Minggu, 24 Mei 2015

Makalah Ilmu Fiqih: Hisab Ru'yah dan Permasalahannya



HISAB RU’YAH DAN PERMASALAHANNYA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi tugas
Mata Kuliah : FIQIH (Ibadah)
Dosen Pengampu : Drs. Umar, Lc., M.Ag.


DisusunOleh:
Muhammad Haidarullah         :1410110559
Ahmad Muwafaqul Hilal        :1410110561
Putri Setyo Utami                   :1410110560

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Masalah penentuan awal bulan qamariyah terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah merupakan persoalan klasik yang senantiasa aktual. Masalahnya bukan saja terkait dengan agama tetapi dalam pelaksanaanya terkait juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Falak (Astronomi), masalah sosial masyarakat, bahkan sudah merambah masuk dalam ranah politik. Semuanya berjalan berkelindan, tidak dapat dipisahkan sehingga membuat persoalan semakin kompleks.
Walaupun hal ini sering terjadi dan menimbulkan kebingungan di masyarakat, namun tingkat toleransi masyarakat cukup tinggi. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masalah agama yang peka itu dapat menimbulkan keresahan yang akan mengganggu ketentraman masyarakat bila ada faktor lain yang memicunya.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan menjelaskan sedikit tentang Hisab dan Ru’yah yang ada di Indonesia. Supaya tingkat toleransi selalu dijaga.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu,
1.      Apa pengertian Hisab dan Ru’yah?
2.      Apa perbedaan antara Hisab dan Ru’yah?
3.      Apa kriteria awal bulan qamariyah?
4.      Apa permasalahan sekitar Ru’yah dan Hisab?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hisab dan Ru’yah
Hisab merupakan Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan) dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi dan matematis, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak bulan dengan demikian diketahui pula awal bulan qomariyah tersebut.
Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan) dengan jalan melihat dengan panca indera mata timbulnya/munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga bulan tidak dapat dilihat maka hendaknya menggunakan isti’mal (menyempurnakan bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab dan ru’yah adalah dua istilah yang popular dikalangan umat islam sebagai cara untuk menetapkan waktu permulaan puasa. Sebenarnya dua istilah tersebut bukanlah kegunaanya hanya untuk menetapkan waktu permulaan puasa, tetapi juga untuk menetapkan idul fitri,  idul adha, menetapkan awal bulan tiap bulan qomariyah, serta juga untu menerapkan waktu sholat. Lebih dari itu hisab digunakan pula untuk menetapkan arah kiblat.[1]
B.     Perbedaan Antara Hisab dan Ru’yah
Dari penjelasan diatas, Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah dengan melihat melalui panca indera mata.[2] Berdasarkan hadits berikut:
عن أابى هريرة رضي ألله عنه يقول: قال النبي صلى ألله عليه وسلم اوقال أبو القاسمصلى ألله عليه وسلم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإ ن عبرعليكم فأ كملوا عدت شعبا ن ثلا ثين. ( رواه البخا رى )
Artinya:  Dari Abu Hurairah bersabda Rasulullah SAW, (yang dikenal pula dangan sebutan Abu Qasim): “berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan, jika kamu sekalian tidak dapat melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari.” (HR Al Bukhari).

عن ابن عمر رضى الله عنهما أن رسول الله صلى ألله عليه وسلم ذكر رمضا ن فضرب بيده فقا ل: الشهر هكذ ا وهكذا ثم عقد ابها مه فى الثا لثة , فصو موا لرؤيته وافطروا لرؤيته فإ ن اغمى عليكم فا قد روا له ثلا ثين       (رواه مسلم)

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW, menceritakan bulan ramadhan lalu memukul keduatangannya dan bersabda ”bulan itu adalah sekian dan sekian bulan beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan yang ketiga kali (maksudnya menunjukkan bahwa bulan itu jumlahnya terdiri dari 29 hari), maka berpuasalah kamu Karena melihat bulan dan berlebaranlah kamu Karena melihat bulan. Jika kamu sekalian jika kamu sekalian tidak dapat melihatnya karena tertutup awan mendung maka pastikanlah hari pada bulan itu menjadi 30 hari.”( HR. muslim).[3]
Maka ru’yah metode melihat hilal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sewaktu masih hidup. Metode sesuai dengan situasi dan kondisi yang konkret terjadi pada waktu itu (empirik), namun tidak dapat menentukan jumlah hari dalam satu bulan qamariyah. Dalam masalah ru’yah ini termasuk dalam wilayah ta’abbudi. Oleh karena itu harus dan hanya berdasarkan oelh wahyu secara eksplisit. Dengan demikian, ketentuan awal dan akhir bulan qamariyah karena wahyu Allah bukan hasil olah pikir manusia dan hanya mengikuti petunjuk dari Rasulullah SAW.[4] Kerja ru’yah sebagai metode empirik menentukan awal dan akhir bulan qamariyah dan menentukan kriteria awal dan akhir bulan qamariyah.[5]
Berbeda dengan hisab, suatu cara menentukan awal bulan qamariyah dengan menghitung dan sistematis, sehingga dapat ditentukan letak bulan. Dalam metode ini dapat ditentukan jauh-jauh kemudian awal dan akhir bulan dan jumlah hari dalam satu bulan qamariyah. Namun metode ini tidak digunakan oleh Rasulullah SAW. Dalam masalah hisab termasuk dalam ta’aqquli atau ijtihadi.[6] Karena masalah ini dianalisis dan dipecahkan dengan menggunakan rasio atau akal dan hasil olah pikir manusia.[7] Dan kerja hisab hanyalah sampai pada menentukan posisi atau kedudukan Bulan pada saat tertentu, seperti Ijma’ Matahari dan Bulan.[8]
C.    Kriteria Awal Bulan Qamariyah
Kriteria awal bulan qamariyah mengacu pada pilihan dalil yang dijadikan pedoman dan logika yang dibangun untuk memahaminya. Mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, hilal atau bulan sabit ditetapkan sebagai tanda masuknya bulan qamariyah. Sesuai dengan firman Allah SWT , dalam surat Al-Baqarah ayat 189 (terjemahnya) “mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal (bulan sabit), katakanlah bilan sabit adalah tanda-tanda wakti bagi manusia dan (bagi ibadah) haji....”.[9]
Perubahan posisi Bulan dan Matahari membentuk bentuk bulan semu. Bentuk bulan semu yang selalu berubah-ubah merupakan silkus yang ditegaskan dalam surat Yasin ayat 39 (terjemahannya) “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga ( setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. Ayat ini mengisyaratkan bahwa dimulainya bulan baru qamariyah itu apabila Bulan telah kembali pada bentuknya yang kecil.[10]
Dalam surat Yasin ayat 40 menjelaskan (terjemahannya) “tidaklah bagi Matahari mendapatkan Bulan....”. Bahwa peredaran Bulan mengelilingi Bumi lebih cepat dari peredaran semu Matahari yang arahnya sama, yaitu dari arah Barat ke Timur. Bila dihubungkan kedua ayat diatas menunjukkan bahwa bulan baru qamariyah ditandai dengan didahuluinya Matahari yang bergerak lambat oleh Bulan yang bergerak lebih cepat dan searah dari arah Barat ke Timur.[11]
Untuk garis patokan yang harus dipedomi dalam menentukan awal bulan qamariyah adalah situasi senja hari tatkala Matahari terbenam karena situasi seperti itu ditentukan oleh terbenamnya Matahari sedang terbenamnya Matahari adalah terhadap ufuk atau horizon.[12]
D.    Permasalahan Sekitar Ru’yah dan Hisab
Berikut ini adalah beberapa masalah yang bersangkutan dengan ru’yah dan hilal.
Andaikata ahli hisab membilang bahwa bulan Ramadhan tahun ini itu 29 hari sebagai kejadian tahun 1969 H. Orang islam melihat hilal yang tidak bisa dilihat petang itu. Apakah orang islam harus mengikuti ahli hisab yang mengatakan bahwa bulan Syawal sudah masuk, ataukah akan mengikuti Nabi SAW, supaya meneruskan puasa 30 hari? Jawabnya kita harus dan wajib mengikuti Nabi SAW, bukan mengikuti ahli hisab.
Apabila ahli hisab ilmu falaq umpamanya mengatakan bahwa bulan puasa tahun ini 29 hari, karena bulan dan matahari Ijtima’ pukul sekian dan menit sekian. Kalau konsekuen mengikuti Nabi SAW, maka besoknya belum boleh berhari raya, tetapi harus berpuasa sampai 30 hari dan baru besoknya berhari raya.
Andaikata kalau ahli hisab falak tidak ada disuatu daerah atau negeri. Bagaimana melaksanakan ibadah puasa? Dan bagaimana kalau ahli hisab itu orang yang bukan beragama islam? Pendeknya janganlah dianggap bahwa masuk dan keluarnya puasa dengan hisab itu lebih mudah dari ru’yah, mungkin ru’yah lebih mudah karena pada setiap orang dan tempat-tempat yang dapat melihat bulan disitu ada pada setiap negeri dan daerah. Bahwa Nabi Muhammad SAW,  dan para sahabat terus berpuasa apabila ada seorang diantaranya melihat hilal dan tidak mesti untuk melihat bulan itu seluruh orang islam di daerah itu. Hanya dijadikan syarat bahwa yang melihat itu harus orang mukmin yang mengetahui Allah dan Rasul-Nya. Penglihatan orang kafir tidak bisa diterima karena tidak bisa dipercayai.[13]
Ilmu astronomi termasuk ilmu falaq miqot, dewasa ini telah berkembang sangat pesat sehingga tampaknya perbedaan perhitungan seperti yang dikemukakan oleh para ulama’ terdahulu itu telah semakin kecil. Para ahli telah dapat memperhitungkan peredaran dan posisi matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya dengan tepat sekali tanpa perbedaan. Peristiwa ijtima’ dan hilal telah dapat diketahui waktunya secara tepat dan begitu pula berbagai keadaan yang berkenaan dengan kepentingan ru’yah. Dengan demikian walaupun perhitungan astronomi itu sendiri tetap dijadikan sebagai pegangan menentukan awal puasa, tetapi keberadaanya sekarang sangat membantu di dalam upaya melakukan ru’yah. Dengan mempedomi hasil-hasil perhitungan itu dapat ditentukan apakah pada malam akhir bulan Sya’ban misalnya, bulan telah mungkin dilihat beerdasarkan  posisi tinggi besarnya, cuacanya, dan lamanya berada di atas ufuk.
Bila hilal Ramadhan  telah tampak disuatu negeri, maka selain penduduk negeri tersebut, penduduk negeri yang berdekatan dengannya pun wajib melakukan puasa. Sebagian ulama’ mengukur dekat dan jauhnya dengan jarak, akan tetapi pendapat yang lebih kuat mengukurnya dengan kesatuan matla’. Dua negeri dianggap berdekatan apabila keduanya mengalami peristiwa terbit matahari pada waktu yang bersamaan. Hal ini dapat pula diketahui berdasarkan garis-garis bujur dan lintas geografisnya.[14]



BAB II
PENUTUP
Simpulan
Hisab merupakan suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan) dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi dan matematis. Dan Ru’yah merupakan suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan) dengan jalan melihat dengan panca indera mata.
Perbedaan antara ru’yah dan hisab yaitu, ru’yah termasuk wilayah ta’abbudi dengan cara empirik dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, semasa hidup beliau. Sedangkan hisab termasuk ke dalam wilayah ta’aqquli dengan cara menghitung dan sistematis tetapi tidak ada pada masa Rasulullah SAW.
Kriteria awal bulan qamariyah tejadi bila Ijtima’ atau penamakan bulan baru atau hilal pada ufuk barat yang berbentuk bulan sabit. Dalam permasalahan dalam meru’yah atau menghisab untuk menentukan awal bulan baru qamariyah kita harus berpedoman Al-Qur’an, Hadits dann Ijma’ ulama’ dan harus disikapi dengan rasa  toleransi yang tinggi.
Saran
Kita sebagai ummat Islam haruslah tau mengenai ru’yah dan hisab baik dari pengertian, kriteria awal bulan baru qamariyah maupun menyikapi permasalahan yang timbul karena perbedaan pendapat tentang ru’yah dan hisab. Jika dihadapkan dalam permasalahannya, haruslah kita menggunakan al-Qur’an dan Hadits yang dijalankan oleh Rasulullah SAW, dan para sahabat. Karena sebaik-baiknya aplikasi tafsir (al-Qur’an dan Hadits) adalah masa Rasulullah SAW, dan para sahabat.



DAFTAR PUSTAKA
Daradjat , Zakiah. 1995 . Ilmu Fiqih 1. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Hadi , Yasin dan Solikul. 2008.  Fiqih Ibadah. Kudus: DIPA STAIN Kudus
Abbas , Siradjuddin. 1992. 40 Masalah Agama Jus 1. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Nasution , Lahmuddin. 1995.  Fiqih 1. Jakarta: Logos


[1]   DR. Zakiah Daradjat , Ilmu Fiqih 1, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995) hlm. 284-285
[2]   Ibid,
[3]  Ibid, hlm. 286
[4]  Yasin dan Solikul Hadi, Fiqih Ibadah, ( Kudus: DIPA STAIN Kudus, 2008), hlm. 126
[5]  Ibid, hlm. 129
[6]  Ibid, hlm. 126-127
[7]  Ibid, hlm. 126
[8]  Ibid, hlm. 129
[9]  Ibid, hlm. 130-131
[10]  Ibid, hlm. 132
[11]  Ibid,
[12]  Ibid, hlm. 134
[13]  Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jus 1, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992), hlm. 236, 238, 244
[14]  Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, (Jakarta: Logos, 1995), hlm. 185-187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar