Rabu, 10 Juni 2015

MakalahTasawuf: Tarekat Tanpa Tarekat



Tarekat Tanpa Tarekat

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. Fathul Mufid, M.S.I
                                                     
Disusun oleh :

1.   Muhammad Syarifuddin       (1410110530)
2.   Muhammad Muhaimin          (1410110521)
3.   Muhammad Haidarullah       (1410110559)



 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
 TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Seorang psikolog terkemuka abad ke-20, William James dalam bukunya yang terkenal, The Varieties of Religious Experience, menyatakan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung (The Great Socius). Tentu Kawan Agung yang dimaksud itu adalah Tuhan. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa selama manusia belum berkawan dengan Kawan Yang Agung itu, maka selama itu pula ia akan merasakan adanya kekosongan dalam hatinya. Ia hidup sepi dalam keramaian. Dengan kata lain, boleh jadi temannya banyak dan pergaulannya luas, tetapi sebenarnya ia merasa sepi.[1]
Manusia memiliki dua rumah, satu rumah jasadnya, yaitu dunia rendah ini, yang lain rumah rohnya, yaitu alam yang tinggi. Tetapi karena hakikat manusia terletak pada rohnya, maka manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah tempat roh atau jiwa manusia yang sesungguhnya. Perasaan terasing inilah yang kemudian memicu sebuah “pencarian mistik” (mistycal quest) dari seorang manusia. Dengan kata lain, manusia butuh spiritualisme.[2]
Selanjutnya, muncul berbagai krisis dalam kehidupan sebagai akibat samping dari kemajuan teknologi-industri-modernisasi. Akibatnya “wabah kegelisahan” seakan-akan sedang melanda masyarakat modern. Problem-problem yang tengah dihadapi masyarakat modern itu tidak terlepas dari dampak negatif ilmu pengetahuan dan teknologi minus Tuhan, yang menyebabkan rasa keterasingan manusia modern yang berimbas pada kegersangan jiwa.[3] Untuk mengatasi masalah kegersangan hati tersebut, tentunya dibutuhkan sebuah jalan keluar, berupa amalan-amalan spiritual yang dapat dilaksanakan meskipun tanpa masuk ke dalam aliran tarekat tertentu, atau dikenal dengan tarekat tanpa tarekat. Dalam makalah ini, kami sedikit memaparkan tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat serta amalan-amalannya yang tentunya sangat bermanfaat untuk mengatasi kegersangan spiritual yang dirasakan manusia modern.
B. Rumusan Masalah                                                                              
1.      Siapa tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia ?
2.      Bagaimana amalan-amalan yang diajarkan dan dilakukan oleh para tokoh-tokoh tersebut ?
C. Tujuan
1. Mengetahui siapa saja di antara tokoh-tokoh yang mengajarkan atau menggiatkan amalan tertentu atau dikenal dengan tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana amalan-amalan yang diajarkan dan dilakukan oleh tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Tokoh-tokoh Tarekat Tanpa Tarekat di Indonesia
A. Abdullah Gymnastiar
            KH. Abdullah Gymnastiar, yang lebih akrab dipanggil Aa Gym, dilahirkan di Bandung, 29 Januari 1962 dengan nama Yan Gymnastiar. Nama Abdullah di depan namanya itu ia peroleh ketika menunaikan ibadah haji. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Letkol H. Engkus Kuswara dan Hj. Yeti Rohayati. Aa Gym menikah dengan Ninih Muthmainnah Muhsin, cucu KH. Mohammad Tasdiqin, Pengasuh Pondok Pesantren Kalangsari, Cijulang, Ciamis, Jawa Barat. Hingga 2004, Aa Gym telah dikaruniai tujuh anak. Dalam dunia tasawuf tanpa tarikat, Aa Gym dikenal dengan konsep Manajemen Qolbu (MQ).[4] Melalui jargon “Manajemen Qolbu” ia mampu mempesona jama’ah, pendengar, dan pemirsanya. Dakwahnya sejuk dan lembut, sehingga membawa ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya.[5] Konsep MQ dikembangkan pertama kali pada tahun 1990, untuk kalangan intern Pesantren Darut Tauhid (DT). Setelah terbukti ada manfaatnya, maka sejak tahun 1998 mulai dikembangkan ke beberapa lembaga di luar pesantren.[6]
Dalam perkembangannya, konsep MQ inilah yang kemudian membuat nama Aa Gym dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Dalam beberapa buku yang ditulis oleh Aa Gym konsep Manajemen Qolbu sudah dijelaskan secara detail. Istilah MQ berasal dari kata “manajemen” secara sederhana berarti pengelolaan. Artinya, sekecil apapun potensi yang ada apabila dikelola dengan tepat, akan dapat terbaca, tertata, dan berkembang secara optimal. Adapun “Qolbu” adalah hati nurani atau lubuk hati paling dalam, yang merupakan sarana terpenting yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.[7]
Menurutnya, hati merupakan kunci utama untuk mencetak pribadi-pribadi cemerlang. Hati bersih akan membuat pikiran semakin jernih dan itu akan efektif dalam berpikir, memecahkan masalah ataupun kreativitas. Aa Gym menegaskan bahwa qalbu berfungsi sebagai filter aatau penyaring . Fungsi ini meniscayakan qalbu harus selalu bersih dan suci. Dengan kebersihan hati, otak akan lebih cerdas, ide lebih brilian, gagasan lebih cemerlang. Orang yang bersih hatinya mempunyai kemampuan berpikir lebih cepat daripada orang lain. Namun orang yang kotor hatinya, cuma akan berjalan di tempat. Dia akan sibuk memikirkan kekurangan orang lain. Hatinya akan menjadi sempit.[8]
            Dengan demikian, melalui konsep “Manajemen Qolbu” seseorang bisa diarahkan agar menjadi peka dalam mengelola sekecil apapun potensi yang ada dalam dirinya menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan serta memberi manfaat besar, baik bagi dirinya sendiri maupun makhluk Allah lainnya. Lebih dari itu, dapat memberi kemaslahatan di dunia juga di akhirat kelak.[9]
Dalam dimensi sufistik, pandangan Aa Gym yakni konsep MQ dan penerapannya berkaitan dengan takwa, tawakkal, ikhlas, raja’ dan khauf, taubat, ridha, zuhud, wara’, qana’ah, syukur, sabar, istiqamah, mahabbatullah, jalwah (terlibat dalam masyarakat), dan takdir.[10]
2. Abu Sangkan
Abu Sangkan lahir pada 8 Mei 1965 di desa Alasbuluh, Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai salah seorang yang mengajarkan pelatihan shalat khusyu’. Dalam bukunya, Abu Sangkan mengatakan bahwa shalat merupakan salah satu ibadah dalam melakukan hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya. Ketika shalat, rohani bergerak menuju zat Yang Maha Mutlak, daya pikirnya terlepas dari keadaan-keadaan riil, dan panca indra melepaskan diri dari segala macam peristiwa di sekitarnya. Allah SWT berfirman dalam surat al-An’am ayat 79 :
ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ  
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am : 79).
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita shalat, bahwa kita menyadari sedang berhadapan dengan Allah Yang Maha Suci. Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya, bahwa “shalat merupakan mi’rajnya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa (mi’raj) meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Yang Maha Tinggi. Misteri ini hampir tak terpecahkan, karena kebanyakan manusia berkeyakinan bahwa tidak mungkin berjumpa dengan Allah di dunia. Akibatnya, kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat shalat atau bahkan hanya menganggap shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.[11]
 Banyak peshalat yang telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai khusyu’, akan tetapi tetap saja pikirannya menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari, mereka sudah keluar dari “kesadaran shalat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang shalat tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah. Seperti firman Allah dalam QS. al-Ma’uun ayat 4-6. Tidak bisa dipungkiri bahwa melaksanakan shalat dengan baik dan benar memang berat dan sulit. Kita sudah berupaya melakukannya dengan serius, kita sudah menepis khayalan dalam pikiran agar bisa berkonsentrasi menemui Allah, namun akhirnya kita merasa tak berdaya untuk bangkit dan berkomunikasi hanya dengan Allah. Jadilah kita seperti sekarang ini, membungkuk, bersujud, dan tidak merasa nyaman. Yang lebih tragis lagi ingin cepat selesai dalam shalat.[12]
Rasulullah Saw bersabda : “Akan datang satu masa atas manusia, dimana mereka shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. Masalah ini sudah berjangkit lama dalam umat Islam. Padahal, shalat merupakan tiang agama, dan merupakan ajang pertemuan kita dengan Allah. Allah memuji orang-orang mukmin yang khusyu’ dalam shalatnya, seperti difirmankan dalam surat al-Mukminun ayat 1-2.[13]
Adapun arti khusyu’ ialah lunak dan tawadhu’ hatinya, merasakan ketenangan, kerinduan, keintiman, dan kecintaan kepada Allah. Khusyu’ adalah ilmu yang paling bermanfaat dan ilmu yang paling awal dicabut. Sedangkan orang yang khusyu’ adalah orang yang mempunyai kesadaran rohani (dhon) bahwa dirinya sedang bertemu dengan Tuhannya dan dengan kesadaran itulah mereka kembali (berserah diri) kepadaNya.[14]
 Abu Sangkan menjelaskan cara memasuki shalat sebagai berikut :
1.      Heningkan pikiran anda agar rileks, usahakan tubuh anda tidak tegang. Tak perlu mengkonsentrasikan pikiran sampai mengerutkan kening, karena anda akan merasakan pusing dan capek. Jika terjadi seperti itu kendorkan tubuh anda sampai terasa nyaman.
2.      Biarkan tubuh meluruh agak dilemaskan, atau bersikap serileks mungkin.
3.      Kemudian rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungkan rasa itu kepada Allah (biasanya kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang, yang menyebabkan pikiran tidak liar ke sana kemari)
4.      Bangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa. Biarkan roh anda mengalir menyerahkan diri, “hidup dan mati hanya untuk Allah semata”.
5.      Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan kuat menarik rohani meluncur ke hadiratNya, pada saat itulah ucapkan takbir. Jagalah getaran rasa tadi dengan meluruskan niat.
6.      Rasakan keadaan berserah yang masih menyelimuti getaran jiwa anda, dan mulailah perlahan-lahan membaca setiap ayat dengan tartil. Kemudian lakukanlah rukuk, biarkan badan membungkuk dan rasakan.
7.      Setelah rukuk, kemudian berdiri kembali perlahan-lahan sambil mengucapkan bacaan i’tidal dan setelahnya. Rasakan sampai rohani mengatakannya dengan sebenarnya, dan jangan sedikitpun rasa tersisa dalam diri untuk dipuji.
8.      Kemudian perlahan dengan perasaan sambil tetap berdzikir Allahu Akbar, bersujudlah serendah-rendahnya. Rasakan sujud agak lama. Biasanya rohani terasa sekali ketika memuji Allah dan akan berpengaruh kepada fisik, menjadi lebih tunduk, ringan dan harmonis.
9.      Selanjutnya lakukan shalat seperti di atas dengan pelan-pelan tuma’ninah setiap gerakan. Sempurnakan kesadaran shalat anda sampai salam.[15]

3. Ary Ginanjar Agustian
Ary Ginanjar Agustian lahir di Bandung, Jawa Barat pada 24 Maret 1965. Ia adalah seorang yang dikenal dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient).
Ary Ginanjar mengatakan bahwa ketika orientasi hidup kita hanya pada dunia, maka yang ada hanya lelah dan ketidakbahagiaan. Tetapi, ketika orientasi itu kita pindahkan, yakni semua pekerjaan, semua usaha berorientasi untuk mencari ridha Allah, untuk berjalan di jalan Allah, maka kita punya kebahagiaan yang luar biasa, dan rahmat serta berkah yang diperoleh juga lain. Sebagai seorang pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Jaya, jalan yang ditempuh Ary Ginanjar tidak selamanya mulus. Ia pun pernah mengalami kegagalan dan tekanan-tekanan hidup. Justru ujian-ujian yang kita alami sesungguhnya titik balik kita untuk berhijrah. Konsep ESQ disarikan dari pengalaman hidup selama 10 tahun (1990-an-2000-an) khususnya dalam bidang bisnis, serta penggalian dari berbagai buku kontemporer yang berbau psikologi, ekonomi, manajemen, budaya dan agama. ESQ menguak rahasia tentang adanya korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme, dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari Islam, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman yang enam adalah prinsip-prinsip berpikir yang sangat cemerlang dari Allah, sedangkan Rukun Islam adalah langkah-langkah gerak manusia menuju kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai cita-cita. Salah satu hal yang sangat menonjol pada Ary Ginanjar adalah kegigihannya dalam belajar. Menurut koleganya, semangat kerja belajarnya sungguh luar biasa.Ia adalah tipikal pengusaha muslim yang pemikirannya sangat kritis. Ia bukanlah jebolan pesantren atau seorang psikolog, namun kedua bidang itu ia pelajari dengan mandiri didukung dengan semangat belajarnya yang amat tinggi serta sifat tawadhu’-nya terhadap ilmu pengetahuan. Pengalaman hidup dan interaksinya dengan berbagai ulama, antara lain KH. Habib Adnan, mengantarkan ia pada kesimpulan bahwa agama tidak semata-mata komponen ritus, namun di setiap jengkal persoalan umat-ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan juga dituntut keberangkatan agama. Bahwa Islam bukan hanya peraturan dan hukum-hukum melainkan juga ilmu, cinta, kasih dan yang paling mengesankan bagi dia bahwa kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), ternyata mengikuti konsep Rukun Iman dan Rukun Islam, yang menjadi dasar agama Islam. Berkaitan dengan remaja, Ary Ginanjar berpendapat bahwa remaja harus punya mind set atau cara berpikir yang benar. Pola pikir yang benar itu adalah tuntunan dari Allah. Tuntunan dari Allah itu bagaimana kita punya nilai yang ada di hati kita, pikiran kita punya nilai keislaman (kebaikan). Jiwa kita, mental kita harus dibentuk dengan tuntunan Allah, yakni enam rukun iman. Sedangkan langkah-langkah kita dituntun oleh lima rukun Islam. Sederhananya, jangan hanya mengandalkan kecerdasan intelektual tetapi juga harus membentuk kecerdasan emosi dan spiritualitas. Dan untuk mencapai itu tentu dibutuhkan sebuah frame yang bersumber pada Ihsan, enam rukun Iman, dan lima rukun Islam, yang disebut dengan metode 165. Menurutnya, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ), dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ). Lewat perenungan yang mendalam, Ary Ginanjar melakukan sebuah penggabungan dari ketiganya dalam konsep ESQ yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan keduniaan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih reaksi atas segala sesuatu yang terjadi pada diri kita. Kita menjadi penanggung jawab utama atas sikap kita, bukan lingkungan kita. Lingkungan bisa berubah dalam hitungan detik, tanpa bisa diduga. Namun prinsip adalah abadi. Prinsip tidak berubah. Prinsip dasar suatu kesadaran fitrah yang berpegang kepada Pencipta yang abadi, yakni prinsip yang Esa, Laa Ilaaha Illallah. Kekuatan prinsip inilah yang menjadi dasar penjernihan emosi kita. Kekuatan prinsip selanjutnya akan menentukan tindakan apa yang akan diambil.[16]
Dilihat dari perspektif sufistik, unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam tasawuf. Misalnya, muhasabah. Muhasabah berarti melakukan perhitungan, yaitu perhitungan pada diri sendiri mengenai perbuatan baik dan buruk yang pernah dilakukan.[17] Demikian pula dengan kecerdasan spiritual juga terdapat dalam tasawuf. Misalnya, kesadaran yang tinggi dan sikap responsif terhadap diri yang diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah. Jadi, seorang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia menjadi pribadi yang cerdas secara emosional dan spiritual.[18]


4.Muhammad Arifin Ilham
            Muhammad Arifin Ilham lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 8 Juni 1969. Anak dari pasangan H. Ilham Marzuki dan Hj. Nurhayati ini sejak kecil sudah menjadi “anak masjid”. Maklum, ayahnya memang seorang aktivis Masjid Sabilil Muhtadin dan Masjid al-Jihad, sehingga menular kepada anak laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara itu. Di masjid ini ada seorang ustadz yang menjadi teladan Arifin Ilham. Namanya KH. Rifa’i Hamdi. Ustadz ini dikenal mempunyai tutur kata dan perilaku yang lembut. Rupanya kelembutan sang kyai inilah yang memberi kesan mendalam bagi Arifin Ilham  kecil, hingga kelak ingin menjadi seorang penceramah seperti Ustadz Rifa’i, atau setidak-tidaknya seorang guru.[19]
Selanjutnya Arifin Ilham dikenal dengan majelis dzikirnya, yaitu majelis az-Zikra. Arifin selalu mengibaratkan dzikir seperti batu yang dipukul terus-menerus. Akhirnya, dari batu yang pecah itu memancar air yang jernih. Begitu pula hati manusia, kalau banyak dosa, hatinya akan keras bagai batu. Dengan dzikir yang terus-menerus, kekerasan hati itu akan luruh berganti dengan kemuliaan akhlak dan ketakwaan. Pembagian dzikir Arifin Ilham ada empat, yaitu :
1.      Dzikir Qolbiyah
Dzikir qolbiyah (dzikir hati), yakni merasakan kehadiran Allah. Di sini, menurut Arifin Ilham, seseorang yang akan melakukan suatu tindakan atau perbuatan, selalu tertanam dalam hatinya bahwa Allah senantiasa bersamanya. Sadar bahwa Allah selalu melihatnya. Dzikir qalbiyah ini lazim disebut ihsan. Rasulullah Saw bersabda :
“Adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya tapi sesunggguhnya Dia melihatmu” (Muttafaqun’alaih).
2.      Dzikir Aqliyah
Dzikir aqliyah, istilah ini dirujuk oleh Arifin Ilham dari firman Allah QS. Ali Imran : 190-191. Arifin Ilham menjelaskan dzikir aqliyah yakni kemampuan menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam semesta ini. Menyadari bahwa semua gerak alam, Allah-lah yang menggerakkannya. Alam semesta ini adalah sekolah dan tempat belajar kita. Segala ciptaan-Nya dengan segala proses kejadiannya adalah proses pembelajaran kita dan merupakan pena Allah yang mengandung qalam-Nya yang wajib kita baca. Bahkan perintah pertama yang sangat ditekankan al-Qur’an adalah iqra’ (bacalah). Yang wajib kita baca itu ada dua bentuk : alam semesta (ayat kauniyah), termasuk di dalamnya diri kita sendiri, dan al-Qur’an (ayat qauliyah).
Dari sini dapat dipahami, bahwa Allah yang tidak tampak itu meninggalkan jejak-jejak dan isyarat-isyarat pada ciptaan-Nya yang sangat mengagumkan itu, sehingga manusia yang mempunyai akal bisa merenungkan tentang keberadaan-Nya.
3.      Dzikir Lisan
Menurut Arifin Ilham, dzikir lisan adalah buah dari dzikir hati dan akal. Setelah melakukan dzikir hati dan akal, barulah lisan berfungsi untuk senantiasa berdzikir, memahasucikan, dan mengagungkan Allah Swt. Selanjutnya lisan berdoa dan berkata-kata dengan benar, jujur, baik, dan bermanfaat. Dengan kata lain, dzikir lisan ini merupakan ekspresi riil dari dzikir qalbiyah dan dzikir aqliyah, jadi apapun kata-kata yang keluar dari mulut pada hakikatnya gambaran suasana kedua dzikir sebelumnya. Menghadapi tidak sinkronnya ketiga dzikir ini dalam realitas, Arifin Ilham mengenalkan dua terminologi sufi, yakni muraqabah dan muhasabah. Dalam pandangan Arifin Ilham, muraqabah itu berperan sebagai metode atau jalan yang akan mengantarkan seseorang pada fase muhasabah.
4.      Dzikir Amaliyah
Menurut Arifin Ilham, puncak atau tujuan akhir dari dzikir adalah dzikir amaliyah. Dzikir ini secara singkat termanifestasikan dalam kata taqwa, yang sekaligus menjadi akhlak yang mulia. Sesuai dengan janji Allah, buah dari ketakwaan itu, seseorang akan memperoleh tiga hal penting dari Allah. Pertama, ia akan diberi furqon (kemampuan untuk membedakan) antara yang haq dan bathil, antara yang benar dan yang salah serta antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anfal: 29. Kedua, Allah akan memberikan limpahan cahaya (nur) dan ampunan atas dosa-dosa yang telah lampau, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Hadid: 28. Dan ketiga, Allah akan memberikan petunjuk jalan yang benar dan terbaik sebagai jalan keluar dari berbagai tantangan dan masalah kehidupan. Dengan demikian dapat disimpulkan di sini, bahwa dzikir yang dikemukakan oleh Arifin Ilham berpuncak pada takwa, dan takwa itu akan mengarahkan manusia untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya (the real meaning of life).[20]
Di bagian lain, tanpa ragu Arifin Ilham berpendirian bahwa dzikir pada akhirnya akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang “khas” (special) yang berbeda dengan yang lainnya. Di antaranya, yaitu bicaranya dakwah, diamnya dzikir, nafasnya tasbih, matanya rahmat, pikirannya husnudhon, hatinya doa, tangannya sedekah, kakinya jihad, kekuatannya silaturrahmi, kerinduannya syari’at Islam, dan kesibukannya asyik memperbaiki diri.[21]
5. Yusuf Mansur
            Yusuf Mansur lahir di Jakarta pada 19 Desember 1976. Ia lahir dari keluarga Betawi berkecukupan pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrifi’ah. Yusuf Mansur terkenal dengan program dakwah yang inovatif sekali. Ia bukan hanya berhasil menjadi penceramah, namun melahirkan berbagai kegiatan dan komunitas, mulai dari Majelis Dhuha Nasional (MDN), Rumah Tahfidz sebagai sentra penghafal al-Qur’an, lembaga zakat, PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an), dan lainnya. Ia sadar bahwa ceramah tak cukup baginya, ia harus berbuat lebih. Selanjutnya, Yusuf Mansur dikenal dengan julukan “Ustadz Sedekah”. Ilmu sedekah merupakan bekal yang selalu menghiasi kehidupan Ustadz Yusuf Mansur. Ia bukan sekadar penganjur sedekah. Lebih dari itu, ia merupakan pelaku sedekah sekaligus saksi kedahsyatan hikmah sedekah. Yusuf Mansur berhasil merumuskan konsep sedekah dalam al-Qur’an dan Hadits menjadi topik pembahasan aplikatif yang dibumbui dengan kisah testimoni atau kesaksian dari para pelaku sedekah. Alhasil, banyak jama’ah yang mau bersedekah dengan sukarela. Menurut Yusuf Mansur, hukum sedekah itu 5+1, yakni tahu, yakin, amalkan, buktikan, rasakan, dan ceritakan. Ia sering mengutip surat Ali Imran ayat 92 yang artinya, “Kamu belum berbuat kebaikan hingga kamu menafkahkan apa yang paling kamu cintai”.[22] Dalam saluran agama, tak diragukan lagi bahwa sedekah memang memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat dahsyat dan ampuh. Memperhatikan riwayat-riwayat di dalam Islam, maka kita akan banyak menemukan riwayat-riwayat yang mengetengahkan tentang keutamaan atau keajaiban sedekah (shodaqoh). Di antara keutamaan atau keajaiban dari sedekah yakni :
a.       Sedekah bisa menolak bencana atau bala’
b.      Sedekah bisa menyembuhkan penyakit
c.       Sedekah bisa memanjangkan umur
d.      Sedekah bisa memperluas rezeki[23]

Sedekah adalah pemberian, ini prinsip berpikir yang senantiasa harus kita perhatikan. Ketika kita bersedekah pada seseorang, maka terjadi hubungan sebagai berikut :

§  kita sebagai orang yang bersedekah
§  ‘sesuatu’ yang disedekahkan
§  orang yang menerima sedekah kita
Nilai sedekah terbagi menjadi dua, yaitu nilai spiritual (vertikal) dan nilai sosial (horisontal). Dalam hal bersedekah, terdapat setidaknya 7 seni yang keliru yang sering dilakukan :
a. menyakiti
b. pamer, dalam khasanah Arab terbagi dua, yakni : riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah pamer dalam sikap dan perbuatan. Sedangkan sum’ah adalah pamer dalam wujud perkataan.
c. menggerutu
d. kebiasaan, yang dimaksud di sini bukan dalam hal kita yang sudah terbiasa dengan cara yang benar, niat yang benar, dan tujuan yang benar. Tetapi yang harus kita hindari adalah terkikisnya semangat ini karena hanya menjadi kebiasaan semata, bukan atas dasar semangat beramal yang benar dan ikhlas.
e. yang lebih, bukan yang baik
f. terpaksa
f. asal memberi[24]



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Di antara tokoh-tokoh tarekat tanpa tarekat di Indonesia adalah :
1.      Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
2.      Abu Sangkan
3.      Ary Ginanjar Agustian
4.      Muhammad Arifin Ilham
5.      Yusuf Mansur
b. Pokok-pokok amalan yang diajarkan adalah :
1.      Abdullah Gymnastiar dengan konsep Manajemen Qolbu (MQ). Menurutnya, hati merupakan kunci utama untuk mencetak pribadi-pribadi cemerlang. Hati bersih akan membuat pikiran semakin jernih dan itu akan efektif dalam berpikir, memecahkan masalah ataupun kreativitas.
2.      Abu Sangkan dengan metode pelatihan shalat khusyu’. Bahwa jika shalat seseorang itu khusyu’ maka akan mempunyai dampak yang sangat positif bagi kehidupannya.
3.      Ary Ginanjar dengan konsep (Emotional Spiritual Quotient) atau ESQ. Ia melakukan sebuah penggabungan dari ketiganya dalam konsep ESQ yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan keduniaan.
4.      Muhammad Arifin Ilham dengan metode dzikirnya. Beliau membagi dzikir menjadi empat, yaitu dzikir qalbiyah, aqliyah, lisan dan amaliyah.
5.      Yusuf Mansur dengan mengetengahkan perihal keajaiban dan keutamaan sedekah atau power of giving (sedekah).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kumayi, Sulaiman, Menuju Hidup Sukses, Semarang : Pustaka Nuun, 2005
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Bandung : Mizan, 2005
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Erlangga, 2006
Muhyidin, Muhammad, Keajaiban Shodaqoh, Jogjakarta : DIVA Press, 2007
Sangkan, Abu, Berguru Kepada Allah,  Jakarta : Patrap Thursina Sejati, 2006
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Jakarta : Kencana, 2003 
Yosi Herfanda, Ahmadun, Irwan Kelana, Inspiring Stories, Solo : Tiga Serangkai



[1] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung : Mizan, 2005, hlm. 30
[2] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Erlangga, 2006, hlm. 3
[3] Sulaiman Al-Kumayi, Menuju Hidup Sukses, Semarang : Pustaka Nuun, 2005, hlm. 3
[4] Ibid., hlm. 29
[5] Ahmadun Yosi Herfanda, Irwan Kelana, Inspiring Stories, Solo : Tiga Serangkai,  hlm. 4
[6] Sulaiman al-Kumayi, Op.cit., hlm. 39
[7] Ibid., hlm. 39-40
[8] Ibid., hlm. 41
[9] Ibid., hlm. 43
[10] Ibid., hlm. 68
[11] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah,  Jakarta : Patrap Thursina Sejati, 2006, hlm. 253-256
[12] Ibid., hlm. 257-259
[13] Ibid., hlm. 259-261
[14] Ibid., hlm. 262-265
[15] Ibid., hlm. 271-273
[16] Ahmadun Yosi Herfanda, Op.cit., hlm.
[17] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 13
[18] Ibid., hlm. 23-27
[19] Sulaiman al-Kumayi, Op.cit., hlm. 43-44
[20] Ibid., hlm. 152-165
[21] Ibid., hlm. 178
[22] Ahmadun Yosi Herfanda, Irwan Kelana, Op.cit., hlm. 303
[23] Muhammad Muhyidin, Keajaiban Shodaqoh, Jogjakarta : DIVA Press, 2007, hlm. 50
[24] Ibid., hlm. 83