APA ITU LOGIKA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Logika
Dosen : Rochanah, M.Pd.I
Disusun oleh :
1. Endy Nurviko 1410110546
2. Zaenal Muttaqin 1410110549
3. Muhammad Haidarulloh 1410110559
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Kata logika atau logis sangat akrab dengan kita. Kita
sering berbicara tentang prosedur yang logis sebagai lawan dari prosedur yang
tidak logis, penjelasan yang logis sebagai lawan dari penjelasan yang tidak
logis, pikiran yang logis sebagai lawan dari pikiran yang tidak logis, tindakan
yang logis sebagai lawan dari tindakan yang tidak logis. Dalam contoh – contoh
tersebut kata logis dipakai dalam arti yang sama dengan masuk akal, dapat
dimengerti.
Untuk mengerti apa sesungguhnya logika, kita harus mempelajarinya
secara teratur dan sistematis. Mempelajari logika berarti mempelajari metode –
metode dan prinsip – prinsip yang dipakai untuk membedakan penalaran yang tepat
(valid) dari penalaran yang tidak tepat (valid). Itu tidak berarti bahwa
mempelajari logika merupakan satu – satunya cara yang membuat orang bernalar
secara tepat. Akan tetapi, orang yang telah mempelajari logika lebih mungkin
bernalar secara tepat daripada kalau tidak mempelajari logika.
Logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai pada
kebenaran karena kepercayaan – kepercayaan yang menjadi titik tolak kita kadang
– kadang salah. Namun dengan mengikuti prinsip – prinsip yang tepat, kita perlu
mengulang kesalahan – kesalahan yang pernah kita lakukan.
2.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas mengenai gambaran umum logika, maka pemakalah merumuskan beberapa masalah
dintaranya yaitu:
1. Apa definisi logika?
2. Apa sajakah objek dari logika?
3. Bagaimanakah sejarah perkembangan logika?
4. Apakah manfaat mempelajari logika?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Logika
Secara etimologi Logika berasal dari Bahasa Yunani Logos yang
berarti “kata” atau “pikiran yang benar” (Hasbullah Bakry : 1981, 15)[1].
Disisi lain mengatakan, Logika berasal dari bahasa Latin yakni kata Logos
yang berarti “perkataan” atau “sabda” (K. Prent C.M, J. Adisubrata, dan
W.J.S Poerwadarminta: 1969, hlm. 501)[2]. Menurut
Poedjawijatana, logika adalah “filsafat berpikir”. Yang berpikir itu
manusia dan berpikir itu merupakan tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai
tujuan, yaitu untuk tahu (Poedjawijatana, 1992: 9)[3].
Sedangkan dalam bahasa Arab , Logika disebut Ilmu Mantiq
dari kata dasar nataqa yang berarti berbicara atau berucap (Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: 1984, hlm. 1531, Al-Ma’luf,1986, hlm. 816)[4].
Menurut Ibnu Khaldun, bahwa Ilmu Mantiq (logika) merupakan undang-undang yang
dapat dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang
salah (Ibnu Khaldun: 2000, hlm. 474)[5].
Prof. Thaib Thohir A. Mu’in mendefinisikan Ilmu Mantiq sebagai ilmu yang
dipergunakan untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam
memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir A. Mu’in: 1966, hlm. 16). Tidak
ketinggalan Irving M. Copi juga mendefinisikan bahwa logika adalah ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran
yang betul dari penalaran yang salah (Irving M. Copi: 1978, hlm. 3)[6].
Logika merupakan bagian dari filsafat yang memperbicangkan hakikat
ketepatan, cara meyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan pengetahuan.
Logika tidak mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan tetapi membatasai
diri pada ketetapan susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, Logika
mempersyaratkan kebenaran, bukan wacana kebenarannya. Dan bidang perhatian dan tugas logika adalah menyelidiki penalaran yang
tepat, lurus, dan semestinya sehingga dapat dibedakan dari penalaran yang tidak
tepat.[7]
Demikian bahwa Logika merupakan salah satu disipilin ilmu yang menitikberatkan
pada berpikir atau bernalar dengan teliti dan teratur dengan tujuan untuk
mengetahui dan memperoleh suatu kebenaran serta membedakan pernyatan benar dan
pernyataan yang salah.
2.
Objek Kajian Logika
Dalam pembahasan sebelumnya logika memperbicangkan hakikat dan
menyelidiki penalaran yang tepat, lurus, dan semestinya sehingga dapat dibedakan
dari penalaran yang tidak tepat. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai
pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaram,
terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Setiap ilmu
pengetahuan pasti mempunyai objek.
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan atau sasaran dari
penelitian atau pembentukan pengetahuan. Dilihat dari segi objeknya, objek
logika ada dua yaitu objek material (Mantiq As-Suwari) dan objek formal (Mantiq
Al-Maddi)[8].
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan, yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin
ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan
dari penelitian atau pementukan pengetahuan itu, atau dari sudut pandang apa
objek materia itu disoroti (Surajiyo, 1005: 11)[9].
Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka yang menjadi objek atau
lapangan penyelidikan logika secara materia (sebagai sasaran umum) ialah
manusia itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu (secara
khusus) sebagai objek forma, ialah budinya (Poedjawijatana, 1992: 14)[10].
Cara pemikiran dalam objek-objek logika secara radikal dibagi menjadi dua. Cara
pertama disebut berpikir deduktif (umum ke khusus) dipergunakan dalam Logika
Forma yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan)
dalam pemikiran dengan mempergunakan
hukum-hukum, rumus-rumus dan patokan – patokan yang benar. Cara kedua, berpikir
induktif (khusus ke umum) dipergunakan dalam Logika Materia, yang mempelajari
dasar-dasar persusaian pikiran dengan kenyataan. Logika Materia menilai hasil
pekerjaan Logika Forma dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris[11].
Secara garis besar, objek bahasan - bahasan logika (mabahis ilm
al-mantiq), dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu bahasan ‘kata-kata’
(al-alfadh), bahasan proposisi (al-qadliyah) dan bahasan pemikiran atau
penalaran (al-istidlal)[12].
Sesuai dengan objek bahasan logika, pertama-tama yang harus dipelajari adalah
bahasan kata-kata, kemudian bahasan proposisi dan diakhiri bahasan penalaran. Karena
tidak mungkin seseorang dapat melakukan penalaran atau berpikir tanpa
mengetahui proposisi suatu kegiatan berpikir, begitu juga tidak mungkin
mengetahui proposisi berpikir tanpa mengetahui kata-kata yang sesuai. Tujuan
yang paling utama dari pelajaran ilmu mantiq (logika) adalah tentang
al-istidlal (penalaran), tetapi sesungguhnya penalaran itu tersusun dari
beberapa kata-kata[13].
3.
Sejarah logika
Menurut sejarah, dasar – dasar ilmu mantik (logika) sudah
dipelajari semenjak zaman Luqman Hakim atau zaman Nabi Daud As. Dari Luqman
hakim turun kepada filosof Benduples, kemudian turun kepada filosof Sabqarates
dan Baqrates, lalu turun kepada Aflathun, dan akhirnya sampai kepada filosof
Aristoteles yang dikenal sebagai bapak logika.[14]
Logika merupakan cabang dari llmu filsafat, maka sejarah lahirnya logika tidak
bisa lepas dari bagaimana filsafat itu muncul. Filsafat pertama kali muncul di
yunani, yaitu pada abad ke 6 SM. Pada waktu itu orang - orang Yunani mulai
kritis terhadap alam sekitar dan mulai memikirkan segala sesuatu yang ada di
sekitarnya. Merekalah orang – orang yang berusaha keras menganalisis dan
menyusun kaidah – kaidah berpikir agar terhindar dari kesalahan dalam membuat
kesimpulan.
Sejarah singkat logika dari masa pertumbuhannya hingga kurun
perkembangannya.
a.
Dunia
Yunani Tua
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340-265)
disebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan istilah logika adalah tokoh
Stoa. Meskipun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis
para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan
asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofis-lah yang menjadikan pikiran manusia
sebagai titik pemikiran secara eksplisit.[15]
Sokrates (470-399) dengan metodenya ironi dan maieutika, de
facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh
dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri umumnnya. Plato mengumumkan
metode Sokrates tersebut menjadi teori ide, yaitu teori Dinge an sich.
Menurut Plato, ide adalah bentuk mulyajadi atau model yang bersifat umum
dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi
hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut ectypa.
Gagasan plato ini banyak memberikan dasar pada logika, terutama pada masalah
ideogenesis dan masalah penggunaan bahasa dalam pemikiran. Akan tetapi logika
yang ilmiah sesungguhnya baru terwujud berkat karya Aristoteles (384-322).[16]
Ia-lah Ahli pikir yang mempelopori perkembangan logika sejak awal lahirnya.[17]
Ia menghimpun dasar – dasar ilmu mantiq agar tidak punah sebab sulitnya ilmu
ini. Maka dari itu ia dipandang sebagai peletak ilmu mantiq (logika) dalam
sejarah.
Karya Aristoteles tentang logika, kemudian diberi nama To Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dan
Rhodos. Karya Aristoteles mencakup: Kategoria (mengenai logika istilah
dan predikasi), Peri Hermeneis (tentang logika proposisi), Analytica
Protera ( tentang silogisme dan pemikiran), Analytica Hystera (tentang
pembuktian), Topica ( tentang metode berdebat), Peri Sophistkoon
Elechoon ( tentang kesalahan berpikir). Pola ini hingga kini masih
digunakan oleh kebanyakan penulis jika berbicara tentang logika.[18]
Setelah masa Aristoteles, logika diteruskan oleh muridnya, yaitu
Theopratus dan Porphyrius. Keduanya berperan penting dalam kemajuan logika.
Theopratus memimpin aliran peripatetic (warisan gurunya). Ia menyumbangkan
pemikiran tentang pengertian yang mungkin dan sifat asasi dari setiap
kesimpulan (harus mengikuti pangkal terlemah dalam berpikir). Maksud dari
pengertian yang mungkin adalah pengertian yang tidak mengandung kontradiksi
atau pertentangan dalam dirinya. Sedangkan Porphyrtius adalah ahli pikir dari
Iskandariyah yang amat terkenal dalam bidang logika. Ia telah menambahkan satu
bagian baru dalam pelajaran baru dalam logika, yaitu eisagogy. Eisagogy
membahas tentang lingkungan zat dan sifat di dalam alam yang sering disebut
klasifikasi.[19]
b.
Dunia
Abad Pertengahan
Pada mulanya, yaitu pada tahun 1141, pembahasan logika hanya
berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoria dan Peri
Hermeneias. Karya Aristoteles tersebut bersama Eisagogen karya
Porphyrius biasa disebut logika lama. Baru sesudah tahun 1141, keempat karya
Aritoteles lainnya dikenal lebih luas
oleh masyarakat. Keempat karya tersebut disebut dengan logika baru.
Logika lama dan logika baru kemudian disebut sebagai logika antik. Di dalam
logika ini ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposis, untuk menerangkan
kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri – ciri term sebagai simbol tata bahasa dari konsep – konsep.[20]
Pada abad XIII – XV berkembanglah logika modern. Tokohnya adalah
Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Ockham, dan Raymond Lullus yang menemukan
metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam aljabar
pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran – kebenaran tertinggi.[21]
Abad pertengahan mencatat bebagai pemikiran yang sangat penting
bagi perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinil di bidang silogisme
hipotesis berpengaruh bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah
satu hasil terpenting dari logika. Munculnya teori suposisi, adanya diskusi
tentang universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme,
penggarapan logika modal, dan yang lainnya penyempurnaan teknis.[22]
c.
Dunia
Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga
dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan penekanan – penekanan yang berbeda.
Meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, Thomas Hobbes (1588 – 1679) dan John
Locke (1632 – 1704) doktrin – doktrinnya dalam logika sangat dikuasai oleh paham
nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi tanda – tanda
verbal dan mirip operasi – operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan
interpretasi tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman.[23]
Diantara tokoh lain yang berperan dalam perkembangan logika pada
era ini adalah Francis Bacon (London, 1620) dengan karyanya Novum Organum yang
membahas tentang logika fisika induktif murni, Rene Decartes (1637) dengan
karyanya Discours de la Methode yang membahas tentang logika matematika
deduktif murni, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646 – 1716) dengan rencana calculus
universalnya yang mendasari munculnya
logika simbolis, John Stuart Mill (1806 – 1873) dengan karyanya System of
Logic yang membahas tentang logika induktif dan Henry Newman (1870) dengan
karyanya Essay i Aid of a Grammar of Assent yang meganalisis
fenomenologis yang tajam tentang pikiran manusia.[24]
Selama abad ke-20, banyak karya dalam bidang logika memfokuskan
perhatian pada formalitas sistem logika dan pada pertanyaan tentang kekomplitan
dan konsistensi sistem – sistem tersebut. Suatu teori yang terkenal, yang
dikemukakan oleh Kurt Goedel (1906-1978), menyatakan bahwa dalam sistem formal
apa pun yang memadai bagi sejumlah teori terdapat suuatu formula yang tidak
dapat ditentukan, yaitu semacam formula, bukan formula itu bukan juga negasinya
yang dapat di asalkan dari aksioma – aksioma dari sistem itu. Perkembangan –
perkembangan lain mencakup logika multi nilai dan formalisasi logika modal.
Yang paling mutakhir, logika berandil besar bagi teknologi dengan menyediakan
fondasi konseptual bagi sirkuit elektronik komputer – komputer digital.
d.
Perkembangan
Logika dalam Islam
Logika mulai berkembang dalam dunia islam sejak adanya kegiatan penerjemahan
buku – buku oleh para ilmuan Islam. Pada saat itu upaya untuk mengembangkan
logika terlihat dari upaya beberapa penerjemah yang menyalin buku – buku karya
Aristoteles kedalam bahasa arab. Diantara tokoh yang berperan adalah Johana bin
Pafk yang menyalin buku Aristoteles menjadi
Manqulatul Assyarat li Aristu, Ibn Sikkit Jakub Al-Nahwi yang memberi
komentar dan tambahan dalam bukunya Ishlah Fil Mantiq, Jakub bin Ishaq Al-Kindi
menyalin bagian – bagian logika Aristoteles dan memberi komentar satu persatu.[25]
Al-Farabi juga telah melakukan penerjemahan secara menyeluruh karya
Aristoteles. Ia menguasai bahasa Yunani tua (Greek), sehingga mampu mengulas
dan mengomentari karya Aristoteles. Oleh karena itu ia disebut sebagai guru
kedua Aristoteles.[26]
Ahli pikir muslim yang juga ikut mengembangkan logika adalah Abu
Abdillah al-Khawarizmi, yang telah menciptakan aljabar serta buku Mafaatihul
Ulum fil Mantiqi yang berisi komentar tentang logika.[27]
Ibnu Sina juga membahas tentang logika sebagaimana terdapat pada
salah satu bagian bukunya yaitu As-Syifa.
Ia juga membahas secara spesifik tentang logika pada bukunya yang berjudul
Isyarat Wal Tanbibat fil-Mantiqi.[28]
Pada abad ke-14 muncul reaksi terhadap ilmu logika orang yang
belajar logika dianggap terlalu memuja akal dalam mencari kebenaran. Ahmad Ibnu
Taimiah menentang logika melalui karyanya yang berjudul Fasbibtu ahlil-Iman
fil-roddi ‘ala Mantiqi Yunani (ketangkasan pendukung keimanan menangkis logika
Yunani). Adapun Sa’aduddin Al-Taftazani (1322-1389M) mengharamkan bagi orang
yang mempelajari logika.[29]
Setelah runtuhnya kejayaan Islam di Andalusia pada pertengahan abad
ke-15, perkembangan logika semakin meredup. Hingga abad ke-20 hanya beberapa
tokoh saja yang mahir dalam logika,seperti Ibnu Khaldun, Al-Duwani, dan
Al-Akhdari. Diantara karya logika yang banyak dipakai sebagai pelajaran dasar
logika di dunia Islam, termasuk Indonesia adalah karya Al-Akhdari, yaitu Sullam
Al-Munauraqi fil Mantiqi. Namun demikian jiwa semangat untuk mempelajari
logika mulai bangkit lagi pada abad ke-20 dengan munculnya gerakan pembaharuan
Islam di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh.[30]
4.
Manfaat mempelajari logika
Banyak sekali kegunaan dan kentungan yang kita peroleh jika kita
mempelajari logika, diantara manfaat itu ialah:
1.
Membantu
manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran
dan menghindari kekeliruan. Logika sebagai ilmu yang banyak menyajikan dalil –
dalil dan hukum berpikir logis. Logika adalah ilmu normatif, karena logika
membicarakan tentang berpikir sebagaimana seharusnya bukan sebagaimana adanya
dalam ilmu – ilmu positif, seperti fisika, psikologi, dan sebagainya. Dengan
berpikir sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat – syarat
yang harus dipenuhi dalam berpikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran.
2.
Mendidik
manusia bersikap objektif, tegas, dan berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam
segala suasana dan tempat. Itu karena logika menyampaikan kepada berpikir
benar, lepas dari pelbagai prasangka, emosi, dan keyakinan seseorang.
3.
Melatih
kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu membahas
dengan metode – metode berpikir.
4.
Akal
menjadi semakin tajam dan tinggi kemampuannya dalam hal imajinasi logis.
Imajinasi logis adalah kemampuan akal untuk menggambarkan kemungkinan
terjadinya sesuatu sebagai keputusan akal yang benar dan runtut
5.
Dapat
meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan pekerjaan tepat pada
waktunya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Logika merupakan salah satu disipilin ilmu yang menitikberatkan
pada berpikir atau bernalar dengan teliti dan teratur dengan tujuan untuk
mengetahui dan memperoleh suatu kebenaran serta membedakan pernyatan benar dan
pernyataan yang salah. Pemikiran manusia adalah objek materia logika dan
patokan – patokan atau hukum – hukum berpikir benar adalah objek formal logika.
Aristoteles adalah ahli pikir yang mempelopori perkembangan logika sejak awal
lahirnya. Ia menghimpun dasar – dasar ilmu mantiq agar tidak punah sebab
sulitnya ilmu ini. Maka dari itu ia dipandang sebagai peletak ilmu mantiq
(logika) dalam sejarah. Diantara kegunaan dari logika adalah membantu manusia
berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan
menghindari kekeliruan.
2.
Saran
Demi terciptanya pemahaman dan penerapan yang baik terhadap logika
dalam kehidupan sehari – hari, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
diantaanya yaitu:
1.
Pahami
pengertian atau definisi dari logika secara baik dan benar, jangan sampai
keliru menafsirkan apa itu logika.
2.
Jangan
belajar teori logika saja, tetapi kita harus bisa membuat contohnya yang
dihubungkan dengan penerapan dikehidupan sehari – hari.
3.
Berpikir
bukan mengharuskan pemikir memiliki inisiatif, tetapi berpikir adalah
membiarkan sesuatu menjadi tampak sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori
– kategori kita sendiri pada sesuatu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Maran, Rafael Raga. 2007. Pengantar Logika. Jakarta:
Grasindo.
Masdi. 2009. Daros Logika. Kudus: STAIN PRESS.
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Poespoprodjo, W. 1999. Logika Scientifica. Bandung: Pustaka
Grafika.
Surajiya, dkk. 2006. Dasar – Dasar Logika. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
[1] ) Drs. H.
Masdi, M.Ag, Daros Logika (Kudus: STAIN PRESS, 2009), hlm. 1
[2] ) Ibid; Drs.
Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 1
[3] ) Ibid,
[4] ) Ibid; Drs.
Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 1
[5] ) Opcit, hlm. 2
[6] ) Ibid,
[8] ) Drs. Mundiri,
Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 14
[9] ) Drs. Surajiyo,
dkk., Dasar – Dasar Logika (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 11
[10] Ibid,
[11] Opcit, hlm. 14
[12] Drs. H. Masdi,
M.Ag, Daros Logika (Kudus: STAIN PRESS, 2009), hlm. 4
[13] Ibid,
[14] Ibid,
hal. 10
[15] W.
Poespoprodjo, Logika Scientifika, CV Pustaka Grafika: Bandung, 1999, hal.
41
[16] Ibid,
hal. 41-42
[17] Op.
Cit, Masdi, hal. 10
[18] Op.
Cit, W. Poespoprodjo, hal. 42
[19] Op.
Cit, Masdi, hal. 10
[20] Op. Cit,
W. Poespoprodjo, hal. 43
[21] Ibid,
hal. 43-44
[22] Ibid,
hal. 44
[23] Ibid
[24] Ibid,
hal. 44-51
[25] Op.
Cit, Masdi, hal. 11-12
[26] Ibid,
hal. 12
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid,
hal. 12-13
[30] Ibid,
hal. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar