HUKUM JUAL BELI DAN RIBA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ahkami
Dosen: H. Muhammad Dzofir,
M.Ag
Disusun oleh :
1. Zaenal Muttaqin (1410110549)
2. Wahyu Niti Astuti (1410110551)
3. Siti Ana Ulumatun Nisak (1410110566)
Kelas: O
Semester: Genap
![]() |
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
A.
Pendahuluan
Sebagai pemeluk agama yang baik, sudah semestinya seseorang tidak
hanya menjalankan ajaran agamanya, namun juga mengerti kitab suci agar mampu
menerapkannya dalam kehidupan. Kitab suci umat islam adalah Al-Qur’an yang
diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa
yang digunakan dalam al-Qur’an adalah Bahasa Arab. Keindahan bahasanya tidak
diragukan lagi, ada banyak perumpamaan dan kalimat tersirat, sehingga tafsir
terhadap al-Qur’an diperlukan untuk membuat umat islam semakin paham atas
kandungan di dalamnya.
Definisi kata tafsir adalah menjelaskan sesuatu. Agar dapat
memahami ajaran dalam al-Qur’an secara mendalam, tafsir akan menjelaskan
kalimat – kalimat atau kata yang tersirat serta dapat digunakan untuk mengambil
kesimpulan. Masih banyak ayat – ayat di dalam al-Qur’an yang dijelaskan dalam
garis besar, sehingga membutuhkan penafsiran yang lebih rinci.
Allah SWT telah menurunkan syariat-Nya yang
sempurna, mengatur segala aspek kehidupan dan mencakup semua lini pembahasan,
baik klasik maupun kontemporer. Islam telah melahirkan berbagai disiplin
ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia diantaranya adalah ilmu
ekonomi, yang bila dikaitkan dengan syariah menjadi ilmu ekonomi syariah.
Dalam praktek kekinian akan banyak dijumpai
muamalah yang terkait dengan jual beli, penambahan harga, arus uang dan barang. Islam memandang praktek jual beli sebagai praktek
yang sah dan memiliki maqasid yang agung yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup
manusia, menjaga harta, jiwa, keturunan, akal dan ketenangan lahir dan bathin.
Namun disisi yang lain ada praktek praktek yang mengatas namakan jual beli yang pada kenyataanya
adalah riba yang diharamkan oleh islam. Jual beli yang jujur dan benar akan
menghasilkan keuntungan yang berkah dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan penuh ketenangan. Sementara jual beli yang ribawi akan menyebabkan
keresahan, kegundahan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Lalu bagaimana
penjelasan al-Qur’an mengenai masalah jual – beli dan riba ini. Tentunya
penjelasan dalam al- Qur’an ini akan sangat berguna sekali bagi kehidupan umat
manusia, khususnya umat islam dalam perpraktekkan syari’ah muamalah.
B.
Teks Ayat dan Terjemahannya
Qur’an Surat Al Baqarah (2) Ayat 275
– 276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن
رَّبِّهِفَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٧٥يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ
يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ﴿٢٧٦
Artinya: 275. Orang
– orang yang makan harta riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan, lantaran ( tekanan ) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Oleh karena itu siapa yang
telah kesampaian peringatan dari
tuhannya ini lalu ia berhenti, maka baginya apa yang telah lalu, sedang urusan
dia kembali kepada Allah; dan barang siapa yang kembali (lagi), maka mereka itu
adalah ahli neraka, mereka kekal didalamnya.
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah; dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.[1]
C.
MAKNA MUFRODAT
يأكلون : يأخذونه ويتصرفون فيه بالأكل في
بطونه
“Makan”: Memakan disini berarti mengambil atau
memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk
dalam mengambil manfaat adalah memakannya.[2]
الرّبا : الزيادة على الشيء، يقال منه: أربى فلان على فلان إذا زاد عليه
"Riba”: Tambahan atas sesuatu, dikatakan ( arbaa fulan alaa fulan )
bila ia menambahkan atasnya.[3]
لا يقومون : من قبورهم يوم القيامة
Tidak dapat bangkit dari kubur mereka pada hari kiamat
يتخبطه الشيطان : يضربه الشيطان ضرباً غير منتظم
Kesurupan atau kemasukan syetan
من المس : المس الجنون
Gila
موعظة : أمر أو نهي بترك الربا
Perintah atau larangan untuk meninggalkan riba
فله ما سلف : ليس عليه أن يراد الأموال التي سبقت توبته
Tidak ada keharusan atasnya mengembalikan harta yang
telah diambil
يمحق الله الربا : أي يذهبه شيئاً فشيئاً حتى لا يبقى منه كمحاق القمر آخر الشهر .
Allah memusnahkan riba, yaitu seperti menghilangkan
perlahan – lahan hingga tak tersisa bak lenyapnya rembulan dia akhir bulan
ويربي الصدقات : يبارك في المالك ألذي أخرجت منه ،
ويزيد فيه ، ويضاعف أجرها أضعافاً كثيرة .
Menyuburkan sedekah, memberkahi pemilik harta
yang bersedekah, menambahnya dan melipat gandakan pahala dengan berlipat ganda
كفار أثيم : الكفار : شديد الكفر ، يكفر
بكل حق وعدل وخير ، أثيم : منغمس في الذنوب لا يترك كبيرة ولا صغيرة إلا
ارتكابها
Kekafiran dan berbuat dosa, sangat ingkar dengan
kebenaran, keadilan dan kebaikan, Atsiim : tenggelam dalam dosa, tidak
meninggalkan dosa besar dan kecil.[4]
D.
ASBABUN NUZUL
Al-Abbas dan Khalid bin Walid adalah dua orang yang berkongsi di
zaman jahiliyah, dengan memberikan pinjaman secara riba kepada beberapa orang
suku Tsaqif. Setelah Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa riba
dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun ayat: “ hai orang – orang yang
beriman! Takutlah kepada Allah dan tinggalkan sisa – sisa riba, jika
benar-benar kamu sebagai orang-orang yang berimman” (Q.S. al-Baqarah ayat
278). Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap
riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan, dan pertama kali riba yang
kuhentikannya ialah riba Al-Abbas; dan setiap (penuntutan) darah dari darah jahiliyah harus dihentikan, dan
pertama- tama darah yang kuhentikannya ialah darah Rabi’ah bin al-Harits bin
Abdul Muththalib.”[5]
E.
MUNASABAH AYAT
Pada ayat – ayat terdahulu dijelaskan tentang cara menggunakan dan
membelanjakan harta yang dihalalkan oleh Allah SWT, seperti sedekah, memberi
nafkah kepada karib kerabat, menafkahkan harta di jalan Allah SWT, sertapahala
yang akan diperoleh bagi orang – orang yang melaksanakannya. Pada ayat
berikutnya menerangkan larangan Allah SWT memakan riba, yaitu memakan harta
manusia dengan cara yang tidak sah dan menerangkan pula akibatnya yang dialami
pemakan riba, baik di dunia maupun di akhirat kelak.[6]
F.
TAFSIR AYAT
a.
Maksud
“makan” pada ayat diatas, ialah: mengambil dan membelanjakannya. Tetapi
disini dipakai dengan kata “makan”, karna maksud utama harta adalah
untuk dimakan. Selain itu, adalah sekedar sekunder. Kata “makan” ini sering
pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak
benar.
“Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran ( tekanan )
penyakit gila”. Maksudnya,
menurut ibnu katsir, tidaklah mereka dibangkitkan dari kuburnya pada hari
kiamat seperti orang – orang gila yang kemasukan setan. Hal ini sesuai hadis
nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “pemakan riba akan dibangkitkan pada
hari kiamat dalam keadaan gila, dia mencekik dirinya sendiri sampai mati”.[7]
b.
“Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka mengakatakan: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Awalnya, orang – orang yang suka mengambil riba mengatakan bahwa
jual beli sama dengan riba. Sekilas praktik jual – beli dan riba memang hampir
mirip karena sama- sama ada tambahan yaitu nilai lebih dari pokoknya. Hanya
saja jual beli disebut marjin dalam pertukaran barang dengan uang. Sedangkan riba adalah kelebihan dari pokok
pinjaman uang atau nilai lebih dari pertukaran barang ribawi[8].
Mereka membolehkan riba dan menolak hukum – hukum (syariat) Allah. Pendapat
mereka itu bukan qiyas (menganalogikan riba dengan jual beli), karena orang –
orang musyrik tidak mengetahui asal disyari’atkannya jual beli oleh Allah SWT.
Kalau mereka mengetahui hukum qiyas, maka pastinya mereka akan mengatakan
“sesungguhnya riba itu sama dengan jual beli”, tetapi nyatanya mereka mengatakan
“sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”.[9]
Perkataan “ sesungguhnya jual beli sama dengan riba” itu
disebut “tasybih maqlub” (persamaan terbaik), sebab “musyabbah bih-nya nilainya
lebih tinggi. Sedang yang dimaksud di sini adalah: riba itu sama dengan jual
beli, sama – sama halalnya. Tetapi mereka berlebihan dalam keyakinannya, bahwa
riba itu dijadikannya sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamkannya
dengan jual beli. Disinilah letak kehalusannya.
c.
“Orang
– orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. Artinya Allah mengampuni dosa – dosa orang yang mengambil riba
sebelum turunnya ayat ini, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.
Al-Maidah (5) ayat 95.[10]
d.
“Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni – penghuni
neraka; mereka kekal didalamnya”.
Maksudnya barang siapa yang kembali mengambil riba setelah datang larangan
Allah, maka baginya siksa Allah (mereka menjadi penghuni neraka yang kekal
didalamnya).[11]
e.
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa”. Dalam ayat ini
Allah mengabarkan, bahwa Dia menghapus praktik yang dilakukan oleh orang –
orang jahiliyah riba secara total, yakni dengan cara Allah mengharamkan riba,
dan Allah akan memberikan siksa kepada orang yang mengambil riba, baik di dunia
dan di akhirat.[12]
Yang menjadi titik tujuan dalam ayat “Allah memusnahkan riba dan
menumbuhkan sedekah” itu ialah: bahwa periba mencari keuntungan harta
dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan harta dengan cara
tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah Allah menjelaskan, bahwa riba
menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta itu. Sedang
sedekah adalah sebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu.
Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan akhirat kelak.[13]
Perkataan “kaffar” dan “atsim” dalam ayat itu kedua –
duanya termasuk sighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan banyak
dosa. Ini menunjukkan bahwa haramnya riba sangat keras sekali, dan termasuk
perbuatan orang – orang kafir, bukan perbuaatan orang – orang islam.[14]
G.
Kandungan Hukum
1.
Riba
yang diharamkan dalam syari’at Islam
Riba yang diharamkan oleh Islam ada dua macam, yaitu riba Nasi’ah
dan riba Fadhl.
1.
Riba
Nasi’ah adalah riba yang sudah dikenal di zaman jahiliyah, yaitu seseorang
meminjami sejumlah uang kepada seseorang dengan batas waktu tertentu, misalnya
sebulan atau setahun, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang
diberikan.
Ibnu Jarir berkata: “dizaman
jahiliyah sudah biasa orang meminjami uang kepada oranag lain untuk waktu
tertentu. Kemudian apabila batas waktu yang diberikan itu telah habis, ia minta
uang itu untuk dikembalikan. Lalu orang yang berhutang berkata kepada yang
menghutangi: “berilah aku waktu daan uangmu akan kubayar lebih”. Lalu keduanya
sepakat untuk melakukan itu. Itulah riba yang berlipat ganda. Begitulah
kemudian mereka masuk Islam, dan dilarangnya praktek seperti itu.
Riba semacam inilah yang sekarang
berlaku di bank – bank, dimana mereka mengambil keuntungan tertentu, misalnya 5
atau 10%, lalu uang itu diberikan kepada syarikat – syarikat atau beberapa
orang.
2.
Riba
Fadhl yaitu riba yang dijelaskan oleh sunnah sebagai berikut: seseorang
menukarkan barangnya yang sejenis dengan suatu tambahan. Misalnya: gandum 1 kg
ditukarkan dengan 2 kg gandum. Satu rithl madu ditukarkan dengan 1,5 rithl madu
Hijaz. Begitulah berlaku dalam semua yang ditakar maupun yang ditimbang.
Tentang masalah riba Fadhl ini,
qaidah fiqhiyah mengatakan: apabila ada dua jenis yang sama, maka (apabila
ditukar) haram minta tambahan dengan yang ditangguhakan. Tetepi apabila dua
jenis itu berbeda, maka berlebih itu tidak mengapa, asal tidak ditangguhkan.
Maksudnya adalah sebagai berikut:
apabila kita hendak menukar sesuatu barang yang sejenis, misalnya: minyak dengan minyak, gandum dengan gandum, anggugr
dengan anggur atau kurma dengan kurma, tidak dibenarkan berlebih secara
muthlaq, tanpa memandang baik dan buruknya suatu barang tersebut. tetapi kalau
jenis – jenis barang tersebut berbeda, misalnya: gandum dengan beras, minyak
dengan kurma dsb. boleh saja berlebih, tetapi dengan syarat harus kontan, sebab
Rasulallah saw. Bersabda:
لذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ
أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاء
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan)
harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut
dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR.
Muslim no. 1584)
2.
Halalkah
riba yang sedikit? Apa yang dimaksud “riba yang berlipat ganda” dalam firman
Allah diatas?
Sebagian orang yang lemah iman
dewasa ini, berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji
seperti yang diatas tadi, yang bunganya sangat tinggi yang bertujuan mencekik
leher manusia. Adapun bunga yang sedikit yang tidak lebih dari 2 atau 3%,
tidaklah haram. Alasannya ialah firman Allah لاَتآكلوا
ا“ jangan kamu makan riba
dengan berlipat ganda”. Dengan anggapannya yang batil itu, mereka mengatakan:
hanya riba yang demikian itulah yang diharamkan. Larangan diatas adalah bersyarat
dan terikat, yaitu “lipat ganda”. Jadi kalau tidak lipat ganda, yakni rentennya
itu hanya jumlah yang kecil, maka tidak ada jalan untuk diharamkannya.
Pendapat ini dapat dijawab sebagai
berikut:
a.
Kata
“lipat ganda” itu tidak dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Itu hanya
dikatakan sebagai “waqi’atul ‘ain” suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah
terjadi di zaman jahiliah, sebagaimana dijelaskan dalam asbabun nuzul di atas;
dan sekedar menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan itu, yaitu mereka
mengambil riba sampai berlipat ganda.
b.
Seluruh
kaum muslimin telah sepakat untuk mengharamkan riba, baik sedikit maupun
banyak. Oleh karena itu yang mengatakan riba sedikit itu tidak haram itu adalah
keluar dari ijma’, yang berarti menunjukkan kebodohanya terhadap pokok
syari’ah. Sebab sedikit riba bisa menarik kepada riba yang lebih banyak. Islam
ketika mengharamkan sesuatu, ia haramkan secara keseluruhannya, berdasar kaidah
“saddud dzari’ah” (mencegah meluasnya bahaya). Sebab kalau yang sedikit itu
dibolehkan, niscaya akan membawa kepada yang banyak. Riba dalam masalah ini
sama dengan arak. Apakah ada orang muslimin yang sehat akalnya mengatakan bahwa
arak sedikit itu hukumnya halal?.
c.
Kepada
mereka yang masih belum mengerti, padahal tergolong terpelajar, itu kami
katakan: “apakah kalian mengaku beriman kepada sebagian kitab dan kufur kepada
sebagiannya?” mengapa justru ayat itu yang kalian pakai dalil. Mengapa anda
tidak berdalil dengan ayat: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”,
“Takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba”, “Allah
menghapuskan riba dan menumbuhkan shadaqah”? apakah ayat-ayat tersebut diikat
dengan sedikit atau banyak? Ataukah ayat itu tetap seara mutlaq?.
Begitu
juga hadis Jabir mengatakan:
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: (
لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَا, وَمُوكِلَهُ,
وَكَاتِبَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ ) رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
|
||
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat
pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau
bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.
Riba dengan segala macamnya diharamkan berdasarkan nas-nas yang
tegas diatas. Sedikit ataupun banyak, hukumnya sama. Tepat sekali apa yang
difirmankan Allah: “ Allah menghapuskan riba dan menumbuhkan sedekah, dan
Allah tidak suka setiap orang tetap dalam dosa dan banyak berbuat dosa”.[15]
|
H.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa semua jenis dan macam riba adalah haram dan hukum jual beli adalah halal
DAFTAR PUSTAKA
As-Shobuni, Muhammad Ali. Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an. Damaskus:
Maktabah Al-Ghozali. 1980.
Az-Zuhaili, Wahabah. Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj. Beirut: Daarul Fikr. 2009.
Darwis, Muhyidin Bin Ahmad. Tafsir I’raabul qur’an wa Bayanuhu. Darul Irsyad Lis Syuunil Al Jami’ah. Damaskus: 1415 H.
Ja'far, Abu dan Muhammad bin Jarir at-Thobari. Jami'ul Bayan 'An Ta'wili Aayil Qur'an. Tafsir At-Thobari). Jilid 6. Riyadh: Dar Hijr. 2006.
Mardani. Tafsir Ahkam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2014.
Suwigyo, Dwi. Kompilasi
Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2010.
[1] Muhammad
Ali As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an,
(Damaskus:: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 271
[2] Abu Ja'far, Muhammad
bin Jarir at-Thobari, Jami'ul Bayan 'An Ta'wili Aayil Qur'an (Tafsir
At-Thobari), Jilid 6, (Riyadh: Dar Hijr, 2006), hlm. 33
[3] Muhyidin Bin Ahmad
Darwis Tafsir I’raabul qur’an wa Bayanuhu, Darul Irsyad Lis Syuunil Al
Jami’ah, Damaskus, 1415 H, hal:47/1
[5]Muhammad Ali
As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 273
[6] Mardani, Tafsir
Ahkam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 319
[7] Ibid., hlm.
323
[8] Dwi Suwigyo, Kompilasi
Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.128
[9] Op. Cit., hlm.
323
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm.
324
[12] Ibid.
[13] Muhammad Ali
As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 275
[14] Ibid.
[15] Muhammad Ali
As-Shobuni, Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an, (Damaskus::
Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 277 - 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar