HISAB RU’YAH DAN PERMASALAHANNYA
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi tugas
Mata
Kuliah : FIQIH (Ibadah)
Dosen
Pengampu : Drs. Umar, Lc.,
M.Ag.
DisusunOleh:
Muhammad Haidarullah :1410110559
Ahmad Muwafaqul Hilal :1410110561
Putri Setyo Utami
:1410110560
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Masalah penentuan awal bulan qamariyah
terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah merupakan persoalan klasik
yang senantiasa aktual. Masalahnya bukan saja terkait dengan agama tetapi dalam
pelaksanaanya terkait juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu
Falak (Astronomi), masalah sosial masyarakat, bahkan sudah merambah masuk dalam
ranah politik. Semuanya berjalan berkelindan, tidak dapat dipisahkan sehingga
membuat persoalan semakin kompleks.
Walaupun hal ini sering terjadi dan
menimbulkan kebingungan di masyarakat, namun tingkat toleransi masyarakat cukup
tinggi. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masalah agama yang peka
itu dapat menimbulkan keresahan yang akan mengganggu ketentraman masyarakat
bila ada faktor lain yang memicunya.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan
menjelaskan sedikit tentang Hisab dan Ru’yah yang ada di Indonesia. Supaya
tingkat toleransi selalu dijaga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas
dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu,
1. Apa pengertian Hisab dan Ru’yah?
2. Apa perbedaan antara Hisab dan Ru’yah?
3. Apa kriteria awal bulan qamariyah?
4. Apa permasalahan sekitar Ru’yah dan Hisab?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hisab dan Ru’yah
Hisab merupakan Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan
qomariyah (ramadhan) dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi
dan matematis, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak bulan dengan
demikian diketahui pula awal bulan qomariyah tersebut.
Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan)
dengan jalan melihat dengan panca indera mata timbulnya/munculnya bulan sabit
dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga bulan tidak dapat dilihat maka
hendaknya menggunakan isti’mal (menyempurnakan bilangan bulan sya’ban menjadi
30 hari).
Hisab dan ru’yah adalah dua istilah yang popular dikalangan umat islam
sebagai cara untuk menetapkan waktu permulaan puasa. Sebenarnya dua istilah
tersebut bukanlah kegunaanya hanya untuk menetapkan waktu permulaan puasa,
tetapi juga untuk menetapkan idul fitri, idul adha, menetapkan awal bulan tiap bulan
qomariyah, serta juga untu menerapkan waktu sholat. Lebih dari itu hisab digunakan pula untuk menetapkan arah kiblat.[1]
B. Perbedaan
Antara Hisab dan Ru’yah
Dari penjelasan diatas, Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal
bulan Qamariyah dengan melihat melalui panca indera mata.[2]
Berdasarkan hadits berikut:
عن أابى هريرة
رضي ألله عنه يقول: قال النبي صلى ألله عليه وسلم اوقال أبو القاسمصلى ألله عليه وسلم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإ ن عبرعليكم فأ
كملوا عدت شعبا ن ثلا ثين. ( رواه البخا رى )
Artinya: Dari Abu
Hurairah bersabda Rasulullah SAW, (yang dikenal pula dangan sebutan Abu Qasim):
“berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan, jika kamu sekalian tidak dapat
melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari.” (HR
Al Bukhari).
عن ابن عمر رضى الله عنهما أن رسول الله صلى ألله عليه وسلم ذكر رمضا
ن فضرب بيده فقا ل: الشهر هكذ ا وهكذا ثم عقد ابها مه فى الثا لثة , فصو موا
لرؤيته وافطروا لرؤيته فإ ن اغمى عليكم فا قد روا له ثلا ثين (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW, menceritakan
bulan ramadhan lalu memukul keduatangannya dan bersabda ”bulan itu adalah sekian
dan sekian bulan beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan yang ketiga
kali (maksudnya menunjukkan bahwa bulan itu jumlahnya terdiri dari 29 hari),
maka berpuasalah kamu Karena melihat bulan dan berlebaranlah kamu Karena melihat
bulan. Jika kamu sekalian jika kamu sekalian tidak dapat melihatnya karena tertutup
awan mendung maka pastikanlah hari pada bulan itu menjadi 30 hari.”( HR.
muslim).[3]
Maka ru’yah metode
melihat hilal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sewaktu masih
hidup. Metode sesuai dengan situasi dan kondisi yang konkret terjadi pada waktu
itu (empirik), namun tidak dapat menentukan jumlah hari dalam satu bulan
qamariyah. Dalam masalah ru’yah ini termasuk dalam wilayah ta’abbudi. Oleh
karena itu harus dan hanya berdasarkan oelh wahyu secara eksplisit. Dengan
demikian, ketentuan awal dan akhir bulan qamariyah karena wahyu Allah bukan
hasil olah pikir manusia dan hanya mengikuti petunjuk dari Rasulullah SAW.[4] Kerja
ru’yah sebagai metode empirik menentukan awal dan akhir bulan qamariyah dan
menentukan kriteria awal dan akhir bulan qamariyah.[5]
Berbeda dengan
hisab, suatu cara menentukan awal bulan qamariyah dengan menghitung dan
sistematis, sehingga dapat ditentukan letak bulan. Dalam metode ini dapat
ditentukan jauh-jauh kemudian awal dan akhir bulan dan jumlah hari dalam satu
bulan qamariyah. Namun metode ini tidak digunakan oleh Rasulullah SAW. Dalam
masalah hisab termasuk dalam ta’aqquli atau ijtihadi.[6]
Karena masalah ini dianalisis dan dipecahkan dengan menggunakan rasio atau
akal dan hasil olah pikir manusia.[7]
Dan kerja hisab hanyalah sampai pada menentukan posisi atau kedudukan Bulan
pada saat tertentu, seperti Ijma’ Matahari dan Bulan.[8]
C. Kriteria Awal
Bulan Qamariyah
Kriteria awal bulan qamariyah mengacu pada pilihan
dalil yang dijadikan pedoman dan logika yang dibangun untuk memahaminya.
Mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, hilal atau bulan sabit ditetapkan sebagai tanda
masuknya bulan qamariyah. Sesuai dengan firman Allah SWT , dalam surat
Al-Baqarah ayat 189 (terjemahnya) “mereka bertanya kepadamu tentang
hilal-hilal (bulan sabit), katakanlah bilan sabit adalah tanda-tanda wakti bagi
manusia dan (bagi ibadah) haji....”.[9]
Perubahan posisi Bulan dan Matahari membentuk
bentuk bulan semu. Bentuk bulan semu yang selalu berubah-ubah merupakan silkus
yang ditegaskan dalam surat Yasin ayat 39 (terjemahannya) “Dan telah Kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga ( setelah dia sampai ke
manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dimulainya bulan baru qamariyah itu apabila Bulan
telah kembali pada bentuknya yang kecil.[10]
Dalam surat Yasin ayat 40 menjelaskan
(terjemahannya) “tidaklah bagi Matahari mendapatkan Bulan....”. Bahwa peredaran
Bulan mengelilingi Bumi lebih cepat dari peredaran semu Matahari yang arahnya
sama, yaitu dari arah Barat ke Timur. Bila dihubungkan kedua ayat diatas
menunjukkan bahwa bulan baru qamariyah ditandai dengan didahuluinya Matahari
yang bergerak lambat oleh Bulan yang bergerak lebih cepat dan searah dari arah
Barat ke Timur.[11]
Untuk garis patokan yang harus dipedomi dalam
menentukan awal bulan qamariyah adalah situasi senja hari tatkala Matahari
terbenam karena situasi seperti itu ditentukan oleh terbenamnya Matahari sedang
terbenamnya Matahari adalah terhadap ufuk atau horizon.[12]
D. Permasalahan
Sekitar Ru’yah dan Hisab
Berikut ini adalah beberapa masalah yang bersangkutan dengan ru’yah dan
hilal.
Andaikata ahli hisab membilang bahwa bulan Ramadhan tahun ini itu 29 hari
sebagai kejadian tahun 1969 H. Orang islam melihat hilal yang tidak bisa
dilihat petang itu. Apakah orang islam harus mengikuti ahli hisab yang
mengatakan bahwa bulan Syawal sudah masuk, ataukah akan mengikuti Nabi SAW,
supaya meneruskan puasa 30 hari? Jawabnya kita harus dan wajib mengikuti Nabi
SAW, bukan mengikuti ahli hisab.
Apabila ahli hisab ilmu falaq umpamanya mengatakan bahwa bulan puasa tahun
ini 29 hari, karena bulan dan matahari Ijtima’ pukul sekian dan menit sekian.
Kalau konsekuen mengikuti Nabi SAW, maka besoknya belum boleh berhari raya,
tetapi harus berpuasa sampai 30 hari dan baru besoknya berhari raya.
Andaikata kalau ahli hisab falak tidak ada disuatu daerah atau negeri. Bagaimana
melaksanakan ibadah puasa? Dan bagaimana kalau ahli hisab itu orang yang bukan
beragama islam? Pendeknya janganlah dianggap bahwa masuk dan keluarnya puasa
dengan hisab itu lebih mudah dari ru’yah, mungkin ru’yah lebih mudah karena
pada setiap orang dan tempat-tempat yang dapat melihat bulan disitu ada pada
setiap negeri dan daerah. Bahwa Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat terus berpuasa apabila ada
seorang diantaranya melihat hilal dan tidak mesti untuk melihat bulan itu
seluruh orang islam di daerah itu. Hanya dijadikan syarat bahwa yang melihat
itu harus orang mukmin yang mengetahui Allah dan Rasul-Nya. Penglihatan orang
kafir tidak bisa diterima karena tidak bisa dipercayai.[13]
Ilmu
astronomi termasuk ilmu falaq miqot, dewasa ini telah berkembang sangat pesat
sehingga tampaknya perbedaan perhitungan seperti yang dikemukakan oleh para
ulama’ terdahulu itu telah semakin kecil. Para ahli telah dapat memperhitungkan
peredaran dan posisi matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya dengan
tepat sekali tanpa perbedaan. Peristiwa ijtima’ dan hilal telah dapat diketahui
waktunya secara tepat dan begitu pula berbagai keadaan yang berkenaan dengan
kepentingan ru’yah. Dengan demikian walaupun perhitungan astronomi itu sendiri
tetap dijadikan sebagai pegangan menentukan awal puasa, tetapi keberadaanya
sekarang sangat membantu di dalam upaya melakukan ru’yah. Dengan mempedomi
hasil-hasil perhitungan itu dapat ditentukan apakah pada malam akhir bulan
Sya’ban misalnya, bulan telah mungkin dilihat beerdasarkan posisi tinggi besarnya, cuacanya, dan lamanya
berada di atas ufuk.
Bila
hilal Ramadhan telah tampak disuatu
negeri, maka selain penduduk negeri tersebut, penduduk negeri yang berdekatan
dengannya pun wajib melakukan puasa. Sebagian ulama’ mengukur dekat dan jauhnya
dengan jarak, akan tetapi pendapat yang lebih kuat mengukurnya dengan kesatuan
matla’. Dua negeri dianggap berdekatan apabila keduanya mengalami peristiwa
terbit matahari pada waktu yang bersamaan. Hal ini dapat pula diketahui
berdasarkan garis-garis bujur dan lintas geografisnya.[14]
BAB II
PENUTUP
Simpulan
Hisab merupakan suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan)
dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi dan matematis. Dan
Ru’yah merupakan suatu cara untuk menetapkan awal bulan qomariyah (ramadhan)
dengan jalan melihat dengan panca indera mata.
Perbedaan antara ru’yah dan hisab yaitu, ru’yah termasuk wilayah ta’abbudi
dengan cara empirik dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, semasa hidup
beliau. Sedangkan hisab termasuk ke dalam wilayah ta’aqquli dengan cara
menghitung dan sistematis tetapi tidak ada pada masa Rasulullah SAW.
Kriteria awal bulan qamariyah tejadi bila Ijtima’ atau penamakan bulan baru
atau hilal pada ufuk barat yang berbentuk bulan sabit. Dalam permasalahan dalam
meru’yah atau menghisab untuk menentukan awal bulan baru qamariyah kita harus
berpedoman Al-Qur’an, Hadits dann Ijma’ ulama’ dan harus disikapi dengan
rasa toleransi yang tinggi.
Saran
Kita sebagai ummat Islam haruslah tau mengenai ru’yah dan hisab baik dari
pengertian, kriteria awal bulan baru qamariyah maupun menyikapi permasalahan
yang timbul karena perbedaan pendapat tentang ru’yah dan hisab. Jika dihadapkan
dalam permasalahannya, haruslah kita menggunakan al-Qur’an dan Hadits yang
dijalankan oleh Rasulullah SAW, dan para sahabat. Karena sebaik-baiknya
aplikasi tafsir (al-Qur’an dan Hadits) adalah masa Rasulullah SAW, dan para
sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat , Zakiah. 1995 . Ilmu
Fiqih 1. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Hadi , Yasin dan
Solikul. 2008. Fiqih Ibadah. Kudus: DIPA STAIN Kudus
Abbas ,
Siradjuddin. 1992. 40 Masalah Agama Jus 1. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Nasution ,
Lahmuddin. 1995. Fiqih 1. Jakarta:
Logos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar