SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM ISLAM
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf
Dosen : Dr. H. Fathul Mufid, M.Si.
Disusun oleh :
1. Zaenal Muttaqin 1410110549
2. Umi Lathifah 1410110554
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015
A.
Latar Belakang
Tasawuf dapat diungkapkan sebagai kesadaran adanya
komunikasi dan dialog langsung antara muslim dengan Tuhan. Tasawuf merupakan
suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan (riyadhah – mujahadah)
untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai – nilai kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan cara
itu, segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu
maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-Ahwal) yang mulia
adalah tasawuf (al-Suhrawardi, 1538).
Dengan pengertian semacam ini, maka dapat dikatakan
tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlaq manusia
(sebagaimana Islam diturunkan ujntuk membina akhlaq manusia) diatas bumi ini,
agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, siapa pun boleh menyandang predikat mutashawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, dll yang
pada intinya menyandang sifat – sifat mulia, dan terhindar dari sifat tercela.
Para Sajana, baik dari kalangan orientalis maupun dari
kalangan Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi
munculnya tasawuf dalam Islam. Abul A’la ‘Afifi dalam Kata Pengantar Edisi
Arab, Fit Tashawwuf al-Islami wa Tarikhihi, mengklasifikasikan pendapat
para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama,
dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui. Kedua, berasal dari
asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari
sumber yang berbeda – beda kemudian menjelma menjadi satu konsep.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah diatas
dapat dirumuskan beberapa masalah tentang kemunculan dan perkembangan tasawuf
dalam Islam, yaitu:
1. Bagaimana essensi tasawuf pada zaman Rasulullah saw
dan sahabat?
2. Bagaimana perkembangan tasawuf setelah masa Rasulullah
saw dan sahabat?
C.
Pembahasan
1. Essensi ajaran tasawuf pada masa Rasulullah saw. dan sahabat
Para linguistik dan ahli sejarah
bahasa Arab sepakat bahwa kata tasawuf telah dikenal jauh sebelum datangnya
Islam. Hanya saja penggunaan istilah tasawuf bagi kelompok sufi muncul pada
masa “kodifikasi ilmu – ilmu Islam”.[1]
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah
dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena pada masa itu
para pengikut Nabi saw. Diberi panggilan sahabat. Panggialn ini adalah
yang paling berharga saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa
sahabat, orang – orang yang tidak bertemu dengan beliau disebut tabi’in, dan
seterusnya disebut tabi’it tabi’in.[2]
Materi ajaran tasawuf dilihat dari
segi ibadah dan akhlaq, dalam pengertian yang luas, sudah terdapat dalam
al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana keberadaan ilmu – ilmu lain. Jika kata tasawuf
tidak ditemukan pada masa ini, ajaran – ajaran tentang ibadah, akhlaq,
pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai – nilai
kemanusiaan, semuanya telah diatur dalam Islam. Ajaran ajaran itulah yang
disebut dengan tasawuf.[3]
Menurut Ibn al-Jauzi dan Ibn
Khaldun, secara garis besar membagi kehidupan kerohanian dalam Islam menjadi
dua, yakni zuhud dan tasawuf. Kalau kita kembali kepada awal sejarah Islam,
khususnya pada zaman Nabi, sudah ada sahabat- sahabat Nabi yang menjauhkan diri
dari kehidupan duniawi, dan banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Mereka
diantaranya adalah Abdullah ibn Umar, Abu al-Darda’, Abu Dzar al-Ghiffari,
Bahlul ibn Zuaib, dan Kahmas al-Hilali (Harun, 1985).[4]
Perilaku tasawuf sebenarnya sudah
dilakukan Nabi Muhammad saw. Ketika hendak medapatkan wahyu kerasulan. Yakni
ketika beliau berada di gua Hira. Beliau pergi menyisihkan diri, memutuskan hubungan
sementara waktu dengan masyarakat sekeliling, mencari kebersihan rohani &
memohon ketentuan jalan yg akan ditempuh. Di sanalah beliau melepaskan jiwa dari
ikatan kemewahan dunia, keributan dan kerepotan hidup. Dibawanya sedikit bekal
dan selebihnya perhatiaannya dihadapkan pada wujud semesta. Memandang dan
merenung dengan mata hati ke seluruh bekas kekuasaan dan perbuatan Ilahi.
ketika Ramadhan telah habis, beliaupun turun kembali, maka bertambahkuatlah
pendirian dan sikap jiwanya. Menurutlah badan jasmani kepada kebersihan rohani.[5]
Seperti telah kita ketahui, bahwa
sejarah islam ditandai dengan peristiwa tragis, yakni pembunuhan terhadap
khalifah ketiga, Utsman bin Affan ra. Dari peristiwa itu secara berantai
terjadi kekacauan dan kemrosotan akhlaq. Hal ini menyebabkan sahabat – sahabat
yang masih ada, berikhtiar membangkitkan lagi ajaran Islam, pulang masuk
masjid, kembali mendengarkan kisah – kisah mengenai targhib dan tarhib,
mengenai keindahan hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih tasawuf
paling awal.
Pada abad I Hijriyah, lahirlah Hasan
Basri, seorang zahid pertama dalam sejarah tasawuf. Ia membawakan ajaran Khauf
dan Raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan. Disinilah bibit
tasawuf mulai muncul. Garis – garis besar mengenai Thariq atau jalan
beribadah sudah kelihatan disusun, seperti dalam ajaran – ajaran yang
dikemukakan sudah mulai menganjurkan untuk mengurangi makan (ju’),
menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), mencela dunia (dzamm
al-Dunya) seperti harta, keluarga dan kedudukan.[6]
2.
Perkembangan
tasawuf setelah masa Rasulullah saw. dan sahabat
a.
Masa
pembentukan tasawuf
Di abad II H/8 M, terlebih khususnya diakhir abad tersebut, aliran
kerohanian dikenal dengan istilah suffiya, suffiyum (sufi). Mereka
disebut demikian karena kebiasaan mereka memakai pakaian dari kulit (suf, wool),
yang secara sadar atau tidak, mereka terpisah dari orang banyak.[7] Adapula
yang mengatakan munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad
III Hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi di
belakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim
al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakal, dan dalam
mahabbah, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-sufi. (R. A.
Nicholson, 1969).[8]
Ada perbedaan pendapat tentang asal – usul kata tasawuf. Hal ini
dilatarbelakangi perbedaan sudut pandang tinjauan. Tasawuf dikatakan berasal
dari shuf (bulu domba), karena tinjauannya dititikberatkan pada
segi lahiriah, yakni pakaian yang terbuat dari bulu yang biasa dipakai oleh ahli tasawuf. Sementara
bagi yang menyatakan dari kata shafa yang berarti bersih, adalah karena
ahli tasawuf berusaha membersihkan jiwa dari sifat – sifat tercela. Dan
dikatakan bebrasal dari shufanah, yakni nama kayu yang bertahan hidup di
padang pasir. Karena kebanyakan ahli tasawuf berbadan kurus kering,
akibat banyak berpuasa dan bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon
tersebut.
Kemudian pada akhir abad II Hijriyah, muncul Rabi’ah al-‘Adawiyah
(w. 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal ajaran cintanya(hubb al-ilah).
Pada abad ini, tasawuf tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama
dengan corak kezuhudannya. Banyak istilah yang muncul mengenai kebersihan jiwa
(thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqi al-qalb), hidup ikhlas,
dan lain – lain.[9]
b.
Masa
pengembangan tasawuf
Tasawuf pada abad ke III dan ke IV hijriyah sudah mempunyai corak
yang berbeda dengan tasawuf pada abad sebelumnya. Wacana tentang zuhud mulai
digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada
promosi gaya hidup zuhud belaka.[10] Pada
abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang menjurus pada
persatuan hamba dengan sang khaliq. Orang sudah ramai membahas tentang
lenyap dalam kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad
bi al-mahbub), kekal dengan tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan
tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu
dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid Al-Bushthami (261 H), seorang sufi dari
persia yang pertama kali menggunakan istilah fana’ (lebur atau hancur perasaan) sehingga dia
dianggap sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.[11]
Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid mendapat julukan sebagai
pendiri tasawwuf yang berasal dari Persia, yang memasukkan ide wahdah
al-Wujud sebagai pemikiran orisinil dari timur sebagaimana theosofi merupakan
kekhususan pemikiran Yunani (Nicholson, 1969).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan,
yakni al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (inkarnasi Tuhan).
Al-Thusi dalam al-Lukman (1960) menyatakan bahwa hulul ialah Allah memilih
suatu jisim yang ditempati makna rububiyyah, maka leburlah makna basyariyyah.[12]
Pada akhir abad III orang berlomba - lomba menyatakan dan
mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian (wahdah al-syuhud), kesatuan kejadian
(wahdat al-wujud), kesatuan agama – agama (wahdat al-adyan), berhubungan
dengan Tuhan (ittishal ), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan
kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang kesemuanya itu tidak
mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah).
Kemudian datanglah Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar – dasar ajaran
tasawwuf dan thariqah, cara belajar dan mengajar ilmu tasawwuf, syekh,
mursyid, murid dan murad, sehingga mendapat predikat Syekh
al-Thaifah (ketua rombongan suci).
Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV H sudah sedemikian
berkembang, sehingga sudah merupakan mazhab. Menurut Abu al-Wafa, tasawuf pada
abad – abad ini telah mencapai peringkat tertinggi dan terjernih, dan mereka
menjadi tokoh – tokoh panutan para sufi sesudahnya (Abu al-Wafa, 1970).
Pada abad III dan IV ini, terdapat dua aliran. Pertama, aliran tasawuf
sunni yaitu aliran tasawuf yang
memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber
tersebut. Kedua, aliran tasawuf “semi falsafi”, dimana para pengikutnya
cenderung pada ungkapan – ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak
dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad
atau Hulul) (Abu al-Wafa, 1970).[13]
c.
Masa konsolidasi tasawuf
Tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini
ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf
sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang
sedemikian rupa, taswuf semi falsafi tenggelam
dan akan muncul kembali pada abad
VI Hijriyah dalam bentuk yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini
dikarenakan menangnya aliran theologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary
(w. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Busthami
dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyatnya yang nampak
bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Oleh karena itu tasawuf pada abad
ini cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie schimmael
merupakan periode konsolidasi, yakni periobe yang ditandai pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadis. Tokoh – tokohnya
ialah al-Qusyairi (376 – 465 H), al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450 – 505
H).[14]
d.
Masa
falsafi
Setelah taswuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka pada abad
VI Hiriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur
dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term – term filsafat yang
maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau
filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan
sebagai filsafat, karena itu sebut saja Tasawuf falsafi, karena disatu
pihak memakai term – term filsafat, namun seara epistimologis memakai rasa.
Tokoh – tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-Wujud, Suhrawardi
al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu
Sabi’in dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, Fana’ dan Wahdat al-Syuhudnya.[15]
Pada abad VI dan (dilanjutkan) abad VII Hijriyah, muncul cikal –
bakal orde – orde (thariqah) sufi kenamaan. Hingga dewasa ini, pondok –
pondok tersebut merupakan oasis – oasis
di tengah – tengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah saat
mereka berjalan dalam suatu kekerabatan para sufi yang tersebar luas, yang
mengakui seorang guru, dan menerapkan disiplin dan ritus (tata
cara dalam upacara keagamaan) yang lazim (A. J. Arberry, 1978). Thariqah
terkenal yang lahir dan berkembang sampai sekarang antara lain, thariqah
Qadariyah yang diciptakan oleh Abd al-Qadir al-Jailani (471 – 561 H), thariqah
Suhrawardiyah yanng dicetuskan oleh Syihab al-Din Umar ibn Abdillah
al-Suhrawardi (539 – 631 H), thariqah Rifa’iyah, yang dicetuskan
oleh Ahmad Rifa’i (512 H), thariqah Syadziliyah, yang dirintis oleh Abu
al-Hasan al-Syadzily (592 – 656 H), thariqah Badawiyah, yang dicetuskan
oleh Ahmad al-Badawy (596-675 H), thariqah Naqasyabandiyah, dirintis
oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din al Uwaisi al-Bukhary (717-791 H), dan lain
sebagainya.[16]
e.
Masa
Pemurnian
Pada masa ini terlihat tanda – tanda keruntuhan kian jelas,
pelencengan dan skandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya (A.
J. Arberry, 1978). Tak terelak lagi legenda – legenda tentang keajaiban
dikaitkan dengan tokoh – tokoh sufi dikembangkan, dan masa awam segera
menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali –
wali. Khurafat dan Tahayyul, klenikan dan hidup memalukan,
berlaku tak senonoh, bicara tak karuan, merupakan jalan mulus menuju ketenaran
kekayaan dan kekuasaan (A. J. Arberry, 1978).
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mngabaikan
syariat dan hukum – hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahun,
berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari
rasionalitas, dengan mengamalkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan
serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar ortodoks yang berpegang
teguh pada ajaran atau aturan resmi, Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang
penyelewengan – penyelewengan para sufi tersebut. dia terkenal kritis, peka terhadap
lingkugan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran islam yang
telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran
islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Kepercayan yang melencengkan diluruskan,
seperti kepercayaan kepada wali, khurafat dan bentuk – bentuk
bid’ah pada umumnya. Menurut Ibn Taimiyah yang disebut wali (kekasih
Allah) ialah orang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah
islamiyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin
(Yunus: 62 – 63).[17]
Ibn taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul,
dan Wahdat al-Wujud sebagai ajaran yang menuju ke kekufuran (atheisme), meskipun
keluar dari orang – orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai
tingkatan ma’rifat), ahli tahqiq (ahli hakikat), dan ahli tauhid (yang
mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari mulut orang Yahudi dan
Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya seperti orang yang menyatakan,
yakni kufur. Yang mengikutinya karena kebodohan, masih dianggap beriman (Ibn
Taimiyah, 1986).
Ibn Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah
diajarkan Rasulallah SAW, yakni menghayati ajaran agama Islam, tanpa mengikuti
ajaran thariqah tertentu, dan tetap melibatka diri dalam kegiatan
sosial, sebagaiman manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk
dikembangkan di masa modern seperti sekarang.[18]
f. Kesimpulan
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada
masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena pada masa itu para pengikut
Nabi saw. Diberi panggilan sahabat. Panggialn ini adalah yang paling
berharga saat itu. Pada zaman
Nabi, sudah ada sahabat- sahabat Nabi yang menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi, dan banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT
Dari abad II H – sekarang telah memunculkan berbagai konsep ajaran
tasawuf. Pada abad ke II yakni berkembang konsep tentang kebersihan jiwa,
kemurnian hati, hidup ikhlas, cinta Allah yang dipelopori oleh Rabi’ah
al-A’dawiyah.
Pada abad III dan IV H, tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase)
yang menjurus pada persatuan hamba dengan sang khaliq. Pelopornya
AbuYazid al-Busthami dan al-Hallaj dengan konsep hululnya.
Tasawuf pada abad V Hijriyah, muncul tasawuf semi falsafi dan
tasawuf sunni. Tokoh – tokohnya ialah al-Qusyairi (376 – 465 H),
al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450 – 505 H).
Pada abad VI Hiriyah, tampillah tasawuf falsafi. Tokoh –
tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-Wujud, Suhrawardi
al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu
Sabi’in dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, Fana’ dan Wahdat al-Syuhudnya.
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mngabaikan
syariat dan hukum – hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahun.
Kemudian muncullah Ibnu Taimiyah, seorang tokoh yang ingin memurnikan ajaran
tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur, M. Amin. Menggugat Tasawuf . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1999.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Taswuf Hitam
Putih. Solo: Tiga Serangkai.
2004.
Hamka, Tasauf perkembangan dan
pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1994.
Meier, Fritz. Sufisme: Merambah
ke dunia mistik islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,. 2004.
Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Mizan.
2005.
[1] Muhammad Zaki
Ibrahim, Taswuf Hitam Putih, (Solo: Tiga Serangkai, 2004), hlm. 8
[2] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7
[3] Op. Cit., hlm.
9
[4] Op. Cit., hlm.
30
[5] Hamka, Tasauf
perkembangan dan pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 20
[6] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 30
[7] Fritz Meier, Sufisme:Merambah
ke dunia mistik islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4
[8] Op. Cit., hlm.
8
[9] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 31
[10] Haidar Bagir, Buku
Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 100
[11] Op. Cit., hlm.
32 - 33
[12] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 34
[13] Ibid., hlm. 36
[14] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 36
[15] Ibid., hlm. 40
[16] Ibid., hlm. 40
– 41
[17] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 42
[18] M. Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar