Senin, 21 September 2015

Makalah Tafsir Ahkam: Tafsir Ayat tentang Hukum Jual Beli dan Riba



HUKUM JUAL BELI DAN RIBA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ahkami
Dosen: H. Muhammad Dzofir, M.Ag

Disusun oleh :
1. Zaenal Muttaqin                  (1410110549)
2. Wahyu Niti Astuti              (1410110551)
3. Siti Ana Ulumatun Nisak    (1410110566)
Kelas: O
Semester: Genap



 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
A.    Pendahuluan
Sebagai pemeluk agama yang baik, sudah semestinya seseorang tidak hanya menjalankan ajaran agamanya, namun juga mengerti kitab suci agar mampu menerapkannya dalam kehidupan. Kitab suci umat islam adalah Al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an adalah Bahasa Arab. Keindahan bahasanya tidak diragukan lagi, ada banyak perumpamaan dan kalimat tersirat, sehingga tafsir terhadap al-Qur’an diperlukan untuk membuat umat islam semakin paham atas kandungan di dalamnya.
Definisi kata tafsir adalah menjelaskan sesuatu. Agar dapat memahami ajaran dalam al-Qur’an secara mendalam, tafsir akan menjelaskan kalimat – kalimat atau kata yang tersirat serta dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan. Masih banyak ayat – ayat di dalam al-Qur’an yang dijelaskan dalam garis besar, sehingga membutuhkan penafsiran yang lebih rinci.
Allah SWT telah menurunkan syariat-Nya yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan dan mencakup semua lini pembahasan, baik klasik maupun kontemporer. Islam telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia diantaranya adalah ilmu ekonomi, yang bila dikaitkan dengan syariah menjadi ilmu ekonomi syariah.
Dalam praktek kekinian akan banyak dijumpai muamalah yang terkait dengan jual beli, penambahan harga, arus uang dan barang. Islam memandang praktek jual beli sebagai praktek yang sah dan memiliki maqasid yang agung yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, menjaga harta, jiwa, keturunan, akal dan ketenangan lahir dan bathin.
Namun disisi yang lain ada praktek praktek yang mengatas namakan jual beli yang pada kenyataanya adalah riba yang diharamkan oleh islam. Jual beli yang jujur dan benar akan menghasilkan keuntungan yang berkah dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh ketenangan. Sementara jual beli yang ribawi akan menyebabkan keresahan, kegundahan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Lalu bagaimana penjelasan al-Qur’an mengenai masalah jual – beli dan riba ini. Tentunya penjelasan dalam al- Qur’an ini akan sangat berguna sekali bagi kehidupan umat manusia, khususnya umat islam dalam perpraktekkan syari’ah muamalah.


B.     Teks Ayat dan Terjemahannya
Qur’an Surat Al Baqarah (2) Ayat 275 – 276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِفَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٧٥يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ﴿٢٧٦
Artinya: 275. Orang – orang yang makan harta riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran ( tekanan ) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka mengakatakan: sesungguhnya  jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Oleh karena itu siapa yang telah kesampaian peringatan  dari tuhannya ini lalu ia berhenti, maka baginya apa yang telah lalu, sedang urusan dia kembali kepada Allah; dan barang siapa yang kembali (lagi), maka mereka itu adalah ahli neraka, mereka kekal didalamnya.
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah; dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.[1]

C.    MAKNA MUFRODAT
يأكلون  : يأخذونه ويتصرفون فيه بالأكل في بطونه
“Makan”: Memakan disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah memakannya.[2]

الرّبا : الزيادة على الشيء، يقال منه: أربى فلان على فلان إذا زاد عليه
"Riba”: Tambahan atas sesuatu, dikatakan ( arbaa fulan alaa fulan ) bila ia menambahkan atasnya.[3]

لا يقومون : من قبورهم يوم القيامة
Tidak dapat bangkit dari kubur mereka pada hari kiamat
                                                                                                                                                      
يتخبطه الشيطان  : يضربه الشيطان ضرباً غير منتظم
Kesurupan atau kemasukan syetan

من المس : المس الجنون
Gila

موعظة : أمر أو نهي بترك الربا
Perintah atau larangan untuk meninggalkan riba

فله ما سلف : ليس عليه أن يراد الأموال التي سبقت توبته
Tidak ada keharusan atasnya mengembalikan harta yang telah diambil

يمحق الله الربا : أي يذهبه شيئاً فشيئاً حتى لا يبقى منه  كمحاق القمر آخر الشهر .
Allah memusnahkan riba, yaitu seperti menghilangkan perlahan – lahan hingga tak tersisa bak lenyapnya rembulan dia akhir bulan

ويربي الصدقات  : يبارك في المالك ألذي أخرجت منه ، ويزيد فيه ، ويضاعف أجرها أضعافاً كثيرة .
Menyuburkan sedekah,  memberkahi pemilik harta yang bersedekah, menambahnya dan melipat gandakan pahala dengan berlipat ganda

كفار أثيم  : الكفار : شديد الكفر ، يكفر بكل حق وعدل وخير ، أثيم : منغمس في الذنوب لا يترك كبيرة ولا صغيرة إلا ارتكابها
Kekafiran dan berbuat dosa, sangat ingkar dengan kebenaran, keadilan dan kebaikan, Atsiim : tenggelam dalam dosa, tidak meninggalkan dosa besar dan kecil.[4]



D.    ASBABUN NUZUL
Al-Abbas dan Khalid bin Walid adalah dua orang yang berkongsi di zaman jahiliyah, dengan memberikan pinjaman secara riba kepada beberapa orang suku Tsaqif. Setelah Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun ayat: “ hai orang – orang yang beriman! Takutlah kepada Allah dan tinggalkan sisa – sisa riba, jika benar-benar kamu sebagai orang-orang yang berimman” (Q.S. al-Baqarah ayat 278). Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan, dan pertama kali riba yang kuhentikannya ialah riba Al-Abbas; dan setiap (penuntutan) darah dari  darah jahiliyah harus dihentikan, dan pertama- tama darah yang kuhentikannya ialah darah Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muththalib.”[5]

E.     MUNASABAH AYAT
Pada ayat – ayat terdahulu dijelaskan tentang cara menggunakan dan membelanjakan harta yang dihalalkan oleh Allah SWT, seperti sedekah, memberi nafkah kepada karib kerabat, menafkahkan harta di jalan Allah SWT, sertapahala yang akan diperoleh bagi orang – orang yang melaksanakannya. Pada ayat berikutnya menerangkan larangan Allah SWT memakan riba, yaitu memakan harta manusia dengan cara yang tidak sah dan menerangkan pula akibatnya yang dialami pemakan riba, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[6]

F.     TAFSIR AYAT
a.         Maksud “makan” pada ayat diatas, ialah: mengambil dan membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata “makan”, karna maksud utama harta adalah untuk dimakan. Selain itu, adalah sekedar sekunder. Kata “makan” ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
“Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran ( tekanan ) penyakit gila”. Maksudnya, menurut ibnu katsir, tidaklah mereka dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat seperti orang – orang gila yang kemasukan setan. Hal ini sesuai hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, dia mencekik dirinya sendiri sampai mati”.[7]
b.      “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka mengakatakan: sesungguhnya  jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Awalnya, orang – orang yang suka mengambil riba mengatakan bahwa jual beli sama dengan riba. Sekilas praktik jual – beli dan riba memang hampir mirip karena sama- sama ada tambahan yaitu nilai lebih dari pokoknya. Hanya saja jual beli disebut marjin dalam pertukaran barang dengan uang.  Sedangkan riba adalah kelebihan dari pokok pinjaman uang atau nilai lebih dari pertukaran barang ribawi[8]. Mereka membolehkan riba dan menolak hukum – hukum (syariat) Allah. Pendapat mereka itu bukan qiyas (menganalogikan riba dengan jual beli), karena orang – orang musyrik tidak mengetahui asal disyari’atkannya jual beli oleh Allah SWT. Kalau mereka mengetahui hukum qiyas, maka pastinya mereka akan mengatakan “sesungguhnya riba itu sama dengan jual beli”, tetapi nyatanya mereka mengatakan “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”.[9]
Perkataan “ sesungguhnya jual beli sama dengan riba” itu disebut “tasybih maqlub” (persamaan terbaik), sebab “musyabbah bih-nya nilainya lebih tinggi. Sedang yang dimaksud di sini adalah: riba itu sama dengan jual beli, sama – sama halalnya. Tetapi mereka berlebihan dalam keyakinannya, bahwa riba itu dijadikannya sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamkannya dengan jual beli. Disinilah letak kehalusannya.
c.       “Orang – orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. Artinya Allah mengampuni dosa – dosa orang yang mengambil riba sebelum turunnya ayat ini, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 95.[10]
d.      “Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni – penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”. Maksudnya barang siapa yang kembali mengambil riba setelah datang larangan Allah, maka baginya siksa Allah (mereka menjadi penghuni neraka yang kekal didalamnya).[11]
e.        “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. Dalam ayat ini Allah mengabarkan, bahwa Dia menghapus praktik yang dilakukan oleh orang – orang jahiliyah riba secara total, yakni dengan cara Allah mengharamkan riba, dan Allah akan memberikan siksa kepada orang yang mengambil riba, baik di dunia dan di akhirat.[12]
Yang menjadi titik tujuan dalam ayat “Allah memusnahkan riba dan menumbuhkan sedekah” itu ialah: bahwa periba mencari keuntungan harta dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan harta dengan cara tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah Allah menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta itu. Sedang sedekah adalah sebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu. Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan akhirat kelak.[13]
Perkataan “kaffar” dan “atsim” dalam ayat itu kedua – duanya termasuk sighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan banyak dosa. Ini menunjukkan bahwa haramnya riba sangat keras sekali, dan termasuk perbuatan orang – orang kafir, bukan perbuaatan orang – orang islam.[14]

G.    Kandungan Hukum
1.      Riba yang diharamkan dalam syari’at Islam
Riba yang diharamkan oleh Islam ada dua macam, yaitu riba Nasi’ah dan riba Fadhl.
1.      Riba Nasi’ah adalah riba yang sudah dikenal di zaman jahiliyah, yaitu seseorang meminjami sejumlah uang kepada seseorang dengan batas waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan.
Ibnu Jarir berkata: “dizaman jahiliyah sudah biasa orang meminjami uang kepada oranag lain untuk waktu tertentu. Kemudian apabila batas waktu yang diberikan itu telah habis, ia minta uang itu untuk dikembalikan. Lalu orang yang berhutang berkata kepada yang menghutangi: “berilah aku waktu daan uangmu akan kubayar lebih”. Lalu keduanya sepakat untuk melakukan itu. Itulah riba yang berlipat ganda. Begitulah kemudian mereka masuk Islam, dan dilarangnya praktek seperti itu.
Riba semacam inilah yang sekarang berlaku di bank – bank, dimana mereka mengambil keuntungan tertentu, misalnya 5 atau 10%, lalu uang itu diberikan kepada syarikat – syarikat atau beberapa orang.
2.      Riba Fadhl yaitu riba yang dijelaskan oleh sunnah sebagai berikut: seseorang menukarkan barangnya yang sejenis dengan suatu tambahan. Misalnya: gandum 1 kg ditukarkan dengan 2 kg gandum. Satu rithl madu ditukarkan dengan 1,5 rithl madu Hijaz. Begitulah berlaku dalam semua yang ditakar maupun yang ditimbang.
Tentang masalah riba Fadhl ini, qaidah fiqhiyah mengatakan: apabila ada dua jenis yang sama, maka (apabila ditukar) haram minta tambahan dengan yang ditangguhakan. Tetepi apabila dua jenis itu berbeda, maka berlebih itu tidak mengapa, asal tidak ditangguhkan.
Maksudnya adalah sebagai berikut: apabila kita hendak menukar sesuatu barang yang sejenis, misalnya: minyak  dengan minyak, gandum dengan gandum, anggugr dengan anggur atau kurma dengan kurma, tidak dibenarkan berlebih secara muthlaq, tanpa memandang baik dan buruknya suatu barang tersebut. tetapi kalau jenis – jenis barang tersebut berbeda, misalnya: gandum dengan beras, minyak dengan kurma dsb. boleh saja berlebih, tetapi dengan syarat harus kontan, sebab Rasulallah saw. Bersabda:
لذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاء
Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)


2.      Halalkah riba yang sedikit? Apa yang dimaksud “riba yang berlipat ganda” dalam firman Allah diatas?
Sebagian orang yang lemah iman dewasa ini, berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji seperti yang diatas tadi, yang bunganya sangat tinggi yang bertujuan mencekik leher manusia. Adapun bunga yang sedikit yang tidak lebih dari 2 atau 3%, tidaklah haram. Alasannya ialah firman Allah لاَتآكلوا ا“ jangan kamu makan riba dengan berlipat ganda”. Dengan anggapannya yang batil itu, mereka mengatakan: hanya riba yang demikian itulah yang diharamkan. Larangan diatas adalah bersyarat dan terikat, yaitu “lipat ganda”. Jadi kalau tidak lipat ganda, yakni rentennya itu hanya jumlah yang kecil, maka tidak ada jalan untuk diharamkannya.
Pendapat ini dapat dijawab sebagai berikut:
a.     Kata “lipat ganda” itu tidak dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Itu hanya dikatakan sebagai “waqi’atul ‘ain” suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di zaman jahiliah, sebagaimana dijelaskan dalam asbabun nuzul di atas; dan sekedar menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan itu, yaitu mereka mengambil riba sampai berlipat ganda.
b.    Seluruh kaum muslimin telah sepakat untuk mengharamkan riba, baik sedikit maupun banyak. Oleh karena itu yang mengatakan riba sedikit itu tidak haram itu adalah keluar dari ijma’, yang berarti menunjukkan kebodohanya terhadap pokok syari’ah. Sebab sedikit riba bisa menarik kepada riba yang lebih banyak. Islam ketika mengharamkan sesuatu, ia haramkan secara keseluruhannya, berdasar kaidah “saddud dzari’ah” (mencegah meluasnya bahaya). Sebab kalau yang sedikit itu dibolehkan, niscaya akan membawa kepada yang banyak. Riba dalam masalah ini sama dengan arak. Apakah ada orang muslimin yang sehat akalnya mengatakan bahwa arak sedikit itu hukumnya halal?.
c.     Kepada mereka yang masih belum mengerti, padahal tergolong terpelajar, itu kami katakan: “apakah kalian mengaku beriman kepada sebagian kitab dan kufur kepada sebagiannya?” mengapa justru ayat itu yang kalian pakai dalil. Mengapa anda tidak berdalil dengan ayat: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”, “Takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba”, “Allah menghapuskan riba dan menumbuhkan shadaqah”? apakah ayat-ayat tersebut diikat dengan sedikit atau banyak? Ataukah ayat itu tetap seara mutlaq?.
Begitu juga hadis Jabir mengatakan:
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَا, وَمُوكِلَهُ, وَكَاتِبَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 


Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.

Riba dengan segala macamnya diharamkan berdasarkan nas-nas yang tegas diatas. Sedikit ataupun banyak, hukumnya sama. Tepat sekali apa yang difirmankan Allah: “ Allah menghapuskan riba dan menumbuhkan sedekah, dan Allah tidak suka setiap orang tetap dalam dosa dan banyak berbuat dosa”.[15]



H.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa semua jenis dan macam riba adalah haram dan hukum jual beli adalah halal


DAFTAR PUSTAKA

As-Shobuni, Muhammad Ali. Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an. Damaskus: Maktabah Al-Ghozali. 1980.
            Az-Zuhaili, Wahabah. Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj. Beirut: Daarul Fikr. 2009.
Darwis, Muhyidin Bin Ahmad. Tafsir I’raabul qur’an wa Bayanuhu. Darul Irsyad Lis Syuunil Al Jami’ah. Damaskus: 1415 H.
Ja'far, Abu dan Muhammad bin Jarir at-Thobari. Jami'ul Bayan 'An Ta'wili Aayil Qur'an. Tafsir At-Thobari).  Jilid 6. Riyadh: Dar Hijr. 2006.
Mardani. Tafsir Ahkam.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.
Suwigyo, Dwi. Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.




[1] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus:: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 271
[2] Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir at-Thobari, Jami'ul Bayan 'An Ta'wili Aayil Qur'an (Tafsir At-Thobari),  Jilid 6,  (Riyadh: Dar Hijr, 2006),  hlm. 33
[3] Muhyidin Bin Ahmad Darwis Tafsir I’raabul qur’an wa Bayanuhu, Darul Irsyad Lis Syuunil Al Jami’ah, Damaskus, 1415 H, hal:47/1
                [4] Wahabah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, (Beirut: Daarul Fikr,2009)
[5]Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus:: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 273
[6] Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 319
[7] Ibid., hlm. 323
[8] Dwi Suwigyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.128
[9] Op. Cit., hlm. 323
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 324
[12] Ibid.
[13] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus:: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 275
[14] Ibid.
[15] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus:: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 277 - 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar