Tarekat
Tanpa Tarekat
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. Fathul Mufid,
M.S.I
Disusun oleh :
1. Muhammad
Syarifuddin (1410110530)
2. Muhammad
Muhaimin (1410110521)
3. Muhammad
Haidarullah (1410110559)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Seorang
psikolog terkemuka abad ke-20, William James dalam bukunya yang terkenal, The
Varieties of Religious Experience, menyatakan bahwa sebagai makhluk sosial,
manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan Kawan
Yang Agung (The Great Socius). Tentu Kawan Agung yang dimaksud itu
adalah Tuhan. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa selama manusia belum berkawan
dengan Kawan Yang Agung itu, maka selama itu pula ia akan merasakan adanya
kekosongan dalam hatinya. Ia hidup sepi dalam keramaian. Dengan kata lain,
boleh jadi temannya banyak dan pergaulannya luas, tetapi sebenarnya ia merasa
sepi.[1]
Manusia
memiliki dua rumah, satu rumah jasadnya, yaitu dunia rendah ini, yang lain
rumah rohnya, yaitu alam yang tinggi. Tetapi karena hakikat manusia terletak
pada rohnya, maka manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah
tempat roh atau jiwa manusia yang sesungguhnya. Perasaan terasing inilah yang
kemudian memicu sebuah “pencarian mistik” (mistycal quest) dari seorang
manusia. Dengan kata lain, manusia butuh spiritualisme.[2]
Selanjutnya, muncul
berbagai krisis dalam kehidupan sebagai akibat samping dari kemajuan
teknologi-industri-modernisasi. Akibatnya “wabah kegelisahan” seakan-akan
sedang melanda masyarakat modern. Problem-problem yang tengah dihadapi
masyarakat modern itu tidak terlepas dari dampak negatif ilmu pengetahuan dan
teknologi minus Tuhan, yang menyebabkan rasa keterasingan manusia modern
yang berimbas pada kegersangan jiwa.[3] Untuk
mengatasi masalah kegersangan hati tersebut, tentunya dibutuhkan sebuah jalan
keluar, berupa amalan-amalan spiritual yang dapat dilaksanakan meskipun tanpa
masuk ke dalam aliran tarekat tertentu, atau dikenal dengan tarekat tanpa
tarekat. Dalam makalah ini, kami sedikit memaparkan tokoh-tokoh tarekat tanpa
tarekat serta amalan-amalannya yang tentunya sangat bermanfaat untuk mengatasi
kegersangan spiritual yang dirasakan manusia modern.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapa
tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia ?
2.
Bagaimana
amalan-amalan yang diajarkan dan dilakukan oleh para tokoh-tokoh tersebut ?
C. Tujuan
1. Mengetahui siapa saja di antara tokoh-tokoh yang mengajarkan atau
menggiatkan amalan tertentu atau dikenal dengan tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana amalan-amalan yang diajarkan dan dilakukan oleh
tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tokoh-tokoh Tarekat Tanpa Tarekat di Indonesia
A. Abdullah Gymnastiar
KH. Abdullah
Gymnastiar, yang lebih akrab dipanggil Aa Gym, dilahirkan di Bandung, 29 Januari
1962 dengan nama Yan Gymnastiar. Nama Abdullah di depan namanya itu ia peroleh
ketika menunaikan ibadah haji. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara,
pasangan Letkol H. Engkus Kuswara dan Hj. Yeti Rohayati. Aa Gym menikah dengan
Ninih Muthmainnah Muhsin, cucu KH. Mohammad Tasdiqin, Pengasuh Pondok Pesantren
Kalangsari, Cijulang, Ciamis, Jawa Barat. Hingga 2004, Aa Gym telah dikaruniai
tujuh anak. Dalam dunia tasawuf tanpa tarikat, Aa Gym dikenal dengan konsep
Manajemen Qolbu (MQ).[4] Melalui
jargon “Manajemen Qolbu” ia mampu mempesona jama’ah, pendengar, dan pemirsanya.
Dakwahnya sejuk dan lembut, sehingga membawa ketenangan bagi siapa saja yang
mendengarnya.[5]
Konsep MQ dikembangkan pertama kali pada tahun 1990, untuk kalangan intern
Pesantren Darut Tauhid (DT). Setelah terbukti ada manfaatnya, maka sejak tahun
1998 mulai dikembangkan ke beberapa lembaga di luar pesantren.[6]
Dalam perkembangannya, konsep MQ inilah yang kemudian membuat nama
Aa Gym dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara.
Dalam beberapa buku yang ditulis oleh Aa Gym konsep Manajemen Qolbu sudah
dijelaskan secara detail. Istilah MQ berasal dari kata “manajemen” secara sederhana
berarti pengelolaan. Artinya, sekecil apapun potensi yang ada apabila dikelola
dengan tepat, akan dapat terbaca, tertata, dan berkembang secara optimal.
Adapun “Qolbu” adalah hati nurani atau lubuk hati paling dalam, yang merupakan
sarana terpenting yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.[7]
Menurutnya, hati merupakan kunci utama untuk mencetak
pribadi-pribadi cemerlang. Hati bersih akan membuat pikiran semakin jernih dan
itu akan efektif dalam berpikir, memecahkan masalah ataupun kreativitas. Aa Gym
menegaskan bahwa qalbu berfungsi sebagai filter aatau penyaring . Fungsi ini
meniscayakan qalbu harus selalu bersih dan suci. Dengan kebersihan hati, otak
akan lebih cerdas, ide lebih brilian, gagasan lebih cemerlang. Orang yang
bersih hatinya mempunyai kemampuan berpikir lebih cepat daripada orang lain.
Namun orang yang kotor hatinya, cuma akan berjalan di tempat. Dia akan sibuk
memikirkan kekurangan orang lain. Hatinya akan menjadi sempit.[8]
Dengan demikian,
melalui konsep “Manajemen Qolbu” seseorang bisa diarahkan agar menjadi peka
dalam mengelola sekecil apapun potensi yang ada dalam dirinya menjadi sesuatu
yang bernilai kemuliaan serta memberi manfaat besar, baik bagi dirinya sendiri
maupun makhluk Allah lainnya. Lebih dari itu, dapat memberi kemaslahatan di
dunia juga di akhirat kelak.[9]
Dalam dimensi sufistik, pandangan Aa Gym yakni konsep MQ dan
penerapannya berkaitan dengan takwa, tawakkal, ikhlas, raja’ dan khauf, taubat,
ridha, zuhud, wara’, qana’ah, syukur, sabar, istiqamah, mahabbatullah, jalwah
(terlibat dalam masyarakat), dan takdir.[10]
2. Abu Sangkan
Abu Sangkan lahir pada 8 Mei 1965 di desa Alasbuluh, Wongsorejo,
Banyuwangi, Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai salah seorang yang mengajarkan
pelatihan shalat khusyu’. Dalam bukunya, Abu Sangkan mengatakan bahwa shalat
merupakan salah satu ibadah dalam melakukan hubungan langsung antara hamba
dengan Tuhannya. Ketika shalat, rohani bergerak menuju zat Yang Maha Mutlak,
daya pikirnya terlepas dari keadaan-keadaan riil, dan panca indra melepaskan
diri dari segala macam peristiwa di sekitarnya. Allah SWT berfirman dalam surat
al-An’am ayat 79 :
ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& ÆÏB úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÐÒÈ
“Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am : 79).
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita shalat, bahwa
kita menyadari sedang berhadapan dengan Allah Yang Maha Suci. Kemudian
dilanjutkan dengan penegasan bahwa “shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
semata-mata hanya untuk Allah semata”. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah
haditsnya, bahwa “shalat merupakan mi’rajnya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya
jiwa (mi’raj) meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia
menuju ke hadirat Allah Yang Maha Tinggi. Misteri ini hampir tak terpecahkan,
karena kebanyakan manusia berkeyakinan bahwa tidak mungkin berjumpa dengan
Allah di dunia. Akibatnya, kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat
shalat atau bahkan hanya menganggap shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus
dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.[11]
Banyak peshalat yang telah
mengerahkan segenap daya untuk mencapai khusyu’, akan tetapi tetap saja
pikirannya menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari, mereka sudah keluar
dari “kesadaran shalat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang
shalat tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu
sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah. Seperti firman Allah
dalam QS. al-Ma’uun ayat 4-6. Tidak bisa dipungkiri bahwa melaksanakan shalat
dengan baik dan benar memang berat dan sulit. Kita sudah berupaya melakukannya
dengan serius, kita sudah menepis khayalan dalam pikiran agar bisa
berkonsentrasi menemui Allah, namun akhirnya kita merasa tak berdaya untuk
bangkit dan berkomunikasi hanya dengan Allah. Jadilah kita seperti sekarang
ini, membungkuk, bersujud, dan tidak merasa nyaman. Yang lebih tragis lagi
ingin cepat selesai dalam shalat.[12]
Rasulullah Saw bersabda : “Akan datang satu masa atas manusia,
dimana mereka shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. Masalah ini sudah
berjangkit lama dalam umat Islam. Padahal, shalat merupakan tiang agama, dan
merupakan ajang pertemuan kita dengan Allah. Allah memuji orang-orang mukmin
yang khusyu’ dalam shalatnya, seperti difirmankan dalam surat al-Mukminun ayat
1-2.[13]
Adapun arti khusyu’ ialah lunak dan tawadhu’ hatinya, merasakan
ketenangan, kerinduan, keintiman, dan kecintaan kepada Allah. Khusyu’ adalah
ilmu yang paling bermanfaat dan ilmu yang paling awal dicabut. Sedangkan orang
yang khusyu’ adalah orang yang mempunyai kesadaran rohani (dhon) bahwa dirinya
sedang bertemu dengan Tuhannya dan dengan kesadaran itulah mereka kembali
(berserah diri) kepadaNya.[14]
Abu Sangkan menjelaskan cara
memasuki shalat sebagai berikut :
1.
Heningkan
pikiran anda agar rileks, usahakan tubuh anda tidak tegang. Tak perlu
mengkonsentrasikan pikiran sampai mengerutkan kening, karena anda akan
merasakan pusing dan capek. Jika terjadi seperti itu kendorkan tubuh anda
sampai terasa nyaman.
2.
Biarkan
tubuh meluruh agak dilemaskan, atau bersikap serileks mungkin.
3.
Kemudian
rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungkan rasa itu kepada Allah
(biasanya kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang, yang
menyebabkan pikiran tidak liar ke sana kemari)
4.
Bangkitkan
kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa.
Biarkan roh anda mengalir menyerahkan diri, “hidup dan mati hanya untuk Allah
semata”.
5.
Berniatlah
dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan
kuat menarik rohani meluncur ke hadiratNya, pada saat itulah ucapkan takbir.
Jagalah getaran rasa tadi dengan meluruskan niat.
6.
Rasakan
keadaan berserah yang masih menyelimuti getaran jiwa anda, dan mulailah
perlahan-lahan membaca setiap ayat dengan tartil. Kemudian lakukanlah rukuk,
biarkan badan membungkuk dan rasakan.
7.
Setelah
rukuk, kemudian berdiri kembali perlahan-lahan sambil mengucapkan bacaan
i’tidal dan setelahnya. Rasakan sampai rohani mengatakannya dengan sebenarnya,
dan jangan sedikitpun rasa tersisa dalam diri untuk dipuji.
8.
Kemudian
perlahan dengan perasaan sambil tetap berdzikir Allahu Akbar, bersujudlah
serendah-rendahnya. Rasakan sujud agak lama. Biasanya rohani terasa sekali
ketika memuji Allah dan akan berpengaruh kepada fisik, menjadi lebih tunduk,
ringan dan harmonis.
9.
Selanjutnya
lakukan shalat seperti di atas dengan pelan-pelan tuma’ninah setiap gerakan.
Sempurnakan kesadaran shalat anda sampai salam.[15]
3. Ary Ginanjar Agustian
Ary Ginanjar
Agustian lahir di Bandung, Jawa Barat pada 24 Maret 1965. Ia adalah seorang yang
dikenal dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient).
Ary Ginanjar
mengatakan bahwa ketika orientasi hidup kita hanya pada dunia, maka yang ada
hanya lelah dan ketidakbahagiaan. Tetapi, ketika orientasi itu kita pindahkan,
yakni semua pekerjaan, semua usaha berorientasi untuk mencari ridha Allah,
untuk berjalan di jalan Allah, maka kita punya kebahagiaan yang luar biasa, dan
rahmat serta berkah yang diperoleh juga lain. Sebagai seorang pengusaha yang
tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Jaya, jalan yang ditempuh Ary
Ginanjar tidak selamanya mulus. Ia pun pernah mengalami kegagalan dan
tekanan-tekanan hidup. Justru ujian-ujian yang kita alami sesungguhnya titik
balik kita untuk berhijrah. Konsep ESQ disarikan dari pengalaman hidup selama 10
tahun (1990-an-2000-an) khususnya dalam bidang bisnis, serta penggalian dari
berbagai buku kontemporer yang berbau psikologi, ekonomi, manajemen, budaya dan
agama. ESQ menguak rahasia tentang adanya korelasi yang sangat kuat antara
dunia usaha, profesionalisme, dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan
intisari Islam, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman yang enam adalah
prinsip-prinsip berpikir yang sangat cemerlang dari Allah, sedangkan Rukun
Islam adalah langkah-langkah gerak manusia menuju kesuksesan dan keberhasilan
dalam mencapai cita-cita. Salah satu hal yang sangat menonjol pada Ary Ginanjar
adalah kegigihannya dalam belajar. Menurut koleganya, semangat kerja belajarnya
sungguh luar biasa.Ia adalah tipikal pengusaha muslim yang pemikirannya sangat
kritis. Ia bukanlah jebolan pesantren atau seorang psikolog, namun kedua bidang
itu ia pelajari dengan mandiri didukung dengan semangat belajarnya yang amat
tinggi serta sifat tawadhu’-nya terhadap ilmu pengetahuan. Pengalaman
hidup dan interaksinya dengan berbagai ulama, antara lain KH. Habib Adnan,
mengantarkan ia pada kesimpulan bahwa agama tidak semata-mata komponen ritus,
namun di setiap jengkal persoalan umat-ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan
juga dituntut keberangkatan agama. Bahwa Islam bukan hanya peraturan dan
hukum-hukum melainkan juga ilmu, cinta, kasih dan yang paling mengesankan bagi
dia bahwa kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), ternyata
mengikuti konsep Rukun Iman dan Rukun Islam, yang menjadi dasar agama Islam. Berkaitan
dengan remaja, Ary Ginanjar berpendapat bahwa remaja harus punya mind set
atau cara berpikir yang benar. Pola pikir yang benar itu adalah tuntunan dari
Allah. Tuntunan dari Allah itu bagaimana kita punya nilai yang ada di hati
kita, pikiran kita punya nilai keislaman (kebaikan). Jiwa kita, mental kita
harus dibentuk dengan tuntunan Allah, yakni enam rukun iman. Sedangkan
langkah-langkah kita dituntun oleh lima rukun Islam. Sederhananya, jangan hanya
mengandalkan kecerdasan intelektual tetapi juga harus membentuk kecerdasan
emosi dan spiritualitas. Dan untuk mencapai itu tentu dibutuhkan sebuah frame
yang bersumber pada Ihsan, enam rukun Iman, dan lima rukun Islam, yang
disebut dengan metode 165. Menurutnya, manusia harus memiliki konsep duniawi
atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ), dan penting pula
penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). Lewat
perenungan yang mendalam, Ary Ginanjar melakukan sebuah penggabungan dari
ketiganya dalam konsep ESQ yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub
keakhiratan dan keduniaan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
memilih reaksi atas segala sesuatu yang terjadi pada diri kita. Kita menjadi
penanggung jawab utama atas sikap kita, bukan lingkungan kita. Lingkungan bisa
berubah dalam hitungan detik, tanpa bisa diduga. Namun prinsip adalah abadi.
Prinsip tidak berubah. Prinsip dasar suatu kesadaran fitrah yang berpegang
kepada Pencipta yang abadi, yakni prinsip yang Esa, Laa Ilaaha Illallah. Kekuatan
prinsip inilah yang menjadi dasar penjernihan emosi kita. Kekuatan prinsip
selanjutnya akan menentukan tindakan apa yang akan diambil.[16]
Dilihat dari
perspektif sufistik, unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam
tasawuf. Misalnya, muhasabah. Muhasabah berarti melakukan
perhitungan, yaitu perhitungan pada diri sendiri mengenai perbuatan baik dan
buruk yang pernah dilakukan.[17]
Demikian pula dengan kecerdasan spiritual juga terdapat dalam tasawuf.
Misalnya, kesadaran yang tinggi dan sikap responsif terhadap diri yang
diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.
Jadi, seorang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia menjadi pribadi
yang cerdas secara emosional dan spiritual.[18]
4.Muhammad Arifin Ilham
Muhammad Arifin
Ilham lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 8 Juni 1969. Anak dari
pasangan H. Ilham Marzuki dan Hj. Nurhayati ini sejak kecil sudah menjadi “anak
masjid”. Maklum, ayahnya memang seorang aktivis Masjid Sabilil Muhtadin dan
Masjid al-Jihad, sehingga menular kepada anak laki-laki satu-satunya dari lima
bersaudara itu. Di masjid ini ada seorang ustadz yang menjadi teladan Arifin
Ilham. Namanya KH. Rifa’i Hamdi. Ustadz ini dikenal mempunyai tutur kata dan
perilaku yang lembut. Rupanya kelembutan sang kyai inilah yang memberi kesan
mendalam bagi Arifin Ilham kecil, hingga
kelak ingin menjadi seorang penceramah seperti Ustadz Rifa’i, atau
setidak-tidaknya seorang guru.[19]
Selanjutnya Arifin Ilham dikenal dengan majelis dzikirnya, yaitu
majelis az-Zikra. Arifin selalu mengibaratkan dzikir seperti batu yang dipukul
terus-menerus. Akhirnya, dari batu yang pecah itu memancar air yang jernih.
Begitu pula hati manusia, kalau banyak dosa, hatinya akan keras bagai batu.
Dengan dzikir yang terus-menerus, kekerasan hati itu akan luruh berganti dengan
kemuliaan akhlak dan ketakwaan. Pembagian dzikir Arifin Ilham ada empat, yaitu
:
1.
Dzikir
Qolbiyah
Dzikir qolbiyah (dzikir hati), yakni
merasakan kehadiran Allah. Di sini, menurut Arifin Ilham, seseorang yang akan
melakukan suatu tindakan atau perbuatan, selalu tertanam dalam hatinya bahwa
Allah senantiasa bersamanya. Sadar bahwa Allah selalu melihatnya. Dzikir
qalbiyah ini lazim disebut ihsan. Rasulullah Saw bersabda :
“Adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya,
sekalipun engkau tidak dapat melihatNya tapi sesunggguhnya Dia melihatmu”
(Muttafaqun’alaih).
2.
Dzikir
Aqliyah
Dzikir aqliyah, istilah ini dirujuk
oleh Arifin Ilham dari firman Allah QS. Ali Imran : 190-191. Arifin Ilham
menjelaskan dzikir aqliyah yakni kemampuan menangkap bahasa Allah di balik
setiap gerak alam semesta ini. Menyadari bahwa semua gerak alam, Allah-lah yang
menggerakkannya. Alam semesta ini adalah sekolah dan tempat belajar kita.
Segala ciptaan-Nya dengan segala proses kejadiannya adalah proses pembelajaran
kita dan merupakan pena Allah yang mengandung qalam-Nya yang wajib kita baca.
Bahkan perintah pertama yang sangat ditekankan al-Qur’an adalah iqra’
(bacalah). Yang wajib kita baca itu ada dua bentuk : alam semesta (ayat kauniyah),
termasuk di dalamnya diri kita sendiri, dan al-Qur’an (ayat qauliyah).
Dari sini dapat dipahami, bahwa Allah yang tidak tampak itu
meninggalkan jejak-jejak dan isyarat-isyarat pada ciptaan-Nya yang sangat
mengagumkan itu, sehingga manusia yang mempunyai akal bisa merenungkan tentang
keberadaan-Nya.
3.
Dzikir
Lisan
Menurut Arifin Ilham, dzikir lisan
adalah buah dari dzikir hati dan akal. Setelah melakukan dzikir hati dan akal,
barulah lisan berfungsi untuk senantiasa berdzikir, memahasucikan, dan
mengagungkan Allah Swt. Selanjutnya lisan berdoa dan berkata-kata dengan benar,
jujur, baik, dan bermanfaat. Dengan kata lain, dzikir lisan ini merupakan
ekspresi riil dari dzikir qalbiyah dan dzikir aqliyah, jadi apapun kata-kata
yang keluar dari mulut pada hakikatnya gambaran suasana kedua dzikir
sebelumnya. Menghadapi tidak sinkronnya ketiga dzikir ini dalam realitas,
Arifin Ilham mengenalkan dua terminologi sufi, yakni muraqabah dan
muhasabah. Dalam pandangan Arifin Ilham, muraqabah itu berperan
sebagai metode atau jalan yang akan mengantarkan seseorang pada fase muhasabah.
4.
Dzikir
Amaliyah
Menurut Arifin Ilham, puncak atau
tujuan akhir dari dzikir adalah dzikir amaliyah. Dzikir ini secara singkat
termanifestasikan dalam kata taqwa, yang sekaligus menjadi akhlak yang
mulia. Sesuai dengan janji Allah, buah dari ketakwaan itu, seseorang akan
memperoleh tiga hal penting dari Allah. Pertama, ia akan diberi furqon
(kemampuan untuk membedakan) antara yang haq dan bathil, antara
yang benar dan yang salah serta antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Anfal: 29. Kedua, Allah akan memberikan
limpahan cahaya (nur) dan ampunan atas dosa-dosa yang telah lampau, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. al-Hadid: 28. Dan ketiga, Allah akan memberikan
petunjuk jalan yang benar dan terbaik sebagai jalan keluar dari berbagai
tantangan dan masalah kehidupan. Dengan demikian dapat disimpulkan di sini,
bahwa dzikir yang dikemukakan oleh Arifin Ilham berpuncak pada takwa, dan takwa
itu akan mengarahkan manusia untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya (the
real meaning of life).[20]
Di bagian lain, tanpa ragu Arifin
Ilham berpendirian bahwa dzikir pada akhirnya akan membentuk pribadi-pribadi
muslim yang “khas” (special) yang berbeda dengan yang lainnya. Di
antaranya, yaitu bicaranya dakwah, diamnya dzikir, nafasnya tasbih, matanya
rahmat, pikirannya husnudhon, hatinya doa, tangannya sedekah, kakinya jihad,
kekuatannya silaturrahmi, kerinduannya syari’at Islam, dan kesibukannya asyik
memperbaiki diri.[21]
5. Yusuf Mansur
Yusuf Mansur lahir
di Jakarta pada 19 Desember 1976. Ia lahir dari keluarga Betawi berkecukupan
pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrifi’ah. Yusuf Mansur terkenal dengan
program dakwah yang inovatif sekali. Ia bukan hanya berhasil menjadi
penceramah, namun melahirkan berbagai kegiatan dan komunitas, mulai dari
Majelis Dhuha Nasional (MDN), Rumah Tahfidz sebagai sentra penghafal al-Qur’an,
lembaga zakat, PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an), dan lainnya. Ia
sadar bahwa ceramah tak cukup baginya, ia harus berbuat lebih. Selanjutnya, Yusuf
Mansur dikenal dengan julukan “Ustadz Sedekah”. Ilmu sedekah merupakan bekal
yang selalu menghiasi kehidupan Ustadz Yusuf Mansur. Ia bukan sekadar penganjur
sedekah. Lebih dari itu, ia merupakan pelaku sedekah sekaligus saksi
kedahsyatan hikmah sedekah. Yusuf Mansur berhasil merumuskan konsep sedekah
dalam al-Qur’an dan Hadits menjadi topik pembahasan aplikatif yang dibumbui
dengan kisah testimoni atau kesaksian dari para pelaku sedekah. Alhasil, banyak
jama’ah yang mau bersedekah dengan sukarela. Menurut Yusuf Mansur, hukum
sedekah itu 5+1, yakni tahu, yakin, amalkan, buktikan, rasakan, dan ceritakan.
Ia sering mengutip surat Ali Imran ayat 92 yang artinya, “Kamu belum berbuat
kebaikan hingga kamu menafkahkan apa yang paling kamu cintai”.[22] Dalam
saluran agama, tak diragukan lagi bahwa sedekah memang memiliki
keutamaan-keutamaan yang sangat dahsyat dan ampuh. Memperhatikan
riwayat-riwayat di dalam Islam, maka kita akan banyak menemukan riwayat-riwayat
yang mengetengahkan tentang keutamaan atau keajaiban sedekah (shodaqoh). Di
antara keutamaan atau keajaiban dari sedekah yakni :
a.
Sedekah
bisa menolak bencana atau bala’
b.
Sedekah
bisa menyembuhkan penyakit
c.
Sedekah
bisa memanjangkan umur
d.
Sedekah
bisa memperluas rezeki[23]
Sedekah
adalah pemberian, ini prinsip berpikir yang senantiasa harus kita perhatikan.
Ketika kita bersedekah pada seseorang, maka terjadi hubungan sebagai berikut :
§ kita sebagai orang yang bersedekah
§ ‘sesuatu’ yang disedekahkan
§ orang yang menerima sedekah kita
Nilai sedekah terbagi menjadi dua, yaitu nilai spiritual (vertikal)
dan nilai sosial (horisontal). Dalam hal bersedekah, terdapat setidaknya 7 seni
yang keliru yang sering dilakukan :
a. menyakiti
b. pamer, dalam khasanah Arab terbagi dua, yakni : riya’ dan
sum’ah. Riya’ adalah pamer dalam sikap dan perbuatan. Sedangkan sum’ah
adalah pamer dalam wujud perkataan.
c. menggerutu
d. kebiasaan, yang dimaksud di sini bukan dalam hal kita yang sudah
terbiasa dengan cara yang benar, niat yang benar, dan tujuan yang benar. Tetapi
yang harus kita hindari adalah terkikisnya semangat ini karena hanya menjadi kebiasaan
semata, bukan atas dasar semangat beramal yang benar dan ikhlas.
e. yang lebih, bukan yang baik
f. terpaksa
f. asal memberi[24]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Di antara tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia adalah
:
1.
Abdullah
Gymnastiar (Aa Gym)
2.
Abu
Sangkan
3.
Ary
Ginanjar Agustian
4.
Muhammad
Arifin Ilham
5.
Yusuf
Mansur
b. Pokok-pokok amalan yang diajarkan adalah :
1.
Abdullah
Gymnastiar dengan konsep Manajemen Qolbu (MQ). Menurutnya, hati merupakan kunci
utama untuk mencetak pribadi-pribadi cemerlang. Hati bersih akan membuat
pikiran semakin jernih dan itu akan efektif dalam berpikir, memecahkan masalah
ataupun kreativitas.
2.
Abu
Sangkan dengan metode pelatihan shalat khusyu’. Bahwa jika shalat seseorang itu
khusyu’ maka akan mempunyai dampak yang sangat positif bagi kehidupannya.
3.
Ary
Ginanjar dengan konsep (Emotional Spiritual Quotient) atau ESQ. Ia melakukan
sebuah penggabungan dari ketiganya dalam konsep ESQ yang dapat memelihara
keseimbangan antara kutub keakhiratan dan keduniaan.
4.
Muhammad
Arifin Ilham dengan metode dzikirnya. Beliau membagi dzikir menjadi empat, yaitu
dzikir qalbiyah, aqliyah, lisan dan amaliyah.
5.
Yusuf
Mansur dengan mengetengahkan perihal keajaiban dan keutamaan sedekah atau power
of giving (sedekah).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kumayi, Sulaiman, Menuju Hidup Sukses, Semarang : Pustaka
Nuun, 2005
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Bandung : Mizan, 2005
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta :
Erlangga, 2006
Muhyidin, Muhammad, Keajaiban Shodaqoh, Jogjakarta : DIVA
Press, 2007
Sangkan, Abu, Berguru Kepada Allah, Jakarta : Patrap Thursina Sejati, 2006
Tebba,
Sudirman, Tasawuf Positif, Jakarta : Kencana, 2003
Yosi Herfanda, Ahmadun, Irwan Kelana, Inspiring Stories,
Solo : Tiga Serangkai
[1] Haidar
Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung : Mizan, 2005, hlm. 30
[2] Mulyadi
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 3
[3] Sulaiman
Al-Kumayi, Menuju Hidup Sukses, Semarang : Pustaka Nuun, 2005, hlm. 3
[4] Ibid.,
hlm. 29
[5] Ahmadun
Yosi Herfanda, Irwan Kelana, Inspiring Stories, Solo : Tiga Serangkai, hlm. 4
[6] Sulaiman
al-Kumayi, Op.cit., hlm. 39
[7] Ibid.,
hlm. 39-40
[8] Ibid.,
hlm. 41
[9] Ibid.,
hlm. 43
[10] Ibid.,
hlm. 68
[11] Abu
Sangkan, Berguru Kepada Allah,
Jakarta : Patrap Thursina Sejati, 2006, hlm. 253-256
[12] Ibid.,
hlm. 257-259
[13] Ibid.,
hlm. 259-261
[14] Ibid.,
hlm. 262-265
[15] Ibid.,
hlm. 271-273
[16] Ahmadun
Yosi Herfanda, Op.cit., hlm.
[17]
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 13
[18] Ibid.,
hlm. 23-27
[19]
Sulaiman al-Kumayi, Op.cit., hlm. 43-44
[20] Ibid.,
hlm. 152-165
[21] Ibid.,
hlm. 178
[22] Ahmadun
Yosi Herfanda, Irwan Kelana, Op.cit., hlm. 303
[23]
Muhammad Muhyidin, Keajaiban Shodaqoh, Jogjakarta : DIVA Press, 2007,
hlm. 50
[24]
Ibid., hlm. 83