PENGANTAR DISIPLIN ILMU LOGIKA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Logika
Dosen pengampu : Rochanah, M.Pd.I
Disusun oleh :
Muhammad Haidarullah 1410110559
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
DAFTAR ISI
3. Tujuan
c. Dunia Modern
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kata logika atau logis sangat akrab dengan kita. Kita
sering berbicara tentang prosedur yang logis sebagai lawan dari prosedur yang
tidak logis, penjelasan yang logis sebagai lawan dari penjelasan yang tidak
logis, pikiran yang logis sebagai lawan dari pikiran yang tidak logis, tindakan
yang logis sebagai lawan dari tindakan yang tidak logis. Dalam contoh-contoh
tersebut kata logis dipakai dalam arti yang sama dengan masuk akal, dapat
dimengerti.
Untuk mengerti apa sesungguhnya logika, kita harus mempelajarinya
secara teratur dan sistematis. Mempelajari logika berarti mempelajari metode-metode
dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan penalaran yang tepat (valid)
dari penalaran yang tidak tepat (valid). Itu tidak berarti bahwa mempelajari
logika merupakan satu-satunya cara
yang membuat orang bernalar secara tepat. Akan tetapi, orang yang telah
mempelajari logika lebih mungkin bernalar secara tepat daripada kalau tidak
mempelajari logika.
Logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai pada
kebenaran karena kepercayaan-kepercayaan yang menjadi titik tolak kita kadang -kadang
salah. Namun dengan mengikuti prinsip-prinsip yang
tepat, kita perlu mengulang kesalahan-kesalahan yang
pernah kita lakukan.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas mengenai gambaran umum logika, maka pemakalah merumuskan beberapa masalah
dintaranya yaitu:
1. Apa definisi logika?
2. Apa sajakah objek dari logika?
3. Bagaimana pembagian logika dari segi jenis, metode dan kualitas logika?
4. Bagaimanakah sejarah perkembangan logika?
5. Bagaimana hukum mempelajari logika?
6. Apakah manfaat mempelajari logika?
3. Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami definisi ilmu
logika baik dari segi etimologi dan terminologi ilmu logika,
2.
Mengetahui dan memahami objek kajian ilmu
logika baik dari pengertian dan macam-mcam objek kajian ilmu logika,
3.
Mengetahui dan memahami pembagian atau
macam-macam ilmu logika dari segi jenis, metode dan tingkatan ilmu logika,
4.
Mengetahui dan memahami sejarah
perkembangan dan pertumbuhan awal dari ilmu logika sampai keluar dari wilayah
asalnya (Yunani),
5.
Mengetahui dan memahami pendapat sebagian
ulama’ mengenai hokum mempelajari ilmu logika dan mampu bersikap netral dari
paham radikal dari ilmu logika,
6. Mengetahui dan memahami manfaat dari ilmu logika yang berguna dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Logika
Secara etimologi Logika berasal dari Bahasa Yunani Logos yang
berarti “kata” atau “pikiran yang benar” (Hasbullah Bakry : 1981, 15)[1].
Disisi lain mengatakan, Logika berasal dari bahasa Latin yakni kata Logos
yang berarti “perkataan” atau “sabda” (K. Prent C.M, J. Adisubrata, dan
W.J.S Poerwadarminta: 1969, hlm. 501)[2]. Menurut
Poedjawijatana, logika adalah “filsafat berpikir”. Yang berpikir itu
manusia dan berpikir itu merupakan tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai
tujuan, yaitu untuk tahu (Poedjawijatana, 1992: 9)[3]. Menurut
K. Bertens dalam Suraijaya mengatakan bahwa Logika adalah ilmu yang menyelidiki
lurus tidaknya pemikiran kita (Suraijaya, 2005: 23). Dalam buku Logic and Language of Education,
Logika disebut sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode
berpikir (GeorgeF. Kneller: 1996, hlm. 13)[4]
Sedangkan dalam bahasa Arab , Logika disebut Ilmu Mantiq
dari kata dasar Nataqa yang berarti berbicara atau berucap (Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: 1984, hlm. 1531, Al-Ma’luf,1986, hlm. 816)[5]. Menurut
Ibnu Khaldun, bahwa Ilmu Mantiq (logika) merupakan undang-undang yang dapat
dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang salah
(Ibnu Khaldun: 2000, hlm. 474)[6].
Prof. Thaib Thohir A. Mu’in mendefinisikan Ilmu Mantiq sebagai ilmu
yang dipergunakan untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam
memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir A. Mu’in: 1966, hlm. 16). Tidak
ketinggalan Irving M. Copi juga mendefinisikan bahwa logika adalah ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran
yang betul dari penalaran yang salah (Irving M. Copi: 1978, hlm. 3)[7].
Logika merupakan bagian dari filsafat yang memperbicangkan hakikat
ketepatan, cara meyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan pengetahuan.
Logika tidak mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan tetapi membatasai
diri pada ketetapan susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, Logika
mempersyaratkan kebenaran, bukan wacana kebenarannya. Dan bidang perhatian dan tugas logika adalah menyelidiki penalaran yang
tepat, lurus, dan semestinya sehingga dapat dibedakan dari penalaran yang tidak
tepat.[8]
Demikian bahwa Logika merupakan salah satu disipilin ilmu yang menitikberatkan
pada berpikir atau bernalar dengan teliti dan teratur dengan tujuan untuk
mengetahui dan memperoleh suatu kebenaran serta membedakan pernyatan benar dan
pernyataan yang salah. Bisa juga Logika adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari aturan-aturan dan cara berpikir serta mengatur penelitian
hukum-hukum akal manusia yang mana hasilnya dapat menyampaikan pikiran atau
pikiran mencapai kebenaran serta mengetahui mana yang salah.
2.
Objek Kajian Logika
Dalam pembahasan sebelumnya logika memperbicangkan hakikat dan
menyelidiki penalaran yang tepat, lurus, dan semestinya sehingga dapat dibedakan
dari penalaran yang tidak tepat. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai
pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaram,
terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Setiap ilmu
pengetahuan pasti mempunyai objek.
Sebelum mengetahui lebih lanjut objek kajian logika alangkah
baiknya mengetahui maksud dari objek itu sendiri. Objek adalah sesuatu yang
merupakan bahan atau sasaran dari penelitian atau pembentukan pengetahuan.
Dilihat dari segi objeknya, objek logika ada dua yaitu objek material (Mantiq Al-Maddi)
dan objek formal (Mantiq As-Suwari)[9].
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan, yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin
ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan
dari penelitian atau pementukan pengetahuan itu, atau dari sudut pandang apa
objek materia itu disoroti (Surajiyo, 1005: 11)[10].
Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka yang menjadi objek atau
lapangan penyelidikan logika secara materia (sebagai sasaran umum) ialah
manusia itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu (secara khusus)
sebagai objek forma, ialah budinya (Poedjawijatana, 1992: 14)[11].
Cara pemikiran dalam objek-objek logika secara radikal dibagi menjadi dua. Cara
pertama disebut berpikir deduktif (umum ke khusus) dipergunakan dalam Logika
Forma yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan)
dalam pemikiran dengan mempergunakan
hukum-hukum, rumus-rumus dan patokan – patokan yang benar. Cara kedua, berpikir
induktif (khusus ke umum) dipergunakan dalam Logika Materia, yang mempelajari
dasar-dasar persusaian pikiran dengan kenyataan. Logika Materia menilai hasil
pekerjaan Logika Forma dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris[12].
Secara garis besar, objek bahasan - bahasan logika (mabahis ilm
al-mantiq), dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu bahasan ‘kata-kata’
(al-alfadh), bahasan proposisi (al-qadliyah) dan bahasan pemikiran atau
penalaran (al-istidlal)[13].
Sesuai dengan objek bahasan logika, pertama-tama yang harus dipelajari adalah
bahasan kata-kata, kemudian bahasan proposisi dan diakhiri bahasan penalaran. Karena
tidak mungkin seseorang dapat melakukan penalaran atau berpikir tanpa
mengetahui proposisi suatu kegiatan berpikir, begitu juga tidak mungkin
mengetahui proposisi berpikir tanpa mengetahui kata-kata yang sesuai. Tujuan
yang paling utama dari pelajaran ilmu mantiq (logika) adalah tentang
al-istidlal (penalaran), tetapi sesungguhnya penalaran itu tersusun dari
beberapa kata-kata[14].
4. Pembagian Logika
a. Logika dilihat dari jenisnya,
Dalam jenisnya, logika terbagi menjadi dua macam,
yaitu logika formal dan logika material. Mungkin sama dalam pembagian pada
objek logika, namun terdapat perbedaan dalam pengertiannya.
1. Logika Formal, logika yang mempelajari azas-azas, aturan-aturan atau
hokum-hukum berpikir yang harus ditaati agar orang dapar berpikir dengan benar
dan mencapai kebenaran
2. Logika Material, logika yang mempelajari langsung pekerjaan akal serta
menilai hasil-hasil logika formal dan
mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya (Hasbulllah
Bakry, 1970: 17)[15]
b. Logika dilihat dari metodenya,
Dalam pembagian ini didasarkan pada pola berpikir
ilmiah manusia yaitu berpikir logika tradisional dan berpikir logika modern.
1. Logika Tradisional (al-mantiq al-qadim), logika Aristoteles yang
bersifat deduktif, artinya berpikir dari keputusan yang bersifat umum untuk
mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Menurut Yuyun S. Suriasumantri, logika deduktif adalah cara berpikir
dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus, penarikan ini dinamakan Silogismus.
2. Logika Modern (al-mantiq al-hadis), logika yangbersifat induksi,
artinya berpikir dari berangkat dari peristiwa yang bersifat khusus untuk
mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Menurut Yuyun S. Suriasumantri, logika induksi adalah
cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai
kasus yang bersifat individual (khusus).[16]
c. Logika dilihat dari kualitasnya,
Bila dilihat dari aspek kualitas kemampuan
orang berpikir, maka logika itu dapat dikelompokkan menjadi dua
tingkatan, yaitu logika naturalis dan logika artifisialis atau logika ilmiah.
1. Logika Naturalis (al-mantiq al-fitri), logika yang berdasarkan
kemampuan akal pikiran bawaan manusia sejak lahir. Akal manusia yang normal
dapat berkerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar.
Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang, ia pasti dapat membedakan sesuatu
itu adalah berbeda dengan sesuatu lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan tidaklah
sama. Kemampuan berlogika naturalis pad tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung
dari tingkatan pengetahuannya.
2. Logika Artifisialis atau Ilmiah (al-mantiq al-shuri), logika yang
bertugas membantu al-mantiq al-fitri dan mengatasi kenyataan yang tidak
dapat ditanggulangi al-mantiq al-fitri guna menyusun hokum, patokan dan
rumus berpikir lurus. Logika ini memperluas, memperhalus, mempertajam serta
menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien,
mudah dan aman. Logika ini yang menjadi pembahasan logika sekarang ini
(Mundiri, 1993:13-14).[17]
5. Sejarah Logika
Menurut sejarah, dasar-dasar ilmu
mantik (logika) sudah dipelajari semenjak zaman Luqman Hakim atau zaman Nabi
Daud As. Dari Luqman hakim turun kepada filosof Benduples, kemudian turun
kepada filosof Sabqarates dan Baqrates, lalu turun kepada Aflathun, dan
akhirnya sampai kepada filosof Aristoteles yang dikenal sebagai bapak logika.[18]
Logika merupakan cabang dari llmu filsafat, maka sejarah lahirnya logika tidak
bisa lepas dari bagaimana filsafat itu muncul. Filsafat pertama kali muncul di
yunani, yaitu pada abad ke 6 SM. Pada waktu itu orang -orang
Yunani mulai kritis terhadap alam sekitar dan mulai memikirkan segala sesuatu
yang ada di sekitarnya. Merekalah orang-orang
yang berusaha keras menganalisis dan menyusun kaidah-kaidah
berpikir agar terhindar dari kesalahan dalam membuat kesimpulan.
Sejarah singkat logika dari masa pertumbuhannya hingga kurun
perkembangannya.
a.
Dunia Yunani Tua
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340-265)
disebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan istilah logika adalah tokoh
Stoa. Meskipun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis
para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan
asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofis-lah yang menjadikan pikiran manusia
sebagai titik pemikiran secara eksplisit.[19]
Sokrates (470-399) dengan metodenya ironi dan maieutika, de
facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh
dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri umumnnya. Plato mengumumkan
metode Sokrates tersebut menjadi teori ide, yaitu teori Dinge an sich.
Menurut Plato, ide adalah bentuk mulyajadi atau model yang bersifat umum
dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi
hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut ectypa.
Gagasan plato ini banyak memberikan dasar pada logika, terutama pada masalah
ideogenesis dan masalah penggunaan bahasa dalam pemikiran. Akan tetapi logika
yang ilmiah sesungguhnya baru terwujud berkat karya Aristoteles (384-322).[20]
Ia-lah Ahli pikir yang mempelopori perkembangan logika sejak awal lahirnya.[21]
Ia menghimpun dasar -dasar ilmu mantiq agar tidak punah sebab sulitnya ilmu ini. Maka
dari itu ia dipandang sebagai peletak ilmu mantiq (logika) dalam sejarah.
Karya Aristoteles tentang logika, kemudian diberi nama To Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dan
Rhodos. Karya Aristoteles mencakup: Kategoria (mengenai logika istilah
dan predikasi), Peri Hermeneis (tentang logika proposisi), Analytica
Protera ( tentang silogisme dan pemikiran), Analytica Hystera (tentang
pembuktian), Topica ( tentang metode berdebat), Peri Sophistkoon
Elechoon ( tentang kesalahan berpikir). Pola ini hingga kini masih
digunakan oleh kebanyakan penulis jika berbicara tentang logika.[22]
Setelah masa Aristoteles, logika diteruskan oleh muridnya, yaitu
Theopratus dan Porphyrius. Keduanya berperan penting dalam kemajuan logika.
Theopratus memimpin aliran peripatetic (warisan gurunya). Ia menyumbangkan
pemikiran tentang pengertian yang mungkin dan sifat asasi dari setiap
kesimpulan (harus mengikuti pangkal terlemah dalam berpikir). Maksud dari
pengertian yang mungkin adalah pengertian yang tidak mengandung kontradiksi
atau pertentangan dalam dirinya. Sedangkan Porphyrtius adalah ahli pikir dari
Iskandariyah yang amat terkenal dalam bidang logika. Ia telah menambahkan satu
bagian baru dalam pelajaran baru dalam logika, yaitu eisagogy. Eisagogy
membahas tentang lingkungan zat dan sifat di dalam alam yang sering disebut
klasifikasi.[23]
b.
Dunia Abad Pertengahan
Pada mulanya, yaitu pada tahun 1141, pembahasan logika hanya
berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoria dan Peri
Hermeneias. Karya Aristoteles tersebut bersama Eisagogen karya
Porphyrius biasa disebut logika lama. Baru sesudah tahun 1141, keempat karya
Aritoteles lainnya dikenal lebih luas
oleh masyarakat. Keempat karya tersebut disebut dengan logika baru.
Logika lama dan logika baru kemudian disebut sebagai logika antik. Di dalam
logika ini ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposis, untuk menerangkan
kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri
term sebagai simbol tata bahasa dari konsep -konsep.[24]
Pada abad XIII-XV
berkembanglah logika modern. Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W.
Ockham, dan Raymond Lullus yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars
Magna, yakni semacam aljabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan
kebenaran-kebenaran tertinggi.[25]
Abad pertengahan mencatat bebagai pemikiran yang sangat penting
bagi perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinil di bidang silogisme
hipotesis berpengaruh bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah
satu hasil terpenting dari logika. Munculnya teori suposisi, adanya diskusi
tentang universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme,
penggarapan logika modal, dan yang lainnya penyempurnaan teknis.[26]
c.
Dunia Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga
dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan penekanan-penekanan
yang berbeda. Meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, Thomas Hobbes (1588-1679)
dan John Locke (1632-1704) doktrin-doktrinnya
dalam logika sangat dikuasai oleh paham nominalisme. Pemikiran dipandang
sebagai suatu proses manipulasi tanda -tanda verbal
dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan interpretasi
tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman.[27]
Diantara tokoh lain yang berperan dalam perkembangan logika pada
era ini adalah Francis Bacon (London, 1620) dengan karyanya Novum Organum yang
membahas tentang logika fisika induktif murni, Rene Decartes (1637) dengan
karyanya Discours de la Methode yang membahas tentang logika matematika
deduktif murni, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
dengan rencana calculus universalnya yang
mendasari munculnya logika simbolis, John Stuart Mill (1806 -1873)
dengan karyanya System of Logic yang membahas tentang logika induktif
dan Henry Newman (1870) dengan karyanya Essay i Aid of a Grammar of Assent yang
meganalisis fenomenologis yang tajam tentang pikiran manusia.[28]
Selama abad ke-20, banyak karya dalam bidang logika memfokuskan
perhatian pada formalitas sistem logika dan pada pertanyaan tentang kekomplitan
dan konsistensi sistem-sistem tersebut.
Suatu teori yang terkenal, yang dikemukakan oleh Kurt Goedel (1906-1978),
menyatakan bahwa dalam sistem formal apa pun yang memadai bagi sejumlah teori
terdapat suuatu formula yang tidak dapat ditentukan, yaitu semacam formula,
bukan formula itu bukan juga negasinya yang dapat di asalkan dari aksioma-aksioma
dari sistem itu. Perkembangan -perkembangan
lain mencakup logika multi nilai dan formalisasi logika modal. Yang paling
mutakhir, logika berandil besar bagi teknologi dengan menyediakan fondasi
konseptual bagi sirkuit elektronik komputer-komputer
digital.
d.
Perkembangan Logika dalam Islam
Logika mulai berkembang dalam dunia islam sejak adanya kegiatan penerjemahan
buku-buku oleh para ilmuan Islam. Pada saat itu upaya untuk
mengembangkan logika terlihat dari upaya beberapa penerjemah yang menyalin buku-buku
karya Aristoteles kedalam bahasa arab. Diantara tokoh yang berperan adalah
Johana bin Pafk yang menyalin buku Aristoteles menjadi Manqulatul
Assyarat li Aristu, Ibn Sikkit
Jakub Al-Nahwi yang memberi komentar dan tambahan dalam bukunya Ishlah Fil
Mantiq, Jakub bin Ishaq Al-Kindi menyalin bagian-bagian
logika Aristoteles dan memberi komentar satu persatu.[29]
Al-Farabi juga telah melakukan penerjemahan secara menyeluruh karya
Aristoteles. Ia menguasai bahasa Yunani tua (Greek), sehingga mampu mengulas
dan mengomentari karya Aristoteles. Oleh karena itu ia disebut sebagai guru
kedua Aristoteles.[30]
Ahli pikir muslim yang juga ikut mengembangkan logika adalah Abu
Abdillah al-Khawarizmi, yang telah menciptakan aljabar serta buku Mafaatihul
Ulum fil Mantiqi yang berisi komentar tentang logika.[31]
Ibnu Sina juga membahas tentang logika sebagaimana terdapat pada
salah satu bagian bukunya yaitu As-Syifa.
Ia juga membahas secara spesifik tentang logika pada bukunya yang berjudul Isyarat
Wal Tanbibat fil-Mantiqi.[32]
Pada abad ke-14 muncul reaksi terhadap ilmu logika orang yang
belajar logika dianggap terlalu memuja akal dalam mencari kebenaran. Ahmad Ibnu
Taimiah menentang logika melalui karyanya yang berjudul Fasbibtu ahlil-Iman
fil-roddi ‘ala Mantiqi Yunani (ketangkasan pendukung keimanan menangkis
logika Yunani). Adapun Sa’aduddin Al-Taftazani (1322-1389M) mengharamkan bagi
orang yang mempelajari logika.[33]
Setelah runtuhnya kejayaan Islam di Andalusia pada pertengahan abad
ke-15, perkembangan logika semakin meredup. Hingga abad ke-20 hanya beberapa
tokoh saja yang mahir dalam logika,seperti Ibnu Khaldun, Al-Duwani, dan
Al-Akhdari. Diantara karya logika yang banyak dipakai sebagai pelajaran dasar
logika di dunia Islam, termasuk Indonesia adalah karya Al-Akhdari, yaitu Sullam
Al-Munauraqi fil Mantiqi. Namun demikian jiwa semangat untuk mempelajari
logika mulai bangkit lagi pada abad ke-20 dengan munculnya gerakan pembaharuan
Islam di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh.[34]
6. Hukum Mempelajari Logika
Ulama’ berselisih pendapat tentang hukum
mempelajari logika ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Melarang (Haram) mempelajari logika. Yang mengatakan demikian adalah
Imam an-Nawawi dan Imam Ibn al-Shalah,
b. Memperbolehkan (jawaz) mempelajari logika.
Ø
Ada sekelompok ulama’ yang berpendapat
demikian, diantaranya Imam Al-Ghazali sambil mengatakan bahwa orang yang tidak
mengerti logika, maka ilmunya kurang kuat terutama ketika dibutuhkan, karrena
tidak adanya kaidah-kaidah yang memperkuatkannya,
Ø
Pendapat yang masyhur dan shahih adalah
merinci (tafshil), artinya bila orang yang menyibukkan diri mempelajari logika
adalah pandai dan cerdas, serta mengerti kitab Al-Qur’an dan Sunna, maka bagi
dia diperbolehkan, tetapi bila tidak demikian, maka dia tidak boleh,
c. Fardhu Kifayah mempelajari logika. Pendapat demikian dikemukakan oleh
Imam Al-Sanusi dalam Al-Mukhtasar, logika (ilmu mantiq) yang murni tidak
ada perselisihan tentang bolehnya mempelajari logika, bahkan tidak jauh dari
kebenaran lagi pula mempelajari logika termasuk fardhu kifayah, artinya bila
dalam suatu daerah sudah ada seorang yang belajar, maka hukumnya mereka telah
gugur kewajibannya, tetapi bila tidak ada seseorangpun yang mengerti logika,
maka seluruh penduduk di daerah itu dosa semua.[35]
7. Manfaat Mempelajari
Logika
Banyak sekali kegunaan dan kentungan yang kita peroleh jika kita
mempelajari logika, diantara manfaat itu ialah :
1.
Membantu
manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran
dan menghindari kekeliruan.
2.
Mendidik
manusia bersikap objektif, tegas, dan berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam
segala suasana dan tempat.
3.
Melatih
kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu membahas
dengan metode-metode berpikir.
4.
Dapat
meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan pekerjaan tepat pada
waktunya.[36]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Logika merupakan salah satu disipilin ilmu yang menitikberatkan
pada berpikir atau bernalar dengan teliti dan teratur dengan tujuan untuk
mengetahui dan memperoleh suatu kebenaran serta membedakan pernyatan benar dan
pernyataan yang salah.
Pemikiran manusia adalah objek materia logika. Patokan-patokan
atau hukum-hukum berpikir benar adalah objek formal logika.
Logika dari jenisnya terbagi menjadi dua,
yaitu logika formal dan logika material. Bila dilihat dari metodenya logika
pula terbagi menjadi dua, yaitu logika tradisional dan logika modern. Serta
dilihat dari kualitasnya logika terbagi menjadi dua pula, yaitu logika
naturalis dan logika artifisialis atau logika ilmiah.
Aristoteles adalah ahli pikir yang mempelopori perkembangan logika
sejak awal lahirnya. Ia menghimpun dasar – dasar ilmu mantiq agar tidak punah
sebab sulitnya ilmu ini. Maka dari itu ia dipandang sebagai peletak ilmu mantiq
(logika) dalam sejarah.
Dalam mempelajari logika ada tiga pendapat
menyikapi hokum mempelajari logika, yaitu melarang (haram), memperbolehka
(jawaz) dan fardhu kifayah.
Diantara kegunaan dari logika adalah membantu manusia berpikir
lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari
kekeliruan.
Saran
Demi terciptanya pemahaman dan penerapan yang baik terhadap logika
dalam kehidupan sehari-hari, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaanya yaitu:
1.
Pahami
pengertian atau definisi dari logika secara baik dan benar, jangan sampai
keliru menafsirkan apa itu logika.
2.
Jangan
belajar teori logika saja, tetapi kita harus bisa membuat contohnya yang
dihubungkan dengan penerapan dikehidupan sehari-hari.
3.
Berpikir
bukan mengharuskan pemikir memiliki inisiatif, tetapi berpikir adalah
membiarkan sesuatu menjadi tampak sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori
kita sendiri pada sesuatu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 1995. Filsafat
Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maran, Rafael Raga. 2007. Pengantar
Logika. Jakarta: Grasindo.
Masdi. 2009. Daros Logika. Kudus:
STAIN PRESS.
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Poespoprodjo, W. 1999. Logika
Scientifica. Bandung: Pustaka Grafika.
Surajiya, dkk. 2006. Dasar-Dasar
Logika. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[1]
Drs. H. Masdi, M.Ag, Daros Logika (Kudus:
STAIN PRESS, 2009), hlm. 1
[3]
Ibid,
[5]
Ibid; Drs. Mundiri, Logika (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 1
[7]
Ibid,
[9]
Drs. Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 14
[10]
Drs. Surajiyo, dkk., Dasar – Dasar Logika (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006), hlm. 11
[13]
Drs. H. Masdi,
M.Ag, Daros Logika (Kudus: STAIN PRESS, 2009), hlm. 4
[19] W.
Poespoprodjo, Logika Scientifika, CV Pustaka Grafika: Bandung, 1999, hal.
41
[20] Ibid,
hal. 41-42
[21] Op. Cit,
Masdi, hal. 10
[22] Op. Cit,
W. Poespoprodjo, hal. 42
[23] Op. Cit,
Masdi, hal. 10
[24] Op. Cit,
W. Poespoprodjo, hal. 43
[25] Ibid,
hal. 43-44
[26] Ibid,
hal. 44
[28] Ibid,
hal. 44-51
[29] Op. Cit,
Masdi, hal. 11-12
[30] Ibid,
hal. 12
[33] Ibid,
hal. 12-13
[34] Ibid,
hal. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar