HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Teguh Mukidin,
S.Ud, M.Hum
Disusun oleh :
Muhammad Haidarullah (1410110559)
Safiru Nailatil Khusna (1410110572)
Muhammad Faiz
(1410110567)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, Hadits selalu menjadi rujukan kedua
setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman.
Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat. Maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. Sehingga
hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari akan kebenaran Hadits sebagai sumber hukum.
Banyak al-qur’an dan hadits yang
memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber
hukum islam selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah,
maupun larangan nya. Dan Hadits
merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an. yang karenanya, siapapun
tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits.
Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah,
karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat
Islam.
Makalah
ini akan memaparkan sedikit tentang kedudukan hadits terhadap al-qur’an
dengan melihat dalil aqli maupun naqli mengenai keabsahannya dan memaparkan
mengenai fungsi hadist terhadap Al quran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam?
2. Bagaimana
fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam
sepakat bahwa Hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah
Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti Hadits sebagaimana diwajibkan
mengikuti Al-Qur’an.
Menurut Yusuf
Qardhawi, bahwa Rasulullah merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah
Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan undang-undang yang memuat pokok-pokok dan
kaidah-kaidah mendasar bagi Islam , yang mencakup bidang akidah, akhlak,
muamalah dan adab sopan santun. Selain itu, ia juga mengatakan, sunah (Hadits)
merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita
harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan
Rasulullah saw., menaati perintah Rasulullah adalah wajib, sebagaimana kita
menaati apa yang disampaikan oleh Al-Qur’an.[1]
Dengan demikian,
Hadits
merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an yang karenanya, siapapun
tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits.
Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah,
karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat
Islam. Uraian dibawah ini paparan tentang kedudukan Hadits sebagai sumber hukum
Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1.
Dalil
Al-Qur’an
Banyak ayat
Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantara ayatnya adalah:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-rang yang
beriman! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalilah kepada Allah dan Rasul,
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu
lebih baik utama dan lebih baik akibatnya”. [QS. An-Nisa’ (4): 59]
Selain Allah SWT memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW, juga meneyerukan agar menaati segala bentuk
perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun
larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasulullah SAW ini sama halnya
tuntutan taat kepada Allah SWT.[2]
4!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya”. [QS. Hayr (59): 7]
Hukum taat kepada Rasulullah sama dengan taat kepada Allah, hal ini
sebagaimana disebut dalam firman Allah (QS. An-Nisa’: 80)[3]
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ..... ÇÑÉÈ
“Barang
siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah....” [QS. An-Nisa’ (4): 80]
2.
Dalil
Hadits
Selain
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kedudukan Hadits ini dapat dilihat melalui Hadits Nabi saw.,
yang berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup
disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Nabi saw., bersabda:
قال
رسول الله عليه وسلم : تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتب الله وسنة نبيه (رواه
مالك)
“Rasulullah saw., besabda: “aku tinggalkan kepadamu dua perkara,
kamu tidak akan tersesat selamanya, selagi kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah NabiNya”.
(HR. Malik)[4]
Dalam Hadits lain, Nabi saw., bersabda:
فعليكم بسنّتي وسنّتي
الخلفاء الرا شدين المهديين تمسكوا بها وعضّوا عليها...(رواه
ابن ماجا)
“Wajib bagi kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidiin (khalifah yang mendapat
petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah ).
Hadist
diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadist atau
menjadikan Hadist sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib,
sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[5]
3.
Dalil
dari Ijma’
Umat Islam
sepakat menjadikan Hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal karena sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah. Kesepakatan ini, telah terjadi sejak
Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau, masa Khulafa Al-Rasyidin dan masa
selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya bahkan menghafal dan menyebarluaskan
ke generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa
yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum
Islam, antara lain:
a. Ketika
Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata: “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.[6]
b. Saat
Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata: “saya tahu engkau adalah batu.
Saendainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”
c. Diceritakan
dari Sa’id bin Musayyab bahwa Utsman bin ‘Affan berkata: “saya duduk seperti
duduknya Rasulullah, saya makan seperti makannya rasulullah dan saya shalat
seperti shalatnya Rasulullah saw.[7]
Masih banyak
contoh yang menunjukkan apa yang disampaikan dan diserukan niscaya diikuti
umatnya. Dan begitu cara sahabat dalam menjaga dan mempraktikkan Sunah.
4.
Sesuai
dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah di akui dan di
benarkan oleh umat islam. Maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang
– undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan
ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul mengharuskan ummatnya mentaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dengan
demikian, dapat
diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam
yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran.[8]
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman
hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan satu kesatuan.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang
bersifat umum dan global.
Disinilah
Hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Hadits menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an.
Sesuai firman Allah swt., pada surat An-Nahl: 44
!$uZø9t“Rr&ur y7ø‹s9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌh“çR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcrã©3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agr kamu mnerangkan kepada umat manusia apa
yang di turunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir”. [QS. AN-Nahl(16):44][9]
Allah SWT
menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia , agar
Al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia , maka Rasul SAW di
perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui Hadits-Haditsnya.
Oleh karena
itu, fungsi Hadits Rasul sebagai penjelas (bayan) Al-Qur’an itu bermacam-macam.[10]
Disini pemakalah akan menjelaskan empat bayan, sebagai berikut:
1.
Bayan Taqrir
Bayan Taqrir
disebut juga bayan ta’kid[11],
ada juga yang menamai bayan Itsbat[12].
Yang dimaksud dengan bayan ini, adalah menetapkan, memperkuat serta
memperkokoh apa yang telah diterangkan kandungan Al-Qur’an. Seperti dalam surat
Al-Baqarah: 185
`yJsù y‰Íky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuŠù=sù.... ÇÊÑÎÈ
“Maka barang siapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”. [QS.
AL-Baqarah(2): 185]
Ayat di ayas di-taqrir oleh Hadits riwayat
Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:
فإذا رأيتم
الهلا ل فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
(رواه مسلم )
”Apabila kalian melihat
(ru’yah) bulan, maka berpuasalah , juga apabila
melihat (ru’yah) itu maka berbukalah” . (HR.Muslim)[13]
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini
dengan istilah bayan al- muwafiq li al-nas al kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadis-hadis itu sesuai dengan nas Al-Qur’an.[14]
2.
Bayan Tafsir
Yang dimaksud
dengan bayan Tafsir adalah bahwa kehadiran Hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsir terhadap ayat-ayat AlQur’an yang masih bersifat
global (mujmal), memberi persyaratan atau batasan (taqyid)
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish)
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.[15]
a.
Merinci
ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal ialah
ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung makna
yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna yang dimaksudkannya
kecuali setelah ada penjelasan.[16]
Sebagai contoh ayat tentang shalat dan zakat (QS. Al-Baqarah: 43)
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'.” [QS. Al-Baqarah(2): 43]
Untuk memperjelas
ayat tersebut, Nabi saw., memberikan perincian dengan sabdanya:
صلّوا كما رأيتموني أصلّي (رواه البخارى)
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku
sholat” . (HR. Bukhori)[17]
b.
Men-taqyid
ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq
artinya yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya, dengan tanpa
memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya
membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat
tertentu. Sebagai contoh pada surat QS. Al-Maidah: 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3
ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi maha
Bijaksana. [QS. Al-Maidah(5): 38]
Ayat tersebut di-taqyid oelh
Hadits riwayat Muslim:
أوتي رسول الله صلى الله عليه وسلّم بسارق فقطع يده من مفصل الكهفّ
“Rasulullah SAW di datangi seseorang dengan membawa pencuri , maka beliau
memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan.”
(H.R Muslim)[18]
c.
Men-takhsish
ayat yang ‘Am
Kata takhsish
atau khas ialah kata yang menunjukkan arti khusus tertentu atau
tunggal. Sedangkan kata ‘am ialah yang menunjukkan atau memiliki makna
dalam jumlah yang banyak (umum). Yang dimaksud men-takhsish ayat ‘am ialah
membatasai keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian
tertentu. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, keumuman ayat bisa
di-takhsis-kan oleh Hadits ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang
khas, sedangkan menurut ulma’ Hanafiyah, sebaliknya. Contoh Hadits Nabi saw.,
لايرث القاطل
من المقتول شيئا
“Pembunuh tidak
berhak menerima harta warisan” (H.R Ahmad)
Hadits tersebut
men-takhsis keumuman firman Allah Q.S An-Nisa’: 11
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ......$VJÅ3ym ÇÊÊÈ
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. [QS.
An-Nisa’(4): 11][19]
3.
Bayan Tasyri’
Kata at-tasyri’
artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan hukum.[20]
Yang dimaksud bayan tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau
ajaran-ajran yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an, atau dalam Al-Qur’an hanya
terdapat pokok-pokoknya saja.[21]
Banyak Hadits Nabi saw., termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya tentang
zakat fitrah:
إنّ رسول
الله صلى الله عليه وسلّم : فرض زكاة الفطر من رمضان على النّاس صاعا من تمر
اوصاعا من شعير على كلّ حرّ اوعبد ذ كر اوأنثى من المسلمين
“Bahwasannya Rasulullah saw.,
telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kuram atau
gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan. (H.R Muslim)[22]
4.
Bayan Nasakh
Secara
bahasa, an-nasakh berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan),
at-tahwil (memindahkan), at-taghyir (mengubah).
Para ulama’,
baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin
berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini
terjadi karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari
segi kebahasaan.[23]
Pada
perbedaan ini, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapuskan
ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan
lebih cocok dengan nuansanya.[24]
Salah satu
contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ adalah sabda Nabi saw., dari Abu
Ummah Al-Bahili,
إنّ الله قد
أعطى كلّ ذي حقّ حقّه فلا وصيّة لوارث (رواه أحمد والأربعة إلاالنسائ)
“ Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap prang
haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad
dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i)
Hadits ini menurut mereka men-nasakh
isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalakan harta yang banyak berwasiat untuk
bapak-ibu dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah: 180)[25]
BAB II
PENUTUP
Simpulan
Antara Hadist dan Al-Qur’an memiliki pertalian dan hubungan yang sangat
erat sekali, karenanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan Hadits
merupakan mubayyin atau penjelas
dari Al-Qur’an
Secara ‘aqli maupun secara naqli,
maka kedudukan hadist terhadap Al-Qur’an adalah bahwa Hadist merupakan sumber
kedua setelah Al-Qur’an. Hadits berfungsi sebagai bayan at-tafsir, bayan
at-taqrir,bayan an-naskh, dan bayan at-tasyri’ yang merupakan
penjelasan dan penafsiran Al-Qur’an.
Kewajiban untuk mengamalkan keduanya, bukan saja karena perintah Al-Qur’an dan
Hadits, tapi merupakan kebutuhan umat Islam kepadanya sangat besar, yaitu
pedoman hidup dan pedoman untuk beramal.
Saran
Sebagai umat Islam yang taat dan patuh perintah
Allah swt., seyogyanya kita menaati Rasul dan menjauhi apa yang dijauhi Rasul.
Karena bentuk aplikasian dari perintah Allah swt. Kita berpedoman pada
Al-Qur’an tidaklah cukup karena dalam Al-Qur’an sendiri sebagian besar
dasar-dasar Syari’at. Maka dari itu, perlu penjelas berupa Hadits Nabi saw.,
supaya bisa memahami kandungan Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin,
M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia
Suparta,
Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sahrani,
Sohari. 2011. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia