Kamis, 04 Juni 2015

Makalah Tasawuf: Sejarah Perkembangan Tasawuf pada Rasulullah dan Setelahnya



SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM ISLAM

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf
Dosen : Dr. H. Fathul Mufid, M.Si.

Disusun oleh :
1.      Zaenal Muttaqin                    1410110549
2.      Umi Lathifah                         1410110554


 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015

A.    Latar Belakang
Tasawuf dapat diungkapkan sebagai kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara muslim dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan (riyadhah – mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai – nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan cara itu, segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-Ahwal) yang mulia adalah tasawuf (al-Suhrawardi, 1538).
Dengan pengertian semacam ini, maka dapat dikatakan tasawuf adalah bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlaq manusia (sebagaimana Islam diturunkan ujntuk membina akhlaq manusia) diatas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapa pun boleh menyandang predikat mutashawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, dll yang pada intinya menyandang sifat – sifat mulia, dan terhindar dari sifat tercela.
Para Sajana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya tasawuf dalam Islam. Abul A’la ‘Afifi dalam Kata Pengantar Edisi Arab, Fit Tashawwuf al-Islami wa Tarikhihi, mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda – beda kemudian menjelma menjadi satu konsep.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan beberapa masalah tentang kemunculan dan perkembangan tasawuf dalam Islam, yaitu:
1.      Bagaimana essensi tasawuf pada zaman Rasulullah saw dan sahabat?
2.      Bagaimana perkembangan tasawuf setelah masa Rasulullah saw dan sahabat?
                                                                                





C.    Pembahasan
1.      Essensi ajaran tasawuf pada masa Rasulullah saw. dan sahabat
Para linguistik dan ahli sejarah bahasa Arab sepakat bahwa kata tasawuf telah dikenal jauh sebelum datangnya Islam. Hanya saja penggunaan istilah tasawuf bagi kelompok sufi muncul pada masa “kodifikasi ilmu – ilmu Islam”.[1]
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw. Diberi panggilan sahabat. Panggialn ini adalah yang paling berharga saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang – orang yang tidak bertemu dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.[2]
Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlaq, dalam pengertian yang luas, sudah terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana keberadaan ilmu – ilmu lain. Jika kata tasawuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran – ajaran tentang ibadah, akhlaq, pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai – nilai kemanusiaan, semuanya telah diatur dalam Islam. Ajaran ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf.[3]
Menurut Ibn al-Jauzi dan Ibn Khaldun, secara garis besar membagi kehidupan kerohanian dalam Islam menjadi dua, yakni zuhud dan tasawuf. Kalau kita kembali kepada awal sejarah Islam, khususnya pada zaman Nabi, sudah ada sahabat- sahabat Nabi yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, dan banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Mereka diantaranya adalah Abdullah ibn Umar, Abu al-Darda’, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zuaib, dan Kahmas al-Hilali (Harun, 1985).[4]
Perilaku tasawuf sebenarnya sudah dilakukan Nabi Muhammad saw. Ketika hendak medapatkan wahyu kerasulan. Yakni ketika beliau berada di gua Hira. Beliau pergi menyisihkan diri, memutuskan hubungan sementara waktu dengan masyarakat sekeliling, mencari kebersihan rohani & memohon ketentuan jalan yg akan ditempuh. Di sanalah beliau melepaskan jiwa dari ikatan kemewahan dunia, keributan dan kerepotan hidup. Dibawanya sedikit bekal dan selebihnya perhatiaannya dihadapkan pada wujud semesta. Memandang dan merenung dengan mata hati ke seluruh bekas kekuasaan dan perbuatan Ilahi. ketika Ramadhan telah habis, beliaupun turun kembali, maka bertambahkuatlah pendirian dan sikap jiwanya. Menurutlah badan jasmani kepada kebersihan rohani.[5]
Seperti telah kita ketahui, bahwa sejarah islam ditandai dengan peristiwa tragis, yakni pembunuhan terhadap khalifah ketiga, Utsman bin Affan ra. Dari peristiwa itu secara berantai terjadi kekacauan dan kemrosotan akhlaq. Hal ini menyebabkan sahabat – sahabat yang masih ada, berikhtiar membangkitkan lagi ajaran Islam, pulang masuk masjid, kembali mendengarkan kisah – kisah mengenai targhib dan tarhib, mengenai keindahan hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih tasawuf paling awal.
Pada abad I Hijriyah, lahirlah Hasan Basri, seorang zahid pertama dalam sejarah tasawuf. Ia membawakan ajaran Khauf dan Raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan. Disinilah bibit tasawuf mulai muncul. Garis – garis besar mengenai Thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, seperti dalam ajaran – ajaran yang dikemukakan sudah mulai menganjurkan untuk mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), mencela dunia (dzamm al-Dunya) seperti harta, keluarga dan kedudukan.[6]
2.      Perkembangan tasawuf setelah masa Rasulullah saw. dan sahabat
a.       Masa pembentukan tasawuf
Di abad II H/8 M, terlebih khususnya diakhir abad tersebut, aliran kerohanian dikenal dengan istilah suffiya, suffiyum (sufi). Mereka disebut demikian karena kebiasaan mereka memakai pakaian dari kulit (suf, wool), yang secara sadar atau tidak, mereka terpisah dari orang banyak.[7] Adapula yang mengatakan munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-sufi. (R. A. Nicholson, 1969).[8]
Ada perbedaan pendapat tentang asal – usul kata tasawuf. Hal ini dilatarbelakangi perbedaan sudut pandang tinjauan. Tasawuf dikatakan berasal dari shuf (bulu domba), karena tinjauannya dititikberatkan pada segi lahiriah, yakni pakaian yang terbuat dari bulu yang  biasa dipakai oleh ahli tasawuf. Sementara bagi yang menyatakan dari kata shafa yang berarti bersih, adalah karena ahli tasawuf berusaha membersihkan jiwa dari sifat – sifat tercela. Dan dikatakan bebrasal dari shufanah, yakni nama kayu yang bertahan hidup di padang pasir. Karena kebanyakan ahli tasawuf berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa dan bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon tersebut.
Kemudian pada akhir abad II Hijriyah, muncul Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal ajaran cintanya(hubb al-ilah). Pada abad ini, tasawuf tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dengan corak kezuhudannya. Banyak istilah yang muncul mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqi al-qalb), hidup ikhlas, dan lain – lain.[9]
b.      Masa pengembangan tasawuf
Tasawuf pada abad ke III dan ke IV hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf pada abad sebelumnya. Wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka.[10] Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang menjurus pada persatuan hamba dengan sang khaliq. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu  Yazid Al-Bushthami (261 H), seorang sufi dari persia yang pertama kali menggunakan istilah fana’  (lebur atau hancur perasaan) sehingga dia dianggap sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.[11]
Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid mendapat julukan sebagai pendiri tasawwuf yang berasal dari Persia, yang memasukkan ide wahdah al-Wujud sebagai pemikiran orisinil dari timur sebagaimana theosofi merupakan kekhususan pemikiran Yunani (Nicholson, 1969).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (inkarnasi Tuhan). Al-Thusi dalam al-Lukman (1960) menyatakan bahwa hulul ialah Allah memilih suatu jisim yang ditempati makna rububiyyah, maka leburlah makna basyariyyah.[12]
Pada akhir abad III orang berlomba - lomba menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian  (wahdah al-syuhud), kesatuan kejadian (wahdat al-wujud), kesatuan agama – agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal ), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang kesemuanya itu tidak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah). Kemudian datanglah Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar – dasar ajaran tasawwuf dan thariqah, cara belajar dan mengajar ilmu tasawwuf, syekh, mursyid, murid dan murad, sehingga mendapat predikat Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci).
Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV H sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan mazhab. Menurut Abu al-Wafa, tasawuf pada abad – abad ini telah mencapai peringkat tertinggi dan terjernih, dan mereka menjadi tokoh – tokoh panutan para sufi sesudahnya (Abu al-Wafa, 1970).
Pada abad III dan IV ini, terdapat dua aliran. Pertama, aliran tasawuf sunni  yaitu aliran tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf “semi falsafi”, dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan – ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau Hulul) (Abu al-Wafa, 1970).[13]
c.       Masa konsolidasi tasawuf
Tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa, taswuf  semi falsafi tenggelam dan akan muncul kembali  pada abad VI Hijriyah dalam bentuk yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran theologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah  yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyatnya yang nampak bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Oleh karena itu tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie schimmael merupakan periode konsolidasi, yakni periobe yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadis. Tokoh – tokohnya ialah al-Qusyairi (376 – 465 H), al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450 – 505 H).[14]
d.      Masa falsafi
Setelah taswuf semi falsafi mendapat hambatan dari  tasawuf sunni tersebut, maka pada abad VI Hiriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term – term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat, karena itu sebut saja Tasawuf falsafi, karena disatu pihak memakai term – term filsafat, namun seara epistimologis memakai rasa.
Tokoh – tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-Wujud, Suhrawardi al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabi’in dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, Fana’  dan Wahdat al-Syuhudnya.[15]
Pada abad VI dan (dilanjutkan) abad VII Hijriyah, muncul cikal – bakal orde – orde (thariqah) sufi kenamaan. Hingga dewasa ini, pondok – pondok tersebut merupakan oasis – oasis  di tengah – tengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah saat mereka berjalan dalam suatu kekerabatan para sufi yang tersebar luas, yang mengakui seorang guru, dan menerapkan disiplin dan ritus (tata cara dalam upacara keagamaan) yang lazim (A. J. Arberry, 1978). Thariqah terkenal yang lahir dan berkembang sampai sekarang antara lain, thariqah Qadariyah yang diciptakan oleh Abd al-Qadir al-Jailani (471 – 561 H), thariqah Suhrawardiyah yanng dicetuskan oleh Syihab al-Din Umar ibn Abdillah al-Suhrawardi (539 – 631 H), thariqah Rifa’iyah, yang dicetuskan oleh Ahmad Rifa’i (512 H), thariqah Syadziliyah, yang dirintis oleh Abu al-Hasan al-Syadzily (592 – 656 H), thariqah Badawiyah, yang dicetuskan oleh Ahmad al-Badawy (596-675 H), thariqah Naqasyabandiyah, dirintis oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din al Uwaisi al-Bukhary (717-791 H), dan lain sebagainya.[16]
e.       Masa Pemurnian
Pada masa ini terlihat tanda – tanda keruntuhan kian jelas, pelencengan dan skandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya (A. J. Arberry, 1978). Tak terelak lagi legenda – legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh – tokoh sufi dikembangkan, dan masa awam segera menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali – wali. Khurafat dan Tahayyul, klenikan dan hidup memalukan, berlaku tak senonoh, bicara tak karuan, merupakan jalan mulus menuju ketenaran kekayaan dan kekuasaan (A. J. Arberry, 1978).
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mngabaikan syariat dan hukum – hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahun, berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan mengamalkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar ortodoks yang berpegang teguh pada ajaran atau aturan resmi, Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan – penyelewengan para sufi tersebut. dia terkenal kritis, peka terhadap lingkugan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Kepercayan yang melencengkan diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat dan bentuk – bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibn Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah islamiyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin (Yunus: 62 – 63).[17]
Ibn taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan Wahdat al-Wujud sebagai ajaran yang menuju ke kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari orang – orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat), ahli  tahqiq (ahli hakikat), dan ahli tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya seperti orang yang menyatakan, yakni kufur. Yang mengikutinya karena kebodohan, masih dianggap beriman (Ibn Taimiyah, 1986).
Ibn Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulallah SAW, yakni menghayati ajaran agama Islam, tanpa mengikuti ajaran thariqah tertentu, dan tetap melibatka diri dalam kegiatan sosial, sebagaiman manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.[18]

f.       Kesimpulan
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw. Diberi panggilan sahabat. Panggialn ini adalah yang paling berharga saat itu. Pada zaman Nabi, sudah ada sahabat- sahabat Nabi yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, dan banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT
Dari abad II H – sekarang telah memunculkan berbagai konsep ajaran tasawuf. Pada abad ke II yakni berkembang konsep tentang kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, cinta Allah yang dipelopori oleh Rabi’ah al-A’dawiyah.
Pada abad III dan IV H, tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang menjurus pada persatuan hamba dengan sang khaliq. Pelopornya AbuYazid al-Busthami dan al-Hallaj dengan konsep hululnya.
Tasawuf pada abad V Hijriyah, muncul tasawuf semi falsafi dan tasawuf sunni. Tokoh – tokohnya ialah al-Qusyairi (376 – 465 H), al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450 – 505 H).
Pada abad VI Hiriyah, tampillah tasawuf falsafi. Tokoh – tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-Wujud, Suhrawardi al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabi’in dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, Fana’  dan Wahdat al-Syuhudnya.
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mngabaikan syariat dan hukum – hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahun. Kemudian muncullah Ibnu Taimiyah, seorang tokoh yang ingin memurnikan ajaran tasawuf.




DAFTAR PUSTAKA

Syukur, M. Amin. Menggugat Tasawuf . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Taswuf Hitam Putih. Solo: Tiga Serangkai. 2004.
Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1994.
Meier, Fritz. Sufisme: Merambah ke dunia mistik islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. 2004.
Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Mizan. 2005.






[1] Muhammad Zaki Ibrahim, Taswuf Hitam Putih, (Solo: Tiga Serangkai, 2004), hlm. 8                                             
[2] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7
[3] Op. Cit., hlm. 9
[4] Op. Cit., hlm. 30
[5] Hamka, Tasauf perkembangan dan pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 20
[6] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 30
[7] Fritz Meier, Sufisme:Merambah ke dunia mistik islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4
[8] Op. Cit., hlm. 8
[9] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 31
[10] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 100
[11] Op. Cit., hlm. 32 - 33
[12] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 34
[13] Ibid.,  hlm. 36
[14] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 36
[15] Ibid., hlm. 40
[16] Ibid., hlm. 40 – 41
[17] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 42
[18] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar