MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM
Makalah
Mata
Kuliah : Pengembangan
Kurikulum
Dosen
Pengampu : Muhammad Miftah, M. Pd
Disusun
Oleh:
Roys Maulana: 1410110552
Toha Mahsun: 1410110563
Muhammad Haidarullah: 1410110559
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Evaluasi atau penilaian kurikulum merupakan salah satu
bagian dari evaluasi pendidikam, yang memusatkan perhatian kepada
program-program pendidikan untuk anak didik. Kurikulum juga sebagai program
pendidikan atau program belajar untuk peserta didik, memerlukan penilain
sebagai bahan balikan dan penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan
masyarakat, anak didik serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil penilaian sangat bermanfaat bagi para pengambil
keputusan dalam melakukan perubahan kurikulum yang harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Penilaian kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat
ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Namun,
seiring dengan kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai
berkembang. Salah satu perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model
evaluasi kurikulum yang berasal dari pemikiran para ahli di dunia.
Evaluasi kurikulum begitu penting dilaksanakan karena
evaluasi kurikulum diadakan untuk mengetahui hingga manakah hasil dari evaluasi
untuk memenuhi harapan-harapan yang terkandung dalam tujuan evaluasi dengan
maksud untuk mengadakan perbaikan dan melanjutkan evaluasi atau menggantikannya
dengan yang baru.[1]
Dari uraian diatas, makalah ini akan membahas pengertian
evaluasi kurikulum, model-model kurikulum yang sebagai salah satu bahan bacaan
untuk masyarakat umum, khususnya mahasiswa yang sedang menempuh program strata
satu dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian evaluasi kurikulum?
2. Apa saja model evaluasi kurikulum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Evaluasi Kurikulum
Pembahasan mengenai evaluasi kurikulum tidak
terlepas dari beberapa istilah yang senada dengan evaluasi, penilaian dan
kurikulum itu sendiri. Menurut Hamid Hasan, evaluasi adalah suatu proses
pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan.
Sesuatu yang dipertimbangakan tersebut berupa orang, bendam kegiatan, keadaan,
atau suatu kesatuan tertentu dengan
berdasarkan kepada kriteria-kriteria tertentu agar tidak asal saja. Tanpa
kriteria yang jelas dilakukan bukanlah suatu proses yang dapat diklasifikasikan
sebagai evaluasi.
Menurut Nana Sudjana, evaluasi adalah proses
penentuan nilai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang dalam proses
tersebut tercakup usaha untuk mencari dan mengumpulkan data atau informasi yang
diperlukan sebagai dasar dalam menentukan suatu nilai yang menjadi obyek
evaluasi, seperti program, prosedur, usul, cara, pendekatan, model kerja, hasil
program.
Kurikulum memiliki dimensi yang luas karena
mencakup banyak hal, mulai dari perencanaan, pengembangan komponen,
implementasi serta hasil belajar dianggap sebagai ruang lingkup kajian evaluasi
kurikulum. Dengan demikian, evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi
terhadap kurikulum secara menyeluruh
baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas maupun ruang lingkup
mikro dalam bentuk pembelajaran.[2]
Secara umum dapat dikatakan bahwa evaluasi
kurikulum adalah pencermatan yang sistematik tentang (kriteria) manfaat,
kesesuaian, efektivitas dan efesiensi dari kurikulum yang diterapkan, atau
penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk
membuat keputusan tentang kurikulim yang sedang berjalan atau yang telah
dijalankan. Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan masing-masing
komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, metode pembelajaran yang ada dalam
kurikulum. Tujuan evaluasi kurikulum untuk mengumplkan, menganalisis dan
menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah
direvisi atau diganti.[3]
Jadi evaluasi kurikulum adalah suatu proses
pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti yang sistematik tentang
(kriteria) manfaat, kesesuaian, efektivitas dan efesiensi dari kurikulum yang
diterapkan, atau penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid
dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulim yang sedang berjalan
atau yang telah dijalankan.
B.
Model-Model Evaluasi Kurikulum
1.
Model Evaluasi Kuantitatif
Model kuantitatif ditandai oleh ciri yang
menonjol dalam penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivistis. Oleh karena itu,
model-model evaluasi kuantitatif yang dibicarakan pada sub bab ini menerangkan
peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Model-model kuantitaif
ini ialah persamaan mereka dalam fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum
sebagai hasil belajar. Dimensi ini
dianggap sangat penting bahkan dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan
kriteria pokok bagi model-model kuantitaitf. Ada beberapa model yang memberikan
perhatian kepada dimensi kurikulum sebagai proses tetapi tetap mempertahankan
fokus kurikulum sebagai hasil belajar[4],
diantaranya
a.
Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak
ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangannya. Model yang dikemukakannya
dibangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku
peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik
sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum tersebut. Dengan kedua dasar ini, Tyler ingin mengatakan
bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil
belajar.[5]
Model evaluasi Tyler memiliki keunggulan dalam
kesederhanaannya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada
satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Keunggulan model Tyler pada
sisi lain menjadi titik lemah model ini. Fokus pada hasil belajar dan
mengabaikan dimensi proses adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan pendidikan.
Karena evaluasi yang mengabaikan proses sebagai fokus berarti mengabaikan satu
komponen kurikulum yang penting. Faktor lain yang menyebabkan kelemahan model
Tyler adalah kenyataan yang diungkapkan oleh banyak studi yang mengkaji dimensi
proses.[6]
Model ini dapat dikatakan hanya berfokus pada
hasil belajar peserta didik dan
mengabaikan penilaian pada proses kurikulum yang begitu penting yang
perlu dievaluasi demi kelancaran kurikulum itu sendiri.
b.
Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model Teoritik Taylor dan Maguire ini lebih
mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum.
Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pertimbangan praktis tidak
diberikan dalam penerapan beberapa langkah model tersebut. Dengan pertimbangan
teoritik, Taylor dan Maguire mencoba menerapkan apa yang seharusnya secara
teoritik terjadi dalam suatu proses pelaksanaan evaluasi kurikulum.
Walaupun dalam literatur yang mereka
pergunakan tidak tercantum tulisan Tyler mengeanai evaluasi, kajian terhadap
model ini memperhatikan adanya pengaruh Tyler. Unsur-unsur yang ada dalam model
ini seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang dikembangkan berdasarkan
pendekatan behavioral, pengembangan strategi, dan semangat psikometrik.[7]
Model ini juga berfokus pada hasil belajar
peserta didik yang terlihat dari penggunaan pendekatan behavioral namun
tidak mengabaikan proses kurikulum itu sendiri terlihat dari pengembangan
strategi kurikulum.
c.
Model Pendekatan Sistem Alkin
Pendekatan yang dilakukan Alkin memiliki
keunikan dibandingkan pakar evaluasi
lainnya, ia memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi.
Dalam model pendekatannya dengan pendekatan sistem Alkin telah memasukkan
variabel perhitungan ekonomi. Alkin membagi model ini atas tiga komponen yaitu
masukan, perantara dan keluaran (hasil). Dalam model ini, Alkin juga
mengenalkan adanya sistem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang
lansgung berhubungan dengan pendidikan, dan juga sistem luar (eksternal) yang
mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model ini dikembangkan berdasarkan empat
asumsi. Pertama, variabel perantara adalah satu-satunya kelompok
variabel yang dapat dimanipulasi. Kedua, sistem luar tidak langsung
dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan). Ketiga, para pengambil
keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan
sistem luar terhadap sekolah. Keempat, faktor masukan mempengaruhi
aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpengaruh
terhadap keluaran.[8]
Sistem luar yang berpengaruh terhadap sekolah
adalah lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Dalam hasil-hasil
penelitian bahwa sekolah yang berada di lingkungan lapisan tertentu mempunyai
karakteristik pengelolaan yang berbeda dengan sekolah yang berada di lingkungan
lapisan tertentu lainnya.[9]
Misalnya, sekolah dalam lingkungan ekonomi akan berbeda dengan sekolah dalam
lingkungan politik. Sekolah yang dalam lingkungan ekonomi akan memfokuskan
hasil belajar siswa berorientsi pada keterampilan yang berguna untuk menunjang
kebutuhan hidup.
Faktor perantara merupakan kelompok variabel
yang secara langsung menentukan keluaran. Manipulasi terhadap variabel-variabel
ini akan memberikan keluaran yang berbeda. Oleh karenanya, suatu kegiatan
evaluasi yang mendasarkan diri pada model ini, harus memberikan perhatian utama
pada kelompok variabel ini. Variabelnya yaitu, guru-peserta didik, jumlah
peserta didik dalam satu kelas, pengaturan administrasi, penyediaan buku
pelajaran dan buku bacaan.[10]
Misalnya, dalam pengaturan administrasi akademis dari salah satu peserta didik
yang kurang dalam memasuki sekolah yang notabenya sekolah favorit, maka orang
tua siswa itu melobi dari pihak sekolah terkait.
Masukan peserta didik adalah “deskripsi atau
pengukuran mengenai peserta didik yang masuk ke dalam sistem”.[11]
Yaitu, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian dan
kebiasaan serta latar belakang keluarga ataupun lingkungan. Evaluator harus
memiliki informasi menegenai peserta didik karena informasi dapat digunakan
untuk menjelaskan proses interaksi yang terjadi dan hasil belajar.[12]
Data yang diperoleh dari data masukan akan
digunakan untuk proses evaluasi dan mempengaruhi pada faktor perantara, besar
kecilnya data yang diperoleh dari faktor masukan akan mempengaruhi juga besar
kecilnya pada faktor perantara sekaligus akan memperngaruhi besar kecilnya
hasil dari evaluasi pada faktor keluaran itu sendiri.
Model sistem Alkin ini tidak semua menggunakan
pendekatan ekonomi mikro namun hanya memasukkan unsur tersebut. Dalam model
evaluasi ini pengaruh dari luar tak langsung berdampak signifikan bagi sekolah,
begitu sebaliknya sekolah tak langsung mempengaruhi faktor dari luar.
d.
Model Countenance Stake
Model Countenance adalah model pertama
evaluasi kurikulum yang dikembangkan Stake. Dalam suatu pengertian countenance
adalah keseluruhan. Dalam tulisan ini, Stake ingin mengemukakan keseluruhan
kegiatan evaluasi yang harus dilakukan dan cara yang diinginkannya bagaimana
evaluasi tersebut dilakukan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi
formal, yaitu dimana dikatakannya sebagai suatu kegiatan evaluasi yang sangat
tergantung pada pemakaian atau evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang
tidak terlibat dengan evaluan.[13]
Dalam mengevaluasi, Stake menekan pada
evaluasi keseluruhan dari kurikulum. Hal ini menunjukkan evaluasi kualitatif,
namun dikelompokkan dengan evaluasi kuantitatif karena pada masa awalnya
menggunakan pendekatan kuantitatif. Karena perubahan sikap Stake, model ini
berubah menjadi evaluasi kualitatif.
e.
Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang
diketahui oleh Stufflebeam. Model yang dikembangkan inni kadang-kadang
dinamakan model PDK (Phi Delta Kappa). Namun nama CIPP, dalam
kenyataanya, lebih dikenla masyarakat perguruan tinggi dan kalangan evaluator.
CIPP adalah singkatan dari Context, Input, Process, dan Product.[14]
Adapun yang terkenal dan paling penting adalah
evaluasi terhadap produk atau hasil. Karena hasil belajar adalah tujuan yang
telah diterapkan dalam model ini, maka instrumennya juga ditetapkan berdasarkan
domain apa yang menjadi tujuan dari proses tersebut.[15]
Model ini terbentuk dari empat jenis evaluasi,
yaitu context (konteks) artinya evaluator diminta mengidentifikasi
berbagai faktor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja,
peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan faktor lain yang mungkin
berpengaruh dalam kurikulum. Input (masukan) artinya evaluator
menentukan tingkat pemanfaatan dari berbagai faktor yang dikaji dalam konteks
pelaksanakan kurikulum dan menjadi dasar untuk melakukan revisi dalam
kurikulum. Process (proses) artinya evaluator mengumpulkan berbagai
informasi dalam keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan
kelemahan dalam implementasi kurikulum. Product (hasil) artinya
evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai hasil dari belajar,
membandingkannya dengan standar dan mengambil keputusan mengenai status
kurikulum (direvisi atau dilanjutkan).[16]
Dalam perubahan model evaluasi ini mengalamai
penyederhanaannya yang tidak akan membandingkan dua kurikulum. Model ini
terdiri dari empat evaluasi, namun evaluator bisa saja melakukan satu jenis
evaluasi dari model CIPP ini. Walaupun dianjurkan mengkombinasikan
keempat-empatnya. Dengan demikian, model evaluasi ini bisa dikembangkan oleh
evaluator yang mana evaluator dapat memilih dari empat jenis evaluasi dalam
model CIPP.
2.
Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model
yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana kebanyakan model
kuantitaitf, model ekonomi mikro memiliki fokus utama pada hasil (hasil dari
pekerjaan, hasil belajar, dan hasil yang diperkirakan). Pertanyaan besar dari
model ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik
sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan. Menurut Levin, ada empat model
lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit,
cost-utility dan cost-feasibility.[17]
Cost-effectiveness, model yang harus dapat membandingkan dua
program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk
masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Dan
hendaknya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau program yang
mempunyai tujuan identik atau serupa.[18]
Berbeda dengan cost-effectiveness yang
menggunakan angka sebagai unit pengukuran hasil belajar. Cost-benefit menggunakan
unit uang dalam mengukur hasil belajar. Cost-utility dikemukakan Levin
ialah memberikan peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif
maupun data kualitatif, sehingga evaluator tidak dibatasi ruang geraknya atas
satu jenis data saja.[19]
Cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi
apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya setelah ide kurikulum
dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan agar
kontinuitas implementasi kurikulum terjamin.[20]
Dalam meodel ekonomi mikro sendiri terdapat
empat bagian dalam mengevaluasi suatu kurikulum. Antara cost-effektiveness dan
cost benefit sama-sama untuk membandingkan dua kurikulum namun berbeda
pada penggunaan hasil pengukuran. Dan antara cost-utitlity dan cost-feasibility
saling mendukung bagi evaluator dalam bekerja, utility untuk evaluator
mengembangkan evaluasinya dan feasibility untuk melihat hasil dari
kurikulum dan memodifikasi evaluasi kurikulum itu sendiri.
Waluapun evaluasi ekonomi mikro dengan evaluasi
kuantitatif sama-sama menggunakan data kuantitatif namun ada perbedaan mendasar
yang membedakannya. Yaitu penggunaan pendekatan dan prosedur ekonomi dalam
keseluruhan proses evaluasi pada evaluasi ekonomi mikro. Yang sangat mencolok
adalah unsur uang atau dana dalam proses evaluasi kurikulum. Mulai dari proses
awal hingga hasil akhir dari evaluasi kurikulum itu sendiri.
3.
Model Evaluasi Kualitatif
Model evaluasi kualitatif menggunakan
metodologi kualitatif dalam pengumpulan data evaluasi. Ciri khas dari model
evaluasi kualitatif ialah selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum
sebagai fokus utama evaluasi.[21]
a.
Model Studi Kasus
Evaluasi ini menggunakan model studi kasus
memusatkan perhatiaannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum pada satu satuan
pendidikan. Karakteristik model evaluasi kualitatif adalah data yang
dikumpulkan terutama adalah data kualitatif. Data kualitatif dianggap lebih
dapat mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan dan menggambarkan
peristiwa-peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian yang berkesinambungan.
Meskipun demikian, model studi kasus tidak
menolak pemakaian data kuantitatif apabila data tersebut memang diperlukan.
Penolakan data kuantitatif dilakukan pada prosedur pengumpulan data kuantitatif
yang harus memenuhi persyaratan metodologi kuantitatif.[22]
Model ini sangat tepat dalam evaluasi dimensi
proses atau evaluasi bersifat formatif serta langsung dapat mengena kesalahan
dalam proses kurikulum itu sendiri.
b.
Model Illuminatif
Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya
pada paradigma antropologi sosial. Dan memberikan perhatian terhadap lingkungan
luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan.
Perhatian ini merupakan salah satu kekuatan model illuminatif. Model evaluasi
ini dikembangkan atas dua dasar konsep utama, yaitu sistem intruksi dan
lingkungan belajar. Sistem intruksi diartikan katalog, perspektus, dan
laporan-laporan pendidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana
yang berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. Lingkungan belajar adalah
lingkungan sosial-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik saling
berinteraksi.[23]
Model ini sangat cocok untuk mengetahui
perkembangan anak didik secara intens yang diperlukan dalam mengevaluasi dalam
kurikulum. Dan pengajaran atau pembelajaran dapat disesuaikan dengan keadaan
anak didik sehingga dapat mengetahui secara tepat perkembangannya dan dapat
memaksimalkan potensi atau mengetahui hasil dari belajar anak didik.
c.
Model Responsive
Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut
dari model countenance, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan.
Perbedaan pertama dalam hal fokus. Model countenance berfokus pada kurikulum
sebagai suatu rencana sedangkan model responsive berfokus pada kurikulum dalam
dimensi proses.
Kedua ialah dalam pendekatan pengembangan
kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan kriteria fidelity, model
responsive mengembangan kriterianya berdasarkan pendekatan proses.[24]
Model ini kurang cocok bila diterapkan karena
strukutrnya sangat ketat dan menggunakan pendekatan proses, yang mana
pendekatan itu memiliki kriteria evaluasi yang cukup banyak. Konsekuensinya tidak
berbicara banyak tentang komponen dasar dari evaluasi kurikulum.
Berikut ini perbedaan mendasar yang
menunjukkan evaluasi kuantitaif dan evaluasi kualitatif :
No
|
Evaluasi Kuantitatif
|
Evaluasi Kualitatif
|
1.
|
Menggunakan prosedur kuantitatif dan data
kuantitatif
|
Menggunakan prosedur kualitatif dan data
kualitatif
|
2.
|
Menggunakan metodologi kuantitatif
|
Menggunakan metodologi kualitatif
|
3.
|
Kriterianya berupa pre-prdinate dan fidelity
|
Kriterianya berdasarkan pendekatan proses
|
4.
|
Berfokus pada dimensi hasil belajar
|
Berfokus pada dimensi proses
|
5.
|
Menekankan pada pendekatan Behavioral
|
Menekankan pada pendekatan proses
|
6.
|
Alat ukurnya berupa tes awal dan akhir
(behavioral dan kuantitatif)
|
Alat ukurnya berupa multiple realitis
|
7.
|
Jenis evaluasi sumatif
|
Jenis evaluasi formatif
|
8.
|
Bergantung pada hasil evaluasi dan tidak
tergantung pada kepandaian evaluator dalam pengolahan data
|
Sangat bergantung pada pengolahan data dan
kepandaian evaluator dalam pengolahan data
|
9.
|
Berorientasi pada hasil belajar siswa
|
Berorientasi pada lingkungan kelas
|
10.
|
Tidak menekankan pada observasi
|
Menekankan pada observasi
|
11.
|
Tidak membutuhkan waktu lama dalam
pengolahan data
|
Membutuhkan waktu lama dalam pengolahan data
|
4.
Model Fenomena Sejarah
Evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah,
suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.
a.
Evaluasi Model Penelitian
Model
penelitian ini didasarkan atas teori dan metode tes psikologis dan eksperimen
lapangan. Tes psikologi mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang
ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang
mengukur perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai
tahun 1930 dengan menggunakan metode penelitian botani pertanian. Model
eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak didik
dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum disamakan dengan fasilitas dalam
pertanian, sistem sekolah disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya.[25]
Model evaluasi ini hampir sama dengan model
evaluasi studi kasus karena menggunakan metode penelitian suatu kasus. Bedanya
model ini menggunakan perumpamaan evaluasi seperti eksperimen pada botani
pertanian yang telah dijelaskan diatas.
b.
Evaluasi Model Objektif
Perbedaan model obyektif dengan model
komparatif adalah dalam dua hal. Pertama dalam model
objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses
pengembangan kurikulum. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum,
kegiatan penilaiaan ini sering disebut evaluasi sumatif. Informasi yang diperoleh dari hasil penilaiannya yang sedang berjalan
disebut evaluasi formatif.[26]
Model objektif ini hampir menyeluruh model-model evaluasi diatas karena
setiap proses evaluasi harus mempunyai sifat objektif pada evaluator yang ada.
Model objektif juga ditekankan pada seluruh proses evaluasi kurikulum karena
untuk mengoptimalkan proses dan hasil belajar pada peserta didik yang
dievaluasi berserta komponen yang yang dievaluasi.
c.
Model Campuran Multivariasi
Model evaluasi
perbandingan dan model Tyler dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran
multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua
pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu
kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap
kurikulum diukur berdasarkan kriteria tertentu dari masing-masing
kurikulum.[27]
Model evaluasi ini sangat cocok diterapakan
pada macam-macam kurikulum yang ada, karena proses evaluasinya menyeluruh dan
menyatukan unsur-unsur pendekatan yang berbeda dalam evaluasi kurikulum serta
hasil dapat terlihat dari masing-masing kurikulum. Model ini tepat diterapkan
bila pergantian kurikulum atau modifikasi kurikulum. Sehingga dapat menentukan
kurikulum yang cocok untuk suatu bangsa dengan menyesuaikan kebutuhan dan tujuan
yang hendak dicapai.
5.
Model Evaluasi Pengembangan
Secara garis besar, model evaluasi yang telah
dikembangkan selama ini dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu,
a.
Measurement
Evaluasi didasarkan pada pengukuran perilaku
siswa untuk mengungkapkan perbedaan individu atau kelompok. Hasil evaluasi
digunakan untuk perbandingan efektivitas antara dua atau lebih program/metode
pendidikan. Obyeknya menitikberatkan pada hasil belajar dalam aspek kognitif
yang dapat diukur serta dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan adalah
skor hasil tes.[28]
Kelemahan dari konsep ini terletak pada
penekanannya yang berlebihan pada aspek pengukuran dalam kegiatan evaluasi
pendidikan. Sebagai konsekuansi dari penekanan yang berlebihan pada aspek
pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari program
pendidikan yang “diukur”.[29]
Model evaluasi ini menekankan pada
objektivitas dalam proses yang mengutamakan hasil belajar peserta didik. Jadi
model evaluasi ini hampir sama dengan evaluasi kuantitatif dan cocok digunakan
saat evaluasi berfokus pada hasil dari belajar peserta didik.
b.
Congruence
Evaluasi didasarkan pada pemerikasaan
kesesuaian antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai untuk
melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi
digunakan untuk penyempurnaan program dan pemberian informasi kepada
pihak-pihak luar pendidikan. Obyeknya menitikbertakan pada hasil belajar dalam
bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap.[30]
Konsep ini tidak menjadikan input dan proses
pelaksanaan sebagai objek langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian adalah
hubungan tujuan pendidikan dan hasil belajar. Dalam pelaksanaan evaluasi dari
konsep ini dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara hasil pretest dan
postest.[31]
Model evaluasi ini untuk mengkaji efektivitas
kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dengan model ini
sangat tepat diterapkan bila direfleksikan dengan tujuan pendidikan nasional
dan berfokus dalam mencapai tujuan pendidikan.
c.
Educational System Evaluation
Evaluasi didasarkan pada perbandingan antara
performa setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu
deskripsi dan penilaian. Hasil evaluasi digunkaan untuk penyempurnaan program
dan penyimpulan program secara keseluruhan. Obyeknya mencakup input, proses dan
hasil yang dicapai dalam kegiatan pendidikan.[32]
Konsep ini kiranya dapat dipandang sebagai
kelemahan adalah mengenai pandangannya tentang evaluasi untuk menyimpulkan
kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua persoalan yang perlu mendapat
penegasan dari konsep ini, yang pertama menyangkut segi teknis dan yang kedua
menyangkut segi strategis.[33]
Dalam pelaksanaannya model ini mempunyai
kesamaan dengan model evaluasi CIPP dan model evaluasi ekonomi mikro, yaitu
mengevaluasi dari awal sampai akhir dari evaluasi. Menggunakan sifat evaluasi
formatif dan sumatif. Jadi model evaluasi ini sangat tepat diterapkan dalam
berbagai macam kurikulum entah dari bangsa A atau bangsa B.
Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi
evaluator dalam kurikulum, seyogyanya kita ketahui dahulu secara garis besar
posisi evaluator yaitu ada dua, evaluator internal dan evaluator eksternal.
Evaluasi internal adalah evaluasi yang
dilakukan oelh seorang anggota tim pengembang kurikulum. Evalutor bertugas
melakukan pekerjaan selama proses belangsung baik ketika dalam proses
konstruksi kurikulum maupun implementasi kurikulum. Dan untuk penyempurnaan
dokumen kurikulum dan penyempurnaan proses implementasi kurikulum.[34]
Dapat disimpulkan evaluator internal adalah orang yang mengevaluasi kurikulum
dan terlibat langsung pada proses evaluasi kurikulum dan proses evaluasinya
bersifat formatif atau bisa disamakan dengan monitoring kurikulum.
Apabila evaluator pada evaluasi proses
merupakan pelaksana langsung, yaitu guru, kepala sekolah, para supervisor
pendidikan, atau tim penilai khusus. Guru disini bertugas sebagai evaluator
bagi peserta didik dan mencari informasi apa yang menjadi kekurangan dalam
proses kurikulum. Kepala sekolah juga bertugas sama seperti guru dan menjadi
evaluator bagi kinerja guru. Para supervisor pendidikan atau tim penilai khusus
tugasnya sebagai evaluator semakin kompleks.
Evaluasi eksternal dilakukan oleh seorang yang
tak terlibat dalam tim pengembangan kurikulum. Kedudukannya “orang luar” tentu
memberikan berbagai keuntungan dalam hal objektivitas. Kemungkinan kelemahan
bagi evaluator eksternal adalah pemahaman mengenai karakteristik evaluan.[35]
Dengan demikian, yang termasuk dari evaluator eksternal adalah masyarakat luas
yang setidaknya tahu tentang proses pendidikan atau proses kurikulum entah itu
dari kalangan akademisi, pensiunan PNS, bahkan dari kalangan mahasiswa.
Untuk ketentuan sebagai evaluator belum
diketahui secara pasti, namun dari penjelas di atas dapat disimpulkan bahwa
evaluator harus paham seluk-beluk tentang proses pendidikan atau proses
kurikulum (evaluator internal), mengetahui dan dapat menggunakan data masukan,
perantara dan keluaran, harus bersikap objektif, berfungsi sebagai evaluator
formatif dan evaluator sumatif, bisa membuat yang tepat demi kelanjutan dari
proses kurikulum atau pendidikan, paham penggunaan pendekatan yang tepat sesuai
dengan model dari evaluasi kurikulum.
Dari sekian banyak dari model yang telah
dijelaskan pada pembahasan sebelunya, model yang paling efektif digunakan
adalah model Pendekatan Sistem Alkin, model CIPP, model Campuran Multivariasi
dan model Educational System Evaluational. Karena kesemuanya dalam proses
evaluasi itu sendiri mengevaluasi secara menyeluruh mulai dari proses awal
hingga hasil akhir dari pendidikan atau kurikulum itu dievaluasi. Evaluasinya
bersifat evaluasi formatif dan evaluasi sumatif serta metodologi bisa
menggunakan metodologi kuantitatif dan metodologi kualitatif. Namun dalam
memilah model evaluasi yang ada harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada,
mana akan dievaluasi, menggunakan pendekatan apa, mengguanakan metodologi apa.
BAB II
PENUTUP
A.
Simpulan
Evaluasi kurikulum merupakan suatu proses
evaluasi terhadap kurikulum secara
menyeluruh baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas maupun ruang
lingkup mikro dalam bentuk pembelajaran.
Yang masuk dalam model evaluasi kuantitatif
adalah model Black Box Tyler, model Teoritis Taylor dan Maguire, model
Pendekatan Sistem Alkin, model Countenance dan model CIPP. Sedang yang termasuk
dalam model evaluasi kualitatif adalah model Studi Kasus, model Illuminatif dan
model Responsive.
Model fenomena sejarah terbagi menjadi beberapa
model, yaitu model Penelitian, model Objektif dan model Campuran Multivariasi.
Sedang dalam perkembangan secara garis besar model evaluasi terbagi menjadi
beberapa yaitu, model Measurement, model Congruence dan model Educational
System Evaluation.
B.
Saran
Mengenai model ini memberikan kesempatan
kepada para evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih
sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Suatu hal yang harus diingat bahwa
pemilihan tersebut diperlukan karena setiap model memliki keunggulan dan
kelemahan. Oleh karena itu, evaluator harus memahami keungugulan dan kelemahan
dari masing-masing dari model yang hendak dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Rahman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter
(Refleksi dan Proposal Solusi Terhadap KBK dan KTSP). Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Rusman. 2012. Manajemen Kurikulum. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sukiman. 2015. Pengembangan Kurikulum Perguruan
Tinggai. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaddiah. 2000. Pengembangan
Kurikulum Toeri dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2013. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
[2] Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan
Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 108-109
[3] Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggai, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 196
[15] Muhammad Rahman, Kurikulum Berkarakter (Refleksi dan Proposal Solusi
Terhadap KBK dan KTSP), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hal. 21
[25] Nana Syaddiah Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Toeri dan Praktik, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 185
[34] Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar