Senin, 22 Februari 2016

Makalah Pengembangan Kurikulum: Model-Model Evaluasi Kurikulum



MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

Makalah
Disusun Guna Memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengembangan Kurikulum
Dosen Pengampu : Muhammad Miftah, M. Pd

Disusun Oleh:
Roys Maulana:                                                1410110552
Toha Mahsun:                                                 1410110563
Muhammad Haidarullah:                                1410110559


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Evaluasi atau penilaian kurikulum merupakan salah satu bagian dari evaluasi pendidikam, yang memusatkan perhatian kepada program-program pendidikan untuk anak didik. Kurikulum juga sebagai program pendidikan atau program belajar untuk peserta didik, memerlukan penilain sebagai bahan balikan dan penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakat, anak didik serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil penilaian sangat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dalam melakukan perubahan kurikulum yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Penilaian kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan  melalui kurikulum yang bersangkutan.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai berkembang. Salah satu perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model evaluasi kurikulum yang berasal dari pemikiran para ahli di dunia.
Evaluasi kurikulum begitu penting dilaksanakan karena evaluasi kurikulum diadakan untuk mengetahui hingga manakah hasil dari evaluasi untuk memenuhi harapan-harapan yang terkandung dalam tujuan evaluasi dengan maksud untuk mengadakan perbaikan dan melanjutkan evaluasi atau menggantikannya dengan yang baru.[1]
Dari uraian diatas, makalah ini akan membahas pengertian evaluasi kurikulum, model-model kurikulum yang sebagai salah satu bahan bacaan untuk masyarakat umum, khususnya mahasiswa yang sedang menempuh program strata satu dalam bidang pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian evaluasi kurikulum?
2.      Apa saja model evaluasi kurikulum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Evaluasi Kurikulum
Pembahasan mengenai evaluasi kurikulum tidak terlepas dari beberapa istilah yang senada dengan evaluasi, penilaian dan kurikulum itu sendiri. Menurut Hamid Hasan, evaluasi adalah suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangakan tersebut berupa orang, bendam kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan  tertentu dengan berdasarkan kepada kriteria-kriteria tertentu agar tidak asal saja. Tanpa kriteria yang jelas dilakukan bukanlah suatu proses yang dapat diklasifikasikan sebagai evaluasi.
Menurut Nana Sudjana, evaluasi adalah proses penentuan nilai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang dalam proses tersebut tercakup usaha untuk mencari dan mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan sebagai dasar dalam menentukan suatu nilai yang menjadi obyek evaluasi, seperti program, prosedur, usul, cara, pendekatan, model kerja, hasil program.
Kurikulum memiliki dimensi yang luas karena mencakup banyak hal, mulai dari perencanaan, pengembangan komponen, implementasi serta hasil belajar dianggap sebagai ruang lingkup kajian evaluasi kurikulum. Dengan demikian, evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap  kurikulum secara menyeluruh baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas maupun ruang lingkup mikro dalam bentuk pembelajaran.[2]
Secara umum dapat dikatakan bahwa evaluasi kurikulum adalah pencermatan yang sistematik tentang (kriteria) manfaat, kesesuaian, efektivitas dan efesiensi dari kurikulum yang diterapkan, atau penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulim yang sedang berjalan atau yang telah dijalankan. Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan masing-masing komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum. Tujuan evaluasi kurikulum untuk mengumplkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah direvisi atau diganti.[3]
Jadi evaluasi kurikulum adalah suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti yang sistematik tentang (kriteria) manfaat, kesesuaian, efektivitas dan efesiensi dari kurikulum yang diterapkan, atau penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulim yang sedang berjalan atau yang telah dijalankan.
B.     Model-Model Evaluasi Kurikulum
1.      Model Evaluasi Kuantitatif
Model kuantitatif ditandai oleh ciri yang menonjol dalam penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivistis. Oleh karena itu, model-model evaluasi kuantitatif yang dibicarakan pada sub bab ini menerangkan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Model-model kuantitaif ini ialah persamaan mereka dalam fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai  hasil belajar. Dimensi ini dianggap sangat penting bahkan dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitaitf. Ada beberapa model yang memberikan perhatian kepada dimensi kurikulum sebagai proses tetapi tetap mempertahankan fokus kurikulum sebagai hasil belajar[4], diantaranya
a.      Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangannya. Model yang dikemukakannya dibangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Dengan kedua dasar ini, Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.[5]
Model evaluasi Tyler memiliki keunggulan dalam kesederhanaannya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Keunggulan model Tyler pada sisi lain menjadi titik lemah model ini. Fokus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan pendidikan. Karena evaluasi yang mengabaikan proses sebagai fokus berarti mengabaikan satu komponen kurikulum yang penting. Faktor lain yang menyebabkan kelemahan model Tyler adalah kenyataan yang diungkapkan oleh banyak studi yang mengkaji dimensi proses.[6]
Model ini dapat dikatakan hanya berfokus pada hasil belajar peserta didik dan  mengabaikan penilaian pada proses kurikulum yang begitu penting yang perlu dievaluasi demi kelancaran kurikulum itu sendiri.
b.      Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model Teoritik Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pertimbangan praktis tidak diberikan dalam penerapan beberapa langkah model tersebut. Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan Maguire mencoba menerapkan apa yang seharusnya secara teoritik terjadi dalam suatu proses pelaksanaan evaluasi kurikulum.
Walaupun dalam literatur yang mereka pergunakan tidak tercantum tulisan Tyler mengeanai evaluasi, kajian terhadap model ini memperhatikan adanya pengaruh Tyler. Unsur-unsur yang ada dalam model ini seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan strategi, dan semangat psikometrik.[7]
Model ini juga berfokus pada hasil belajar peserta didik yang terlihat dari penggunaan pendekatan behavioral namun tidak mengabaikan proses kurikulum itu sendiri terlihat dari pengembangan strategi kurikulum.
c.       Model Pendekatan Sistem Alkin
Pendekatan yang dilakukan Alkin memiliki keunikan dibandingkan pakar  evaluasi lainnya, ia memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Dalam model pendekatannya dengan pendekatan sistem Alkin telah memasukkan variabel perhitungan ekonomi. Alkin membagi model ini atas tiga komponen yaitu masukan, perantara dan keluaran (hasil). Dalam model ini, Alkin juga mengenalkan adanya sistem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang lansgung berhubungan dengan pendidikan, dan juga sistem luar (eksternal) yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model ini dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Pertama, variabel perantara adalah satu-satunya kelompok variabel yang dapat dimanipulasi. Kedua, sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan). Ketiga, para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan sistem luar terhadap sekolah. Keempat, faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpengaruh terhadap keluaran.[8]
Sistem luar yang berpengaruh terhadap sekolah adalah lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Dalam hasil-hasil penelitian bahwa sekolah yang berada di lingkungan lapisan tertentu mempunyai karakteristik pengelolaan yang berbeda dengan sekolah yang berada di lingkungan lapisan tertentu lainnya.[9] Misalnya, sekolah dalam lingkungan ekonomi akan berbeda dengan sekolah dalam lingkungan politik. Sekolah yang dalam lingkungan ekonomi akan memfokuskan hasil belajar siswa berorientsi pada keterampilan yang berguna untuk menunjang kebutuhan hidup.
Faktor perantara merupakan kelompok variabel yang secara langsung menentukan keluaran. Manipulasi terhadap variabel-variabel ini akan memberikan keluaran yang berbeda. Oleh karenanya, suatu kegiatan evaluasi yang mendasarkan diri pada model ini, harus memberikan perhatian utama pada kelompok variabel ini. Variabelnya yaitu, guru-peserta didik, jumlah peserta didik dalam satu kelas, pengaturan administrasi, penyediaan buku pelajaran dan buku bacaan.[10] Misalnya, dalam pengaturan administrasi akademis dari salah satu peserta didik yang kurang dalam memasuki sekolah yang notabenya sekolah favorit, maka orang tua siswa itu melobi dari pihak sekolah terkait.
Masukan peserta didik adalah “deskripsi atau pengukuran mengenai peserta didik yang masuk ke dalam sistem”.[11] Yaitu, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian dan kebiasaan serta latar belakang keluarga ataupun lingkungan. Evaluator harus memiliki informasi menegenai peserta didik karena informasi dapat digunakan untuk menjelaskan proses interaksi yang terjadi dan hasil belajar.[12]
Data yang diperoleh dari data masukan akan digunakan untuk proses evaluasi dan mempengaruhi pada faktor perantara, besar kecilnya data yang diperoleh dari faktor masukan akan mempengaruhi juga besar kecilnya pada faktor perantara sekaligus akan memperngaruhi besar kecilnya hasil dari evaluasi pada faktor keluaran itu sendiri.
Model sistem Alkin ini tidak semua menggunakan pendekatan ekonomi mikro namun hanya memasukkan unsur tersebut. Dalam model evaluasi ini pengaruh dari luar tak langsung berdampak signifikan bagi sekolah, begitu sebaliknya sekolah tak langsung mempengaruhi faktor dari luar.
d.      Model Countenance Stake
Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan Stake. Dalam suatu pengertian countenance adalah keseluruhan. Dalam tulisan ini, Stake ingin mengemukakan keseluruhan kegiatan evaluasi yang harus dilakukan dan cara yang diinginkannya bagaimana evaluasi tersebut dilakukan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, yaitu dimana dikatakannya sebagai suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian atau evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan.[13]
Dalam mengevaluasi, Stake menekan pada evaluasi keseluruhan dari kurikulum. Hal ini menunjukkan evaluasi kualitatif, namun dikelompokkan dengan evaluasi kuantitatif karena pada masa awalnya menggunakan pendekatan kuantitatif. Karena perubahan sikap Stake, model ini berubah menjadi evaluasi kualitatif.
e.       Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketahui oleh Stufflebeam. Model yang dikembangkan inni kadang-kadang dinamakan model PDK (Phi Delta Kappa). Namun nama CIPP, dalam kenyataanya, lebih dikenla masyarakat perguruan tinggi dan kalangan evaluator. CIPP adalah singkatan dari Context, Input, Process, dan Product.[14]
Adapun yang terkenal dan paling penting adalah evaluasi terhadap produk atau hasil. Karena hasil belajar adalah tujuan yang telah diterapkan dalam model ini, maka instrumennya juga ditetapkan berdasarkan domain apa yang menjadi tujuan dari proses tersebut.[15]
Model ini terbentuk dari empat jenis evaluasi, yaitu context (konteks) artinya evaluator diminta mengidentifikasi berbagai faktor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan faktor lain yang mungkin berpengaruh dalam kurikulum. Input (masukan) artinya evaluator menentukan tingkat pemanfaatan dari berbagai faktor yang dikaji dalam konteks pelaksanakan kurikulum dan menjadi dasar untuk melakukan revisi dalam kurikulum. Process (proses) artinya evaluator mengumpulkan berbagai informasi dalam keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan dalam implementasi kurikulum. Product (hasil) artinya evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai hasil dari belajar, membandingkannya dengan standar dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi atau dilanjutkan).[16]
Dalam perubahan model evaluasi ini mengalamai penyederhanaannya yang tidak akan membandingkan dua kurikulum. Model ini terdiri dari empat evaluasi, namun evaluator bisa saja melakukan satu jenis evaluasi dari model CIPP ini. Walaupun dianjurkan mengkombinasikan keempat-empatnya. Dengan demikian, model evaluasi ini bisa dikembangkan oleh evaluator yang mana evaluator dapat memilih dari empat jenis evaluasi dalam model CIPP.
2.      Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana kebanyakan model kuantitaitf, model ekonomi mikro memiliki fokus utama pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar, dan hasil yang diperkirakan). Pertanyaan besar dari model ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan. Menurut Levin, ada empat model lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit, cost-utility dan cost-feasibility.[17]
Cost-effectiveness, model yang harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Dan hendaknya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau serupa.[18]
Berbeda dengan cost-effectiveness yang menggunakan angka sebagai unit pengukuran hasil belajar. Cost-benefit menggunakan unit uang dalam mengukur hasil belajar. Cost-utility dikemukakan Levin ialah memberikan peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif maupun data kualitatif, sehingga evaluator tidak dibatasi ruang geraknya atas satu jenis data saja.[19]
Cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya setelah ide kurikulum dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan agar kontinuitas implementasi kurikulum terjamin.[20]
Dalam meodel ekonomi mikro sendiri terdapat empat bagian dalam mengevaluasi suatu kurikulum. Antara cost-effektiveness dan cost benefit sama-sama untuk membandingkan dua kurikulum namun berbeda pada penggunaan hasil pengukuran. Dan antara cost-utitlity dan cost-feasibility saling mendukung bagi evaluator dalam bekerja, utility untuk evaluator mengembangkan evaluasinya dan feasibility untuk melihat hasil dari kurikulum dan memodifikasi evaluasi kurikulum itu sendiri.
Waluapun evaluasi ekonomi mikro dengan evaluasi kuantitatif sama-sama menggunakan data kuantitatif namun ada perbedaan mendasar yang membedakannya. Yaitu penggunaan pendekatan dan prosedur ekonomi dalam keseluruhan proses evaluasi pada evaluasi ekonomi mikro. Yang sangat mencolok adalah unsur uang atau dana dalam proses evaluasi kurikulum. Mulai dari proses awal hingga hasil akhir dari evaluasi kurikulum itu sendiri.
3.      Model Evaluasi Kualitatif
Model evaluasi kualitatif menggunakan metodologi kualitatif dalam pengumpulan data evaluasi. Ciri khas dari model evaluasi kualitatif ialah selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai fokus utama evaluasi.[21]
a.      Model Studi Kasus
Evaluasi ini menggunakan model studi kasus memusatkan perhatiaannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum pada satu satuan pendidikan. Karakteristik model evaluasi kualitatif adalah data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitatif. Data kualitatif dianggap lebih dapat mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan dan menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian yang berkesinambungan.
Meskipun demikian, model studi kasus tidak menolak pemakaian data kuantitatif apabila data tersebut memang diperlukan. Penolakan data kuantitatif dilakukan pada prosedur pengumpulan data kuantitatif yang harus memenuhi persyaratan metodologi kuantitatif.[22]
Model ini sangat tepat dalam evaluasi dimensi proses atau evaluasi bersifat formatif serta langsung dapat mengena kesalahan dalam proses kurikulum itu sendiri.
b.      Model Illuminatif
Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi sosial. Dan memberikan perhatian terhadap lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Perhatian ini merupakan salah satu kekuatan model illuminatif. Model evaluasi ini dikembangkan atas dua dasar konsep utama, yaitu sistem intruksi dan lingkungan belajar. Sistem intruksi diartikan katalog, perspektus, dan laporan-laporan pendidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana yang berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. Lingkungan belajar adalah lingkungan sosial-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik saling berinteraksi.[23]
Model ini sangat cocok untuk mengetahui perkembangan anak didik secara intens yang diperlukan dalam mengevaluasi dalam kurikulum. Dan pengajaran atau pembelajaran dapat disesuaikan dengan keadaan anak didik sehingga dapat mengetahui secara tepat perkembangannya dan dapat memaksimalkan potensi atau mengetahui hasil dari belajar anak didik.
c.       Model Responsive
Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari model countenance, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Perbedaan pertama dalam hal fokus. Model countenance berfokus pada kurikulum sebagai suatu rencana sedangkan model responsive berfokus pada kurikulum dalam dimensi proses.
Kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan kriteria fidelity, model responsive mengembangan kriterianya berdasarkan pendekatan proses.[24]
Model ini kurang cocok bila diterapkan karena strukutrnya sangat ketat dan menggunakan pendekatan proses, yang mana pendekatan itu memiliki kriteria evaluasi yang cukup banyak. Konsekuensinya tidak berbicara banyak tentang komponen dasar dari evaluasi kurikulum.
Berikut ini perbedaan mendasar yang menunjukkan evaluasi kuantitaif dan evaluasi kualitatif :
No
Evaluasi Kuantitatif
Evaluasi Kualitatif
1.       
Menggunakan prosedur kuantitatif dan data kuantitatif
Menggunakan prosedur kualitatif dan data kualitatif
2.       
Menggunakan metodologi kuantitatif
Menggunakan metodologi kualitatif
3.       
Kriterianya berupa pre-prdinate dan fidelity
Kriterianya berdasarkan pendekatan proses
4.       
Berfokus pada dimensi hasil belajar
Berfokus pada dimensi proses
5.       
Menekankan pada pendekatan Behavioral
Menekankan pada pendekatan proses
6.       
Alat ukurnya berupa tes awal dan akhir (behavioral dan kuantitatif)
Alat ukurnya berupa multiple realitis
7.       
Jenis evaluasi sumatif
Jenis evaluasi formatif
8.       
Bergantung pada hasil evaluasi dan tidak tergantung pada kepandaian evaluator dalam pengolahan data
Sangat bergantung pada pengolahan data dan kepandaian evaluator dalam pengolahan data
9.       
Berorientasi pada hasil belajar siswa
Berorientasi pada lingkungan kelas
10.   
Tidak menekankan pada observasi
Menekankan pada observasi
11.   
Tidak membutuhkan waktu lama dalam pengolahan data
Membutuhkan waktu lama dalam pengolahan data

4.      Model Fenomena Sejarah
Evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.
a.      Evaluasi Model Penelitian
 Model penelitian ini didasarkan atas teori dan metode tes psikologis dan eksperimen lapangan. Tes psikologi mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan menggunakan metode penelitian botani pertanian. Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak didik dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum disamakan dengan fasilitas dalam pertanian, sistem sekolah disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya.[25]
Model evaluasi ini hampir sama dengan model evaluasi studi kasus karena menggunakan metode penelitian suatu kasus. Bedanya model ini menggunakan perumpamaan evaluasi seperti eksperimen pada botani pertanian yang telah dijelaskan diatas.
b.      Evaluasi Model Objektif
Perbedaan model obyektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal. Pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan penilaiaan ini sering disebut evaluasi sumatif. Informasi yang diperoleh dari hasil penilaiannya yang sedang berjalan disebut evaluasi formatif.[26]
Model objektif ini hampir menyeluruh model-model evaluasi diatas karena setiap proses evaluasi harus mempunyai sifat objektif pada evaluator yang ada. Model objektif juga ditekankan pada seluruh proses evaluasi kurikulum karena untuk mengoptimalkan proses dan hasil belajar pada peserta didik yang dievaluasi berserta komponen yang yang dievaluasi.
c.       Model Campuran Multivariasi
Model evaluasi perbandingan dan model Tyler dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap  kurikulum diukur berdasarkan kriteria tertentu dari masing-masing kurikulum.[27]
Model evaluasi ini sangat cocok diterapakan pada macam-macam kurikulum yang ada, karena proses evaluasinya menyeluruh dan menyatukan unsur-unsur pendekatan yang berbeda dalam evaluasi kurikulum serta hasil dapat terlihat dari masing-masing kurikulum. Model ini tepat diterapkan bila pergantian kurikulum atau modifikasi kurikulum. Sehingga dapat menentukan kurikulum yang cocok untuk suatu bangsa dengan menyesuaikan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.
5.      Model Evaluasi Pengembangan
Secara garis besar, model evaluasi yang telah dikembangkan selama ini dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu,
a.      Measurement
Evaluasi didasarkan pada pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan individu atau kelompok. Hasil evaluasi digunakan untuk perbandingan efektivitas antara dua atau lebih program/metode pendidikan. Obyeknya menitikberatkan pada hasil belajar dalam aspek kognitif yang dapat diukur serta dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan adalah skor hasil tes.[28]
Kelemahan dari konsep ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek pengukuran dalam kegiatan evaluasi pendidikan. Sebagai konsekuansi dari penekanan yang berlebihan pada aspek pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari program pendidikan yang “diukur”.[29]
Model evaluasi ini menekankan pada objektivitas dalam proses yang mengutamakan hasil belajar peserta didik. Jadi model evaluasi ini hampir sama dengan evaluasi kuantitatif dan cocok digunakan saat evaluasi berfokus pada hasil dari belajar peserta didik.
b.      Congruence
Evaluasi didasarkan pada pemerikasaan kesesuaian antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai untuk melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi digunakan untuk penyempurnaan program dan pemberian informasi kepada pihak-pihak luar pendidikan. Obyeknya menitikbertakan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap.[30]
Konsep ini tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian adalah hubungan tujuan pendidikan dan hasil belajar. Dalam pelaksanaan evaluasi dari konsep ini dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara hasil pretest dan postest.[31]
Model evaluasi ini untuk mengkaji efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dengan model ini sangat tepat diterapkan bila direfleksikan dengan tujuan pendidikan nasional dan berfokus dalam mencapai tujuan pendidikan.
c.       Educational System Evaluation
Evaluasi didasarkan pada perbandingan antara performa setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan penilaian. Hasil evaluasi digunkaan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan program secara keseluruhan. Obyeknya mencakup input, proses dan hasil yang dicapai dalam kegiatan pendidikan.[32]
Konsep ini kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan adalah mengenai pandangannya tentang evaluasi untuk menyimpulkan kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua persoalan yang perlu mendapat penegasan dari konsep ini, yang pertama menyangkut segi teknis dan yang kedua menyangkut segi  strategis.[33]
Dalam pelaksanaannya model ini mempunyai kesamaan dengan model evaluasi CIPP dan model evaluasi ekonomi mikro, yaitu mengevaluasi dari awal sampai akhir dari evaluasi. Menggunakan sifat evaluasi formatif dan sumatif. Jadi model evaluasi ini sangat tepat diterapkan dalam berbagai macam kurikulum entah dari bangsa A atau bangsa B.

Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi evaluator dalam kurikulum, seyogyanya kita ketahui dahulu secara garis besar posisi evaluator yaitu ada dua, evaluator internal dan evaluator eksternal.
Evaluasi internal adalah evaluasi yang dilakukan oelh seorang anggota tim pengembang kurikulum. Evalutor bertugas melakukan pekerjaan selama proses belangsung baik ketika dalam proses konstruksi kurikulum maupun implementasi kurikulum. Dan untuk penyempurnaan dokumen kurikulum dan penyempurnaan proses implementasi kurikulum.[34] Dapat disimpulkan evaluator internal adalah orang yang mengevaluasi kurikulum dan terlibat langsung pada proses evaluasi kurikulum dan proses evaluasinya bersifat formatif atau bisa disamakan dengan monitoring kurikulum.
Apabila evaluator pada evaluasi proses merupakan pelaksana langsung, yaitu guru, kepala sekolah, para supervisor pendidikan, atau tim penilai khusus. Guru disini bertugas sebagai evaluator bagi peserta didik dan mencari informasi apa yang menjadi kekurangan dalam proses kurikulum. Kepala sekolah juga bertugas sama seperti guru dan menjadi evaluator bagi kinerja guru. Para supervisor pendidikan atau tim penilai khusus tugasnya sebagai evaluator semakin kompleks.
Evaluasi eksternal dilakukan oleh seorang yang tak terlibat dalam tim pengembangan kurikulum. Kedudukannya “orang luar” tentu memberikan berbagai keuntungan dalam hal objektivitas. Kemungkinan kelemahan bagi evaluator eksternal adalah pemahaman mengenai karakteristik evaluan.[35] Dengan demikian, yang termasuk dari evaluator eksternal adalah masyarakat luas yang setidaknya tahu tentang proses pendidikan atau proses kurikulum entah itu dari kalangan akademisi, pensiunan PNS, bahkan dari kalangan mahasiswa.
Untuk ketentuan sebagai evaluator belum diketahui secara pasti, namun dari penjelas di atas dapat disimpulkan bahwa evaluator harus paham seluk-beluk tentang proses pendidikan atau proses kurikulum (evaluator internal), mengetahui dan dapat menggunakan data masukan, perantara dan keluaran, harus bersikap objektif, berfungsi sebagai evaluator formatif dan evaluator sumatif, bisa membuat yang tepat demi kelanjutan dari proses kurikulum atau pendidikan, paham penggunaan pendekatan yang tepat sesuai dengan model dari evaluasi kurikulum.
Dari sekian banyak dari model yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelunya, model yang paling efektif digunakan adalah model Pendekatan Sistem Alkin, model CIPP, model Campuran Multivariasi dan model Educational System Evaluational. Karena kesemuanya dalam proses evaluasi itu sendiri mengevaluasi secara menyeluruh mulai dari proses awal hingga hasil akhir dari pendidikan atau kurikulum itu dievaluasi. Evaluasinya bersifat evaluasi formatif dan evaluasi sumatif serta metodologi bisa menggunakan metodologi kuantitatif dan metodologi kualitatif. Namun dalam memilah model evaluasi yang ada harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, mana akan dievaluasi, menggunakan pendekatan apa, mengguanakan metodologi apa.



BAB II
PENUTUP
A.    Simpulan
Evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap  kurikulum secara menyeluruh baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas maupun ruang lingkup mikro dalam bentuk pembelajaran.
Yang masuk dalam model evaluasi kuantitatif adalah model Black Box Tyler, model Teoritis Taylor dan Maguire, model Pendekatan Sistem Alkin, model Countenance dan model CIPP. Sedang yang termasuk dalam model evaluasi kualitatif adalah model Studi Kasus, model Illuminatif dan model Responsive.
Model fenomena sejarah terbagi menjadi beberapa model, yaitu model Penelitian, model Objektif dan model Campuran Multivariasi. Sedang dalam perkembangan secara garis besar model evaluasi terbagi menjadi beberapa yaitu, model Measurement, model Congruence dan model Educational System Evaluation.
B.     Saran
Mengenai model ini memberikan kesempatan kepada para evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Suatu hal yang harus diingat bahwa pemilihan tersebut diperlukan karena setiap model memliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, evaluator harus memahami keungugulan dan kelemahan dari masing-masing dari model yang hendak dipakai.



DAFTAR PUSTAKA


Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Rahman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter (Refleksi dan Proposal Solusi Terhadap KBK dan KTSP). Jakarta: Prestasi Pustaka.

Rusman. 2012. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

Sukiman. 2015. Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggai. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, Nana Syaddiah. 2000. Pengembangan Kurikulum Toeri dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.


[1] Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 136
[2] Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 108-109
[3] Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggai, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 196
[4] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 187
[5] Ibid., hal. 188
[6] Ibid., hal. 193-194
[7] Ibid., hal. 194
[8] Ibid., hal. 200-202
[9] Ibid., hal 203
[10] Ibid., hal. 204
[11] Ibid., hal. 203
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hal. 206-207
[14] Ibid., hal. 214
[15] Muhammad Rahman, Kurikulum Berkarakter (Refleksi dan Proposal Solusi Terhadap KBK dan KTSP), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hal. 21
[16] Hamid Hasan,  Evaluasi Kurikulum, hal. 215
[17] Ibid.,  hal. 223
[18] Ibid., hal. 223 dan 224
[19] Ibid., hal. 225
[20] Ibid., hal. 226
[21] Ibid., hal. 227
[22] Ibid., hal. 228
[23] Ibid., hal. 234
[24] Ibid., hal. 236-237
[25] Nana Syaddiah Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Toeri dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 185
[26] Ibid., hal. 186
[27] Ibid., hal. 188
[28] Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hal. 112
[29] Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 114
[30] Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hal. 112
[31] Rusman, Manajemen Kurikulum, hal. 115
[32] Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hal. 113
[33] Rusman, Manajemen Kurikulum, hal. 118
[34] Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 199
[35] Ibid., hal. 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar