at-tasyri’ yang merupakan penjelasan dan penafsiran Al-Qur’an.
Kewajiban untuk mengamalkan keduanya, bukan saja karena perintah Al-Qur’an dan Hadits, tapi merupakan kebutuhan umat Islam kepadanya sangat besar, yaitu pedoman hidup dan pedoman untuk beramal.
Saran
Sebagai umat Islam yang taat dan patuh perintah Allah swt., seyogyanya kita menaati Rasul dan menjauhi apa yang dijauhi Rasul. Karena bentuk aplikasian dari perintah Allah swt. Kita berpedoman pada Al-Qur’an tidaklah cukup karena dalam Al-Qur’an sendiri sebagian besar dasar-dasar Syari’at. Maka dari itu, perlu penjelas berupa Hadits Nabi saw., supaya bisa memahami kandungan Al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sahrani, Sohari. 2011. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia


[1]  Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 33
[2]  Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 51
[3]  Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 34
[4]  Ibid, hlm. 35
[5]  Muzier Suparta, Op.Cit., hlm. 55
[6]  Ibid, hlm. 56
[7]  Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 37
[8]  Ibid, hlm. 57
[9]  Ibid, hlm. 58; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 38
[10]  Ibid
[11]  Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 38
[12]  Ibid
[13]  Ibid, hlm. 59; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
[14]  Ibid, hlm. 60
[15]  Ibid, hlm. 61
[16]  Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
[17]  Ibid, hlm. 40
[18]  Ibid
[19]  Ibid, hlm. 41-42
[20]  Ibid, hlm. 42
[21]  Munzier Suparta, Op.Cit., hlm. 64
[22]  Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 42
[23]  M. Agus Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm. 84
[24]  Munzier Suparta, Op.Cit., hlm. 65
[25]  M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 85-86