Senin, 21 September 2015

Makalah Ilmu Fiqih: Ibadah Sosial



IBADAH SOSIAL
Makalah
Mata Kuliah : FIQIH I (Ibadah)
Dosen Pengampu : Drs. Umar Lc. M.Ag
index

Disusun oleh :

1.     Muhamad Syahid                  (1410110570)
2.     Ainun Nisa’                            (1410110571)
3.      Safiru Nailaitil Husna              (1410110572)
                       4.     Muhimmatul Anifah                (1410110573)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Ibadah terbagi menjadi dua macam, yakni ibadah bermanfaat untuk pribadi (individual/ syakhsiyah) dan untuk orang lain atau mayarakat (sosial/ ijtima’iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah seseorang perlu meningkatkan keimanan dan kepercayaan akan wujud Allah dengan segala perintah dan laranganNya, kepercayaan akan adanya pahala serta keyakinan akan manfaat dan faedah dari amaliah ibadah.
Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syariat yang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik. Titik tolak kehidupan yang kian hari cenderung bersifat teologis menjadi tidak berbanding dengan konsep legal-formalisme yag ditawarkan oleh fiqih. Teologi disini bukan hanya dalam arti tauhid yang merupakan pembuktian ke-Esa-an Tuhan, akan tetapi teologi dalam arti pandangan hidup yang menjadi titik tolak seluruh kegiatan kaum muslimin. Padahal di balik itu, asumsi formalistik terhadap fiqih ternyata akan dapat tersisihkan oleh hakikat fiqih itu sendiri.[1]
Sepintas yang ada di benak kita tentang ibadah adalah hanya suatu bentuk hubungan manusia dengan sang Khaliq. Padahal tidak demikian, bentuk dari ibadah itu ada dua, ada yang hubungannya langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada perantara yang merupakan bagian dari ritual formal atau hablum minallah  dan ada yang ibadah secara tidak langsung, yakni semua yang berkaitan dengan masalah muamalah, yang disebut dengan hablum minannas, hubungan antar manusia. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai ibadah ghairu mahdhah.


B.     Rumusan Masalah
1        Bagaimana Pengertian Ibadah?
2        Bagaimana Dasar Hukum Ibadah?
3        Bagaimana Tujuan Ibadah?
4        Bagaimana Macam-Macam Ibadah?
5        Bagaimana Macam-Macam Ibadah Ghairu Mahdhah
 

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ibadah
1.    Pengertian Ibadah Secara Lughawi (etimologis)
Dalam ensiklopedia Islam yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI (1993,2:385) terdapat penjelasan bahwa secara lughawi ibadah berarti mematuhi, tunduk, berdo’a. Dalam Qur’an terdapat kata ta’budu dalam arti taat. Misalnya dalam surah Yasin ayat 60:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesunggubnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu
2.    Pengertian Ibadah Secara Istilah (Terminologis)
Dalam Ensiklopedia Islam tersebut (halaman yang sama) dijelaskan bahwa pengertian ibadah secara istilahi adalah : kepatuhan atau ketundukan kepada dzat yang memiliki puncak keagungan, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah mencakup segala bentuk kegiatan (perbuatan dan perlkataan) yang dilakukan oleh setiap mukmin-muslim dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah.
Pengertian ibadah yang lebih mencakup segala esensinya dirumuskan oleh para ulama sebagai  berikut:
الْعِبَادَةُ هِيَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ ويَرْضَاهُ قَوْلاً كَانَ أَوْ فِعْلاً جَلِيًّا كان أوْخَفِيًّا

Artinya : Ibadah adalah suatu nama (konsep) yang mencakup semua (perbuatan) yag disukai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun berbentuk perbuatan, baik yang terlibat (dalam kenyataan) maupun yang tersembunyi (dalam batin).
Dalam pengertian khusus, ibadah adalah segala kegiatan yang semua ketentuannya telah ditetapkan oleh nash di dalam al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak menerima perubahan, penambahan ataupun pengurangan. Shalat misalnya, adalah ibadah dalam arti khusus yang tidak menerima perubahan.[2]

B.  Dasar Hukum
Hukum ibadah didasarkan kepada firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah : 21 yang berbunyi:

http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/2_21.png
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa[3]

C.  Tujuan Ibadah
Allah Swt. menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan. Maha Suci Allah dari berbuat tanpa tujuan, bertindak serampangan, berlaku “nyintrik” atau bersenda gurau. Allah Swt. berfirman mengenai hal itu dalam Q.S Al-Mu’minun : 115:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّما خَلَقْناكُمْ عَبَثاً وَ أَنَّكُمْ إِلَيْنا لا تُرْجَعُونَ
Artinya: Apakah kamu menyangka bahwa itu semua Kami jadikan dengan sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?
Allah Swt. menciptakan manusia, sesungguhnya dengan tujuan tertentu. Dia telah menjelaskan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk menyembah-Nya/beribadah kepada-Nya. Tujuan tersebut dijelaskan Allah melalui firman-Nya dalam Q.S adz-Dzariyat: 56 yang telah dinukil diatas.[4]




D.  Macam-Macam Ibadah
Dari segi umum dan khususnya, ibadah terbagi kepada:
1.      Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur’an atau al-Haditsm seperti shalat, puasa, haji. Ibadah yanb terkategori ibadah khusus tidak menerima penambahan atau pengurangan.
2.      Ibadah Umum, yaitu semua perbuatan baik/terpuji yang dilakukan oleh manusia muslim-mukmin dengan niat ibadah dan diamalkan semata-mata karena Allah.[5]


E.  Macam-Macam Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah ialah ibadah yang tidak sekedar menyangkut hubungan dengan Allah Swt. tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama makhluk (hablum inallah wa hablum minannas), disampng hubungan vertikal, juga ada unsur hubungan horizontal.[6] Contoh Ibadah Ghairu Mahdhah:
a)      Memberikan Nama Anak dengan Nama yang Sebaik-Baiknya
Kalau hendak memberi nama anak, berilah nama yan sebaik-baiknya menurut aturan agama Islam, jangan hanya baik menurut pendengarnya saja, tetapi baik pula artinya.
Sebuah hadits menyatakan:
“Dari Abu darda ra. Ia berkata, Nabi muhammad Saw. bersabda: seseungguhnya kamu akan dipanggil di hari kiamat, dengan namamu dan bapakmu, oleh sebab itu hendaklah dipakai nama-nama yang baik.” (H.R Abu Dawud)
Adapun nama yang paling disukai oleh Allah adalah:
1.      Nama yang paling utama dan yang paling tinggi, yaitu nama yang dibangsakan kepada nama Tuhan. Umpamanya Abdullah, Abdur Rahman, dan lain-lain.
Sebuah hadits menyatakan: Dari Ibnu Umar r.a dan Nabi Saw. beliau bersabda: “Sesunggunya nama yang paling disukai Allah ialah Abdullah dan Abdur Rahman.” (H.R Muslim)
2.      Nama yang pertengahan baiknya ialah nama yang dibangsakan kepada nama-nama Nabi, seperti Muhammad Idris, Isa da lain-lainnya.
Sabda Nabi Saw.: Dari Abu Wahab Jasya’i ia dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Berilah nama anakmu dengan nama nabi-nabi, dan nama yang paling disukai Allah ialah Abdullah dan Abdur Rahman, dan nama yang paling benar (boleh dijadikan nama) ialah Haris dan Hamman, sedangkan nama yang paling keji ialah Harrab dan Marrah.” (H.R Abu Dawud dan Nasa’i)
Haris dan Hamman dinamakan nama yang baik karena artinya baik Haris artinya orang yang bertani, sedangkan Hamman artinya orang yang tinggi cita-citanya. Adapun Harab dan Marrah dikatakan nama yang paling keji karea artinya keji pula, yaitu perang dan pahit. Jadi seseorang yang hendak memberi nama kepada anaknya hendaklah memiliki arti yang baik. Apabila hendak membangsakan nama itu kepada nama Tuhan, hendaklah menambah Abdu di awalnya, sebagaimna dinyatakan dalam hadits di atas.[7]

b)      Menutupi Aib Saudara Seiman
Menutupi Aib saudara seiman adalah hak seseorang yang melakukan tindakan maksiat, apabila ada seorang saudara seiman melihatnya maka harus menutupinya, karena menutup aib saudara seiman disisi Allah adalah surga, ampunan serta Ridhonya. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda:

من ستر علي المسلم ستره الله فى الدنيا ولاخرة
Barang siapa menutupi aib seorang muslim Allah akan menutupi aibnya didunia dan di akhirat”.[8]

c)      Tolong-Menolong
Secara sederhana , menurut bahasa, ta’awun adalah saling tolong menolong. Menurut istilah, ta’awun adalah sikap dan praktik membantu sesama. Suatu masyarakat akan nyaman dan sejahtera, jika dalam kehidupan masyarakatnya tertanam sikap ta’awun/tolong menolong dan saling membantu satu sama lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kebutuhan itu baik yang sifatnya material maupun nonmaterial. Orang kaya membantu yang kaya dalam hal tenaga dan jasa. Saling menolong bukan hanya dalam bidang materi, tetapi dalam berbagai hal, di antaranya tenaga, ilmu, dan nasihat.
Saling menolong hanya boleh dilakukan dalam kebaikan. Allah Swt. melarang tolong-menolong dalam berbuat kejahatan. Misalnya, menolong teman berdusta pada orangtuanya, saling bantu dalam menyontek ketika ulangan, membantu mencuri, dan sebagainya. Perhatian firman Allah Swt. berikut:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, (Q.S Al-Maidah: 2)

v  Contoh prilaku tolong-menolong
Sikap saling menolong bisa dibiasakan mulai dari hal-hal yang kecil. Di sekolah, ketika teman memerlukan bantuan harus kita tolong. Ketika yeman kita memerlukan bantuan harus kita tolong. Ketika teman kita memerlukan alat tulis, maka kita harus meminjaminya. Ketika ada teman yang kurang memahami pelajaran, kita harus membantunya dalam belajar. Jika ada teman sakit dan membutuhkan bantuan dana pengobatan, kita mengumpulkan uang bersama. Ketika ada orang tersesat dan menanyakan alamat/jalan, maka kita harus membantu menunjukkan jalan.

v  Nilai-Nilai Positif tolong-menolong dalam kehidupan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Setiap orang membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, antara satu orang dengan yang lain harus menjalin pergauan yang baik. Karena jika tidak, kehidupan mereka akan berjalan sendiri. Pergaulan yan baik itu salah satunya bisa diciptakan dengan mengembangkan sikap saling tolong menlong antar sesama. Banyak manfaat atau nilai positif yang dapat diambil dari terciptanya hubungan saling menolong, antara lain:
1.      Memperkuat tali atau hubungan silaturrahim antar sesama;
2.      Di antara masyarakat akan tercipta simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan);
3.      Kebutuhan atau keperluan hidup akan dapat terpenuhi;
4.      Kesulitan hidup menjadi leih ringan;
5.      Kehidupan menjadi lebih tenteram dan sejahtera.[9]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Secara lughawi ibadah berarti mematuhi, tunduk, berdo’a. Dalam Qur’an terdapat kata ta’budu dalam arti taat. Sedangkan ibadah secara istilahi adalah : kepatuhan atau ketundukan kepada dzat yang memiliki puncak keagungan, Tuhan Yang Maha Esa.
Dasar Hukum ibadah dalam surat Al-Baqarah:21. Sedangkan Tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk menyembah-Nya atau beribadah kepada-Nya.
Macam-Macam Ibadah Ghairu Mahdhah Diantaranya:
1.      Memberikan Nama Anak dengan Nama yang Sebaik-Baiknya
2.      Menutupi Aib Saudara Seiman
3.      Tolong menolong


DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi. Fiqih Ibada.  (Bandung: Penerbit M2S Bandung. 1996)
Mahmud, Ali Abdul Halim. Fiqih Al-ukhuwah fi Al-Islami. (Jakarta: Era Intermedia. 2000)
Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 – Ibadah). (Bandung: CV Pustaka Setia. 2000)
Surur, Misbahus. Dahsyatnya Shalat Tasbih. (Jakarta: QultumMedia. 2009)
Yasin dan Solikhul Hadi. Fiqih Ibadah. (Kudus: STAIN Kudus. 2008).
Yusmansyah, Taofik. Akidah dan Akhlak. (Bandung: Penerbit Grafindo Media Pratama. 2008)


[1] Yasin dan Solikhul Hadi, Fiqih Ibadah, (Kudus: STAIN Kudus, 2008), hlm. 200
[2] Baihaqi, Fiqih Ibadah, (Bandung: Penerbit M2S Bandung, 1996), hlm. 9-11
[3] Ibid, hlm. 11
[4] Ibid, hlm. 12-13
[5] Ibid, hlm. 14
[6] Misbahus Surur, Dahsyatnya Shalat Tasbih, (Jakarta: QultumMedia, 2009), hlm. 28

[7] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 – Ibadah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 702-703
[8] Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqih Al-ukhuwah fi Al-Islami, Jakarta: Era Intermedia, 2000, hlm. 66
[9] Taofik Yusmansyah, Akidah dan Akhlak, (Bandung: Penerbit Grafindo Media Pratama, 2008), hlm. 89-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar